Singapura Bersiap untuk Hidup dengan COVID-19
loading...
A
A
A
SINGAPURA - Mencatat hanya beberapa lusin kematian akibat COVID-19 dan termasuk dalam tingkat vaksinasi tertinggi di dunia, Singapura ingin kembali membuka bisnisnya. Negeri Singa sepertinya ingin meletakkan dasar untuk hidup dengan virus Corona baru seperti halnya penyakit umum lainnya, sebagai penyakit flu biasa.
Pakar medis Singapura mengatakan penduduknya mungkin melihat ratusan kematian setiap tahun akibat endemik COVID-19, mirip dengan flu. Pendekatan pragmatis itu dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain yang ingin keluar dari penguncian saat mereka meningkatkan program inokulasi mereka sendiri.
"Satu-satunya cara agar tidak ada kematian akibat penyakit di mana pun di dunia adalah dengan menghilangkan penyakit itu sama sekali dan itu hanya dilakukan untuk cacar," kata Paul Tambyah, presiden Asia Pacific Society of Clinical Microbiology and Infection seperti dikutip dari Reuters, Selasa (17/8/2021).
Singapura telah melaporkan hanya 44 kematian COVID-19 sejak wabah dimulai pada awal Januari 2020. Jumlah itu dibandingkan dengan sekitar 800 kematian terkait flu pada tahun biasa, menurut dokter, di negara dengan populasi 5,7 juta.
"Walaupun gagasan tentang ratusan kematian akibat COVID tampaknya mengejutkan dibandingkan dengan kematian sejauh ini dan layak dilakukan upaya pencegahan, itu setara dengan influenza, yang hampir tidak dipedulikan masyarakat," kata Alex Cook, pakar pemodelan penyakit menular di National Universitas Singapura (NUS).
"Sebanyak 1.000 mungkin meninggal dalam satu atau dua tahun ke depan di Singapura jika vaksinasi di kalangan orang tua tidak membaik," tambahnya.
Para ahli memperkirakan bahwa sebagian besar kematian akan terjadi di antara mereka yang berada dalam kelompok usia tertua, yang tetap tidak divaksinasi meskipun memenuhi syarat untuk hampir setengah tahun.
Menteri Kesehatan negara itu, Ong Ye Kung mengatakan bulan ini bahwa ketika ekonomi di buka, warga Singapura harus siap secara psikologis bahwa jumlah kematian akibat COVID-19 kemungkinan juga akan naik.
Tiga perempat populasi Singapura sepenuhnya diinokulasi terhadap virus Corona baru, dan negara itu akan melonggarkan lebih banyak pembatasan pada bulan September ketika tingkat vaksinasi mencapai 80%.
Pada 16 Agustus, 80% dari mereka yang berusia 70 tahun ke atas telah divaksinasi lengkap, dan yang berusia 60-69 tahun mencapai 88%.
Singapura melaporkan enam kematian COVID-19 dalam dua minggu terakhir, di mana mereka yang meninggal tidak ada yang divaksinasi.
"Hasil awal dari model matematika menunjukkan bahwa perkiraan jumlah kematian dari manula berusia 60 tahun ke atas akan menjadi sekitar 480 pada tahun 2022," kata Teo Yik Ying, dekan Saw Swee Hock School of Public Health di NUS.
Negara-negara lain yang memiliki keberhasilan awal dengan virus, seperti Australia, juga mengubah strategi mereka untuk bersiap menghadapi lebih banyak kematian akibat COVID-19 di era di mana penyakit ini tetap ada. Tetapi sebagai salah satu negara yang paling banyak divaksinasi di dunia, Singapura mungkin yang pertama menunjukkan apa artinya itu.
“Jika negara-negara mulai bergerak ke arah strategi endemik COVID-19, harapannya adalah akan ada lebih banyak kematian terkait, meskipun masih belum jelas berapa banyak dari ini akan menjadi kematian berlebih dan berapa banyak yang akan terjadi terlepas dari COVID-19," ucap Teo.
Pakar medis Singapura mengatakan penduduknya mungkin melihat ratusan kematian setiap tahun akibat endemik COVID-19, mirip dengan flu. Pendekatan pragmatis itu dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain yang ingin keluar dari penguncian saat mereka meningkatkan program inokulasi mereka sendiri.
"Satu-satunya cara agar tidak ada kematian akibat penyakit di mana pun di dunia adalah dengan menghilangkan penyakit itu sama sekali dan itu hanya dilakukan untuk cacar," kata Paul Tambyah, presiden Asia Pacific Society of Clinical Microbiology and Infection seperti dikutip dari Reuters, Selasa (17/8/2021).
Singapura telah melaporkan hanya 44 kematian COVID-19 sejak wabah dimulai pada awal Januari 2020. Jumlah itu dibandingkan dengan sekitar 800 kematian terkait flu pada tahun biasa, menurut dokter, di negara dengan populasi 5,7 juta.
"Walaupun gagasan tentang ratusan kematian akibat COVID tampaknya mengejutkan dibandingkan dengan kematian sejauh ini dan layak dilakukan upaya pencegahan, itu setara dengan influenza, yang hampir tidak dipedulikan masyarakat," kata Alex Cook, pakar pemodelan penyakit menular di National Universitas Singapura (NUS).
"Sebanyak 1.000 mungkin meninggal dalam satu atau dua tahun ke depan di Singapura jika vaksinasi di kalangan orang tua tidak membaik," tambahnya.
Para ahli memperkirakan bahwa sebagian besar kematian akan terjadi di antara mereka yang berada dalam kelompok usia tertua, yang tetap tidak divaksinasi meskipun memenuhi syarat untuk hampir setengah tahun.
Menteri Kesehatan negara itu, Ong Ye Kung mengatakan bulan ini bahwa ketika ekonomi di buka, warga Singapura harus siap secara psikologis bahwa jumlah kematian akibat COVID-19 kemungkinan juga akan naik.
Tiga perempat populasi Singapura sepenuhnya diinokulasi terhadap virus Corona baru, dan negara itu akan melonggarkan lebih banyak pembatasan pada bulan September ketika tingkat vaksinasi mencapai 80%.
Pada 16 Agustus, 80% dari mereka yang berusia 70 tahun ke atas telah divaksinasi lengkap, dan yang berusia 60-69 tahun mencapai 88%.
Singapura melaporkan enam kematian COVID-19 dalam dua minggu terakhir, di mana mereka yang meninggal tidak ada yang divaksinasi.
"Hasil awal dari model matematika menunjukkan bahwa perkiraan jumlah kematian dari manula berusia 60 tahun ke atas akan menjadi sekitar 480 pada tahun 2022," kata Teo Yik Ying, dekan Saw Swee Hock School of Public Health di NUS.
Negara-negara lain yang memiliki keberhasilan awal dengan virus, seperti Australia, juga mengubah strategi mereka untuk bersiap menghadapi lebih banyak kematian akibat COVID-19 di era di mana penyakit ini tetap ada. Tetapi sebagai salah satu negara yang paling banyak divaksinasi di dunia, Singapura mungkin yang pertama menunjukkan apa artinya itu.
“Jika negara-negara mulai bergerak ke arah strategi endemik COVID-19, harapannya adalah akan ada lebih banyak kematian terkait, meskipun masih belum jelas berapa banyak dari ini akan menjadi kematian berlebih dan berapa banyak yang akan terjadi terlepas dari COVID-19," ucap Teo.
(ian)