Pengadilan Israel Dituding sebagai Alat Politik' untuk Rebut Tanah Palestina

Rabu, 28 Juli 2021 - 16:21 WIB
loading...
Pengadilan Israel Dituding sebagai Alat Politik untuk Rebut Tanah Palestina
Warga Palestina menyesalkan bahwa sistem peradilan Israel digunakan sebagai alat politik untuk mengubah status quo di Yerusalem Timur yang diduduki. Foto/Ist
A A A
YERUSALEM - Warga Palestina menyesalkan bahwa sistem peradilan Israel digunakan sebagai alat politik untuk mengubah status quo di Yerusalem Timur yang diduduki. Menurut warga Palestina , pengadilan dijadikan alat Tel Aviv untuk merebut tanah mereka.

“Sistem peradilan tidak dapat dipisahkan dari eksekutif dan otoritas legislatif di Israel,” Ahmad Amarah, seorang advokat anti-pemukiman, seperti dilansir Anadolu Agency pada Rabu (28/7/2021).

“Semua otoritas Israel melayani ideologi Zionis yang berusaha untuk mentransfer tanah dari tangan Palestina ke orang Yahudi,” sambungnya.

Pihak berwenang Israel baru-baru ini memperingatkan 86 keluarga Palestina di lingkungan Batn Al-Hawa di Yerusalem Timur untuk menggusur rumah mereka. 100 keluarga Palestina lainnya menerima perintah pembongkaran rumah di lingkungan Al-Bustan di kota yang diduduki.

Keluarga-keluarga ini harus melaksanakan perintah pengadilan Israel dan meninggalkan rumah mereka sebelum 15 Agustus.

“Sekitar 187 anggota keluarga dan kerabat saya telah diancam dengan pengusiran paksa,” kata Qutaiba Odeh dari lingkungan Silwan di Yerusalem Timur.

Amarah berpendapat bahwa kebijakan pembongkaran rumah adalah bagian dari proses pemerintah Israel untuk "de-Palestina" Yerusalem dan menciptakan sejarah Yahudi di kota.

“Karena Palestina memiliki desa-desa asli, kota-kota, nama-nama dan kedalaman sejarah, agama Islam, dan Arab, Israel berusaha mencemooh sejarah ini dengan menghancurkan desa-desa, menyita tanah, dan mengubah nama kota dari bahasa Arab ke bahasa Ibrani,” katanya.

Dia mengatakan asosiasi pemukiman Ateret Cohanim dan Ir David Foundation, umumnya dikenal sebagai Elad, bekerja untuk meningkatkan kehadiran Yahudi di Yerusalem, mengutip pembangunan yang disebut "Kota Daud" oleh dua kelompok itu di lingkungan Silwan.

“Pada tahun 1948, Israel memiliki kesempatan emas ketika mereka mengambil alih tanah dengan kekuatan militer dan menjadi kekuatan berdaulat dan memberlakukan segala macam undang-undang untuk menyita tanah itu,” ucap Amarah.

Dia mengatakan pengadilan Israel juga hampir memberikan kebebasan kepada pemerintah untuk menyita tanah itu sejak 1948.

"Anda jarang dapat menemukan keputusan yang membatalkan penyitaan tanah dan ketika keputusan diambil terhadap penyitaan tanah, Knesset bergerak cepat untuk memberlakukan undang-undang untuk mengabaikan keputusan tersebut," katanya.

Amarah mengutip bahwa pada bulan Desember 1949 ketika mantan Perdana Menteri David Ben-Gurion memindahkan pemerintah Israel ke Yerusalem, para hakim Mahkamah Agung, menteri, dan politisi pindah untuk tinggal di rumah-rumah Palestina di lingkungan kaya di sana.

Pengadilan Israel mengizinkan penyitaan rumah-rumah ini di bawah "Hukum Properti Absensi", di mana semua properti bergerak dan tidak bergerak dari pengungsi Palestina disita.

“Hukum ini juga diterapkan hari ini di Yerusalem untuk properti Palestina, yang pemiliknya tidak pernah meninggalkannya,” katanya.

Dirinya menyebut, undang-undang tersebut digunakan untuk menyita properti di Silwan dan Kota Tua Yerusalem dan memindahkannya ke asosiasi permukiman seperti Ateret Cohanim dan Yayasan Ir David.

“Jika seorang Palestina di Silwan memiliki properti di Yerusalem Barat, dia tidak dapat mengklaim properti ini di sana, tetapi ini tidak berlaku untuk seorang Yahudi atau organisasi mana pun yang mewakilinya.Mereka dapat menemukan cara untuk mengklaim properti orang Yahudi sebelum tahun 1948, dan mendapatkan kompensasi," ujar Amarah.

Sejak 1948, tidak ada kota Palestina yang dibangun, meskipun populasi Palestina telah tumbuh 10-15 kali lipat. Sebaliknya, ribuan kota dan komunitas Yahudi dibangun.

“Israel memberlakukan undang-undang zonasi dan perencanaan yang membatasi ekspansi, dan konstruksi Palestina, membuat mereka tidak punya pilihan selain membangun tanpa izin dan menghadapi risiko pembongkaran. Pengadilan Israel juga mendukung skema ini dengan menyetujui pembongkaran dan zonasi tanah yang diskriminatif," tukasnya.
(ian)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1166 seconds (0.1#10.140)