Raisi Menolak Bertemu Biden Meski AS Penuhi Tuntutan Iran
loading...
A
A
A
TEHERAN - Presiden terpilih Iran Ebrahim Raisi mengisyaratkan dia tidak akan bertemu Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dalam keadaan apa pun, termasuk jika Washington memenuhi semua tuntutan Teheran dalam pembicaraan Wina yang sedang berlangsung untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
Raisi merupakan ulama ultrakonservatif dan sekutu dekat pemimpin tertinggi Iran.
Dia berbicara pada konferensi pers pertamanya sejak memenangkan pemilu presiden Iran pada Jumat.
Dia akan mengambil alih jabatan presiden dari Hassan Rouhani pada awal Agustus.
Ditanya apakah dia bersedia bertemu Biden untuk menyelesaikan perselisihan antara AS dan Iran jika Washington mencabut sanksi terhadap Teheran dan memenuhi tuntutan Iran terlebih dahulu, Raisi menjawab dengan tegas, “Tidak.”
AS dan Iran telah terlibat dalam pembicaraan tidak langsung di Wina sejak April untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
AS mundur dari kesepakatan nuklir Iran di era mantan Presiden Donald Trump pada 2018.
Raisi mendesak Washington untuk kembali ke kesepakatan nuklir dan mencabut semua sanksi terhadap Iran.
“Semua sanksi yang dijatuhkan kepada Iran harus dicabut dan diverifikasi oleh Teheran,” ungkap dia.
Raisi menegaskan kembali posisi Iran bahwa program rudal balistik dan dukungannya terhadap milisi regional “tidak dapat dinegosiasikan.”
Ditanya tentang perannya dalam eksekusi massal tahanan politik Iran pada 1988, Raisi menggambarkan dirinya sebagai "pembela hak asasi manusia."
“Jika seorang jaksa membela hak-hak rakyat dan keamanan masyarakat, dia harus dipuji dan didorong. Saya bangga telah membela keamanan di mana pun saya berada sebagai jaksa,” ungkap Raisi, yang merupakan wakil jaksa Teheran pada 1988.
Kelompok hak asasi mengatakan Raisi adalah anggota terkemuka dari apa yang kemudian dikenal sebagai "komite kematian" yakni sekelompok pejabat peradilan dan intelijen Iran yang dibentuk Pemimpin Tertinggi Ruhollah Khomeini untuk mengawasi eksekusi massal ribuan tahanan politik pada 1988.
Kelompok hak asasi memperkirakan sebanyak 5.000 orang dieksekusi.
Raisi dikenai sanksi oleh AS pada 2019 karena pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi 1988.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengatakan pada Sabtu Raisi harus diselidiki atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Raisi merupakan ulama ultrakonservatif dan sekutu dekat pemimpin tertinggi Iran.
Dia berbicara pada konferensi pers pertamanya sejak memenangkan pemilu presiden Iran pada Jumat.
Dia akan mengambil alih jabatan presiden dari Hassan Rouhani pada awal Agustus.
Ditanya apakah dia bersedia bertemu Biden untuk menyelesaikan perselisihan antara AS dan Iran jika Washington mencabut sanksi terhadap Teheran dan memenuhi tuntutan Iran terlebih dahulu, Raisi menjawab dengan tegas, “Tidak.”
AS dan Iran telah terlibat dalam pembicaraan tidak langsung di Wina sejak April untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
AS mundur dari kesepakatan nuklir Iran di era mantan Presiden Donald Trump pada 2018.
Raisi mendesak Washington untuk kembali ke kesepakatan nuklir dan mencabut semua sanksi terhadap Iran.
“Semua sanksi yang dijatuhkan kepada Iran harus dicabut dan diverifikasi oleh Teheran,” ungkap dia.
Raisi menegaskan kembali posisi Iran bahwa program rudal balistik dan dukungannya terhadap milisi regional “tidak dapat dinegosiasikan.”
Ditanya tentang perannya dalam eksekusi massal tahanan politik Iran pada 1988, Raisi menggambarkan dirinya sebagai "pembela hak asasi manusia."
“Jika seorang jaksa membela hak-hak rakyat dan keamanan masyarakat, dia harus dipuji dan didorong. Saya bangga telah membela keamanan di mana pun saya berada sebagai jaksa,” ungkap Raisi, yang merupakan wakil jaksa Teheran pada 1988.
Kelompok hak asasi mengatakan Raisi adalah anggota terkemuka dari apa yang kemudian dikenal sebagai "komite kematian" yakni sekelompok pejabat peradilan dan intelijen Iran yang dibentuk Pemimpin Tertinggi Ruhollah Khomeini untuk mengawasi eksekusi massal ribuan tahanan politik pada 1988.
Kelompok hak asasi memperkirakan sebanyak 5.000 orang dieksekusi.
Raisi dikenai sanksi oleh AS pada 2019 karena pelanggaran hak asasi manusia, termasuk eksekusi 1988.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International mengatakan pada Sabtu Raisi harus diselidiki atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
(sya)