Ebrahim Raisi Menang, AS Pertanyakan Keadilan Pemilu Iran

Minggu, 20 Juni 2021 - 10:45 WIB
loading...
Ebrahim Raisi Menang,...
Ulama garis keras, Ebrahim Raisi, terpilih sebagai presiden Iran. Foto/The Guardian
A A A
WASHINGTON - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) mengklaim bahwa pemilihan presiden (pilpres) di Iran berjalan tidak adil. Meski begitu. AS akan terus memajukan kepentingannya di Iran terlepas dari siapa yang berkuasa.

Kementerian Dalam Negeri Iran mengumumkan pada hari Sabtu bahwa politisi garis keras Ebrahim Raisi telah memenangkan pilpres , dengan hampir 62 persen suara. Jumlah pemilih dalam pilpres Iran sendiri adalah 48,8 persen, terendah dalam sejarah Iran.

"Kami telah melihat bahwa Menteri Dalam Negeri Iran mengumumkan Ebrahim Raisi sebagai pemenang pemilu Iran yang terjadi pada hari Jumat, tetapi juga mencatat bahwa orang Iran tidak diberi hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri dalam proses pemilihan yang bebas dan adil," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS seperti dikutip dari Sputnik, Minggu (20/6/2021).



Juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan kepada Sputnik bahwa pemerintahan Biden akan melanjutkan diskusi dengan sekutu dan mitra untuk kembali mematuhi kesepakatan nuklir Iran 2015.

"Kebijakan Iran kami dirancang untuk memajukan kepentingan AS, terlepas dari siapa yang berkuasa. Kami ingin membangun kemajuan berarti yang dicapai selama putaran terakhir pembicaraan di Wina," kata juru bicara itu.

Layanan Aksi Eksternal Uni Eropa mengatakan pada hari Sabtu bahwa Komisi Gabungan untuk Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) akan melanjutkan negosiasi di Wina pada 20 Juni. Bersama diplomat AS, perwakilan dari China, Prancis, Jerman, Rusia, Inggris dan Iran akan menghadiri pembicaraan tersebut.

Para peserta akan terus membahas kemungkinan kembalinya Amerika Serikat ke kesepakatan nuklir 2015 dan cara-cara untuk memastikan implementasinya secara penuh dan efektif.

Kesepakatan nuklir Iran 2015, yang mencabut sejumlah sanksi terhadap Iran selama menghentikan aktivitas nuklirnya, runtuh ketika mantan Presiden AS Donald Trump meninggalkan kesepakatan pada 2018, dan memberlakukan kembali sanksi ekonomi yang melumpuhkan.

Menanggapi sanksi yang diperketat, Iran meningkatkan kegiatan nuklirnya, dan saat ini memperkaya uranium pada tingkat tertinggi yang pernah ada - meskipun masih kurang dari apa yang dibutuhkan untuk membuat senjata tingkat nuklir.



Kini, Pemerintahan Biden mencoba mencari cara untuk dapat masuk kembali dalam kesepakatan itu.

(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2002 seconds (0.1#10.140)