Tembak Mati Pria Autis Palestina, Polisi Israel Menghadapi Penjara 12 Tahun
loading...
A
A
A
YERUSALEM - Seorang petugas Polisi Perbatasan Israel yang menembak mati pria austis Palestina telah didakwa dengan pembunuhan sembrono. Dia menghadapi hukuman 12 tahun penjara.
Korban, Eyad Al-Hallaq, 32, seorang pria autis Palestina di Yerusalem Timur. Dia ditembak mati di bagian dada sebanyak dua kali saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus di Kota Tua Yerusalem pada 20 Mei 2020.
Al-Hallaq didiagnosis menderita autis. Meski usianya 32 tahun, dia berpikiran seperti seorang anak berusia delapan tahun.
Pada hari pembunuhan, Al-Hallaq berlari dengan panik saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus karena mendenger teriakan petugas polisi Israel. Saat berlari itulah, dia ditembak dua kali di dada.
Setelah penembakan itu, Polisi Perbatasan Israel mengeluarkan pernyataan yang mengeklaim bahwa dua petugas polisi percaya Al-Hallaq membawa senjata dan mengejarnya, menembaknya hingga tewas di tempat sampah hanya beberapa meter dari sekolah kebutuhan khusus tempat dia bersekolah.
Pengasuh Al-Hallaq, Warda Abu Hadid, yang berada di tempat kejadian berteriak dalam bahasa Ibrani kepada polisi: "Dia cacat, dia cacat!"
Pada saat kematiannya, petugas Israel yang hadir mengeklaim korban adalah seorang teroris karena dia mengenakan sarung tangan, dan penyelidikan dibuka untuk kasus tersebut.
Ibu Al-Hallaq mengatakan bahwa putranya autis dan tidak mengerti perintah yang diberikan petugas polisi. Seorang saksi mata mengatakan bahwa seorang polisi menembakkan peluru ke Al-Hallaq dan mencegah ambulans memberikan bantuan kepadanya.
Setelah insiden itu, protes pecah di Yerusalem dan Jaffa. Secara internasional, penembakan Al-Hallaq membuat perbandingan dengan kasus pembunuhan pria kulit hitam tak bersenjata George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat (AS) yang memicu demonstrasi menentang kebrutalan polisi di AS.
Korban, Eyad Al-Hallaq, 32, seorang pria autis Palestina di Yerusalem Timur. Dia ditembak mati di bagian dada sebanyak dua kali saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus di Kota Tua Yerusalem pada 20 Mei 2020.
Al-Hallaq didiagnosis menderita autis. Meski usianya 32 tahun, dia berpikiran seperti seorang anak berusia delapan tahun.
Pada hari pembunuhan, Al-Hallaq berlari dengan panik saat dalam perjalanan ke sekolah kebutuhan khusus karena mendenger teriakan petugas polisi Israel. Saat berlari itulah, dia ditembak dua kali di dada.
Setelah penembakan itu, Polisi Perbatasan Israel mengeluarkan pernyataan yang mengeklaim bahwa dua petugas polisi percaya Al-Hallaq membawa senjata dan mengejarnya, menembaknya hingga tewas di tempat sampah hanya beberapa meter dari sekolah kebutuhan khusus tempat dia bersekolah.
Pengasuh Al-Hallaq, Warda Abu Hadid, yang berada di tempat kejadian berteriak dalam bahasa Ibrani kepada polisi: "Dia cacat, dia cacat!"
Pada saat kematiannya, petugas Israel yang hadir mengeklaim korban adalah seorang teroris karena dia mengenakan sarung tangan, dan penyelidikan dibuka untuk kasus tersebut.
Ibu Al-Hallaq mengatakan bahwa putranya autis dan tidak mengerti perintah yang diberikan petugas polisi. Seorang saksi mata mengatakan bahwa seorang polisi menembakkan peluru ke Al-Hallaq dan mencegah ambulans memberikan bantuan kepadanya.
Setelah insiden itu, protes pecah di Yerusalem dan Jaffa. Secara internasional, penembakan Al-Hallaq membuat perbandingan dengan kasus pembunuhan pria kulit hitam tak bersenjata George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat (AS) yang memicu demonstrasi menentang kebrutalan polisi di AS.