Melawan Junta Militer, Guru dan Siswa Myanmar Menolak Masuk Sekolah
loading...
A
A
A
YANGON - Sekolah-sekolah di Myanmar akan dibuka hari ini (1/6/2021) untuk pertama kalinya sejak junta militer merebut kekuasaan dari pemerintah Aung San Suu Kyi. Namun, para guru dan siswa melawan seruan junta untuk masuk sekolah dan memilih berdemo.
Negara itu sudah empat bulan dilanda kekacauan nasional setelah kudeta militer terhadap pemerintah Suu Kyi pada Februari. Lebih dari 800 orang tewas oleh tindakan keras pasukan keamanan. Selain itu, ekonomi juga lumpuh akibat mogok nasional.
Guru sekolah umum mengenakan seragam hijau dan putih yang diamanatkan oleh kementerian pendidikan menonjol dalam protes massal awal. Mereka saat itu bergabung dengan pekerja kereta api, dokter, dan pegawai negeri di jalan-jalan.
Junta militer bersikeras semua sekolah dibuka hari ini setelah setahun absen karena COVID-19, tetapi banyak pendidik telah memutuskan bahwa mereka tidak dapat kembali ke pekerjaan yang mereka sukai.
"Saya tidak takut dengan penangkapan dan penyiksaan mereka," kata Shwe Nadi, seorang guru dari Yangon kepada AFP. Namanya telah diubah demi keselamatannya.
"Saya takut menjadi guru yang mengajarkan propaganda [pada] siswa," katanya lagi.
Guru berusia 28 tahun itu dipecat karena mendukung gerakan pembangkangan sipil—salah satu dari ribuan guru dan akademisi yang dipecat junta.
“Tentu saja, saya merasa tidak enak kehilangan pekerjaan karena saya senang menjadi guru. Meskipun tidak dibayar dengan baik, kami memiliki kebanggaan menjadi guru karena orang lain menghormati kami," katanya.
Nu May, guru—yang menggunakan nama samaran—di negara bagian Mon selatan juga akan menjauh dari sekolah.
Negara itu sudah empat bulan dilanda kekacauan nasional setelah kudeta militer terhadap pemerintah Suu Kyi pada Februari. Lebih dari 800 orang tewas oleh tindakan keras pasukan keamanan. Selain itu, ekonomi juga lumpuh akibat mogok nasional.
Guru sekolah umum mengenakan seragam hijau dan putih yang diamanatkan oleh kementerian pendidikan menonjol dalam protes massal awal. Mereka saat itu bergabung dengan pekerja kereta api, dokter, dan pegawai negeri di jalan-jalan.
Junta militer bersikeras semua sekolah dibuka hari ini setelah setahun absen karena COVID-19, tetapi banyak pendidik telah memutuskan bahwa mereka tidak dapat kembali ke pekerjaan yang mereka sukai.
"Saya tidak takut dengan penangkapan dan penyiksaan mereka," kata Shwe Nadi, seorang guru dari Yangon kepada AFP. Namanya telah diubah demi keselamatannya.
"Saya takut menjadi guru yang mengajarkan propaganda [pada] siswa," katanya lagi.
Guru berusia 28 tahun itu dipecat karena mendukung gerakan pembangkangan sipil—salah satu dari ribuan guru dan akademisi yang dipecat junta.
“Tentu saja, saya merasa tidak enak kehilangan pekerjaan karena saya senang menjadi guru. Meskipun tidak dibayar dengan baik, kami memiliki kebanggaan menjadi guru karena orang lain menghormati kami," katanya.
Nu May, guru—yang menggunakan nama samaran—di negara bagian Mon selatan juga akan menjauh dari sekolah.