Ironi India, dari Pahlawan Berubah Jadi 'Neraka' COVID-19

Rabu, 28 April 2021 - 00:20 WIB
loading...
Ironi India, dari Pahlawan Berubah Jadi Neraka COVID-19
Kremasi massal jenazah korban meninggal terkait COVID-19 di India. Foto/REUTERS
A A A
NEW DELHI - Bagi Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi yang sadar akan citra, ulasan pers asing tentang penanganannya terhadap pandemi COVID-19 pasti membuat bacaan yang menghancurkan.

Di bawah pemerintahan Modi, India sempat dijuluki pahlawan dalam memerangi COVID-19 di mata pers dunia karena nyaris berhasil menekan penyebaran infeksi virus corona SARS-CoV-2. Julukan itu berubah menjadi "neraka" COVID-19 setelah jumlah kasus infeksi COVID-19 harian melonjak ke rekor baru berturut-turut.



"Modi menggelepar di gelombang kedua raksasa di India," bunyi judul berita utama The Times yang berbasis di London. Ulasan berita itu menyoroti jumlah kasus infeksi COVID-19 harian yang telah melampaui 300.000.

The Times mengecam tanggapan pemerintah India terhadap gelombang infeksi virus corona dengan mengatakan; "Hal ini menggarisbawahi sikap berpuas diri dan penyangkalan yang membebani respons pemerintahnya terhadap krisis."

Pengadilan Tinggi Delhi memilih menggunakan istilah "tsunami" daripada "gelombang" untuk menggambarkan parahnya jumlah kasus infeksi virus corona di ibu kota dan wilayah lain di negara itu.

“Sistemnya telah runtuh: India jatuh ke neraka COVID," bunyi judul yang menyakitkan dari The Guardian, yang memulai laporan utamanya dengan foto api yang membumbung tinggi di krematorium.

Surat kabar itu menulis; "Banyak yang salah percaya bahwa negara [India] telah mengalahkan COVID. Sekarang, rumah sakit kehabisan oksigen dan mayat bertumpuk di kamar mayat. ”

Pandangan dunia telah beralih ke India karena lonjakan kasus yang luar biasa dan karena sebagian besar kasus baru yang dilaporkan secara global dalam 24 jam terakhir telah muncul di sana. India melaporkan lebih dari 300.000 kasus baru setiap harinya dalam beberapa hari terakhir, hampir setengah dari total penghitungan di seluruh dunia.

Liputan media internasional yang berfokus pada Brasil sebagai zona bencana COVID-19 global kini telah memusatkan perhatian pada India sebagai tempat pandemi berkecamuk di luar kendali.

Pers global telah mengarahkan "senjata"-nya terutama kepada pemerintah pusat karena telah berpuas diri dan tidak siap menghadapi gelombang kedua. Selain itu, pemerintah telah dikecam karena mengadakan perkumpulan massa di Benggala Barat yang mungkin memperburuk situasi.

Keputusan untuk mengizinkan mega Kumbh Mela untuk terus maju juga telah dikecam sebagai tindakan sembrono. Surat kabar internasional telah membanjiri halaman depan mereka dengan gambar kerumunan besar pemuja tanpa masker yang saling menekan dan menuduh pemerintah India kurang berani untuk membatalkan pertemuan massa tersebut karena takut mengasingkan pendukung Hindu-nya.

The Times yang membuat serangan ganas terhadap pemerintah India, menulis; "Kecepatan dan keganasan gelombang kedua telah mengungkap serangkaian kesalahan langkah di awal tahun, mengulangi kesalahan tahun 2020 dan membuat yang baru, membuat orang India menghadapi sebuah tsunami infeksi yang telah mendorong negara ini ke ambang kehancuran."

Media itu juga berbicara tentang Modi, yang tanpa masker, pada pertemuan massa saat pemilu Benggala Barat yang dihadiri oleh ratusan ribu pemilih—juga tidak mengenakan masker—, menyatakan; "Di segala arah, melihat banyak orang…belum pernah melihat seperti itu orang banyak di pertemuan umum."

Financial Times (FT) menyimpang dari gaya biasa untuk menggambarkan pemandangan yang menghancurkan dari orang-orang yang sekarat sambil menunggu ranjang rumah sakit, kekurangan oksigen yang menghancurkan dan pemandangan apokaliptik dari pembakaran kayu bakar di tepi Sungai Gangga.

Laporan media itu menyebut gelombang terbaru memicu krisis kesehatan dan tragedi kemanusiaan di India yang jauh melampaui apa pun yang terlihat tahun lalu. FT juga membawa grafik rinci tentang gelombang infeksi, termasuk yang dari setiap negara bagian yang menunjukkan peningkatan tingkat positif, yang menunjukkan infeksi cenderung menjadi lebih buruk.

FT, lebih lanjut, menyalahkan pemerintah atas gelombang kedua yang menghancurkan, dengan mengatakan: "Kehancuran telah memicu kemarahan atas kurangnya persiapan di antara para pejabat yang percaya bahwa pandemi terburuk telah berakhir."



The Washington Post memulai salah satu laporannya dengan foto udara dari kuburan Muslim di Uttar Pradesh yang menunjukkan sejumlah besar kuburan yang baru diisi. Bunyinya: "Di India, gelombang ini bukanlah gelombang tapi dinding." Lebih lanjut, laporan itu berbunyi: "Di beberapa kota, krematorium menjalankan tungku sepanjang waktu."

The Washington Post merinci kesalahan antara lain; "varian virus yang lebih menular, serta pelonggaran awal pembatasan dan kampanye vaksinasi yang bergerak lambat."

Dalam laporan lain, media itu juga menggambarkan kekurangan vaksin yang merusak di berbagai negara bagian.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1042 seconds (0.1#10.140)