AS Berupaya Cegah Arab Saudi Memperoleh Bom Nuklir
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Sekelompok anggota Parlemen Amerika Serikat (AS) telah mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang berupaya menghentikan potensi Arab Saudi mendapatkan senjata atau bom nuklir . Langkah para anggota Parlemen Amerika itu muncul setelah China diam-diam membantu Riyadh untuk memperluas program nuklirnya.
"RUU 'The Saudi WMD Act', bertujuan untuk mengambil langkah-langkah untuk menghalangi akses ke teknologi sensitif yang dapat membuka jalan ke Arab Saudi untuk memperoleh senjata nuklir," bunyi siaran pers para anggota Parlemen Amerika saat mengumumkan RUU itu pada Kamis waktu Washington.
RUU diperkenalkan di Senat oleh senator Ed Markey dan Jeff Merkley, dan diperkenalkan di DPR atau Parlemen oleh anggota Kongres Ted Lieu dan Joaquin Castro.
"Senjata nuklir di tangan teroris dan rezim jahat adalah salah satu ancaman paling parah bagi keamanan rakyat Amerika dan mitra kami di seluruh dunia," kata Merkley dalam sebuah pernyataan.
"Jika Arab Saudi bekerja untuk merusak nonproliferasi global dan rezim kontrol senjata, dengan bantuan China atau siapa pun, AS harus merespons," ujarnya, seperti dikutip Middle East Eye, Sabtu (17/4/2021).
"RUU ini membutuhkan transparansi yang lebih besar dalam upaya Arab Saudi untuk membangun program rudal balistik dan nuklir sipil," paparnya.
Jika disahkan, tindakan tersebut akan mengharuskan administrasi Joe Biden untuk menentukan apakah ada orang atau negara asing yang telah mentransfer atau mengekspor item "Kategori Satu" ke Arab Saudi di bawah Rezim Kontrol Teknologi Rudal (MTCR), pemahaman politik informal yang bertujuan untuk membatasi jumlah proliferasi rudal di seluruh dunia.
Item "Kategori Satu" akan mencakup sistem kendaraan udara tak berawak seperti rudal balistik, rudal jelajah, dan drone target yang mampu mengirimkan muatan setidaknya 500kg ke jarak setidaknya 300 km.
Jika entitas seperti itu ditemukan, RUU tersebut akan meminta Gedung Putih untuk memberikan sanksi kepada mereka.
RUU itu juga akan menghentikan sebagian besar penjualan senjata AS ke Arab Saudi, jika diketahui bahwa kerajaan menerima bantuan dalam membangun fasilitas siklus bahan bakar nuklir yang tidak di bawah standar yang ditetapkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Arab Saudi belum menandatangani pembatasan yang sama untuk proliferasi nuklir yang dimiliki negara lain, dan negara tersebut hanya memiliki perjanjian perlindungan terbatas dengan IAEA.
Proyek Nuklir Saudi
Selama bertahun-tahun, Arab Saudi telah mencoba untuk mendiversifikasi sumber energinya sehingga dapat mengekspor lebih banyak minyaknya, daripada menjualnya di dalam negeri dengan harga bersubsidi.
Riyadh menandatangani kesepakatan dengan Beijing pada 2012 dan 2017 untuk kerjasama dalam sejumlah proyek energi nuklir, dan kerajaan tersebut telah mengerjakan dua reaktor nuklir komersial pertamanya dengan total 2,8 gigawatt.
Meningkatnya kemitraan nuklir antara kedua negara telah menimbulkan keprihatinan bagi AS. Pada Agustus lalu, badan intelijen Amerika telah menilai laporan bahwa China diam-diam membantu Arab Saudi memperluas program nuklirnya.
Badan-badan tersebut menganalisis dugaan kolaborasi antara kedua negara di situs yang tidak dideklarasikan di kerajaan, dekat dengan area produksi panel surya.
The Wall Street Journal juga melaporkan musim panas lalu bahwa situs lain yang dirahasiakan di barat laut negara itu sedang digunakan untuk mengekstrak kue kuning uranium dari bijih uranium—langkah lebih lanjut menuju pengembangan bahan bakar nuklir yang dapat menempatkan kerajaan di jalur pengembangan senjata nuklir.
Sebulan kemudian, The Guardian melaporkan bahwa Arab Saudi kemungkinan memiliki cukup cadangan bijih uranium yang dapat ditambang untuk membuka jalan bagi produksi bahan bakar nuklir dalam negeri. Laporan itu mengutip dokumen rahasia dari ahli geologi China.
Pada 2018, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman mengatakan bahwa negara itu tidak memiliki rencana untuk memperoleh bom nuklir, tetapi jika Iran mengembangkannya, maka Saudi akan mengikuti secepat mungkin.
Di bawah pemerintahan Donald Trump sebelumnya, AS telah memberikan beberapa otorisasi kepada perusahaan Amerika untuk membagikan informasi sensitif tenaga nuklir.
"RUU 'The Saudi WMD Act', bertujuan untuk mengambil langkah-langkah untuk menghalangi akses ke teknologi sensitif yang dapat membuka jalan ke Arab Saudi untuk memperoleh senjata nuklir," bunyi siaran pers para anggota Parlemen Amerika saat mengumumkan RUU itu pada Kamis waktu Washington.
RUU diperkenalkan di Senat oleh senator Ed Markey dan Jeff Merkley, dan diperkenalkan di DPR atau Parlemen oleh anggota Kongres Ted Lieu dan Joaquin Castro.
"Senjata nuklir di tangan teroris dan rezim jahat adalah salah satu ancaman paling parah bagi keamanan rakyat Amerika dan mitra kami di seluruh dunia," kata Merkley dalam sebuah pernyataan.
"Jika Arab Saudi bekerja untuk merusak nonproliferasi global dan rezim kontrol senjata, dengan bantuan China atau siapa pun, AS harus merespons," ujarnya, seperti dikutip Middle East Eye, Sabtu (17/4/2021).
"RUU ini membutuhkan transparansi yang lebih besar dalam upaya Arab Saudi untuk membangun program rudal balistik dan nuklir sipil," paparnya.
Jika disahkan, tindakan tersebut akan mengharuskan administrasi Joe Biden untuk menentukan apakah ada orang atau negara asing yang telah mentransfer atau mengekspor item "Kategori Satu" ke Arab Saudi di bawah Rezim Kontrol Teknologi Rudal (MTCR), pemahaman politik informal yang bertujuan untuk membatasi jumlah proliferasi rudal di seluruh dunia.
Item "Kategori Satu" akan mencakup sistem kendaraan udara tak berawak seperti rudal balistik, rudal jelajah, dan drone target yang mampu mengirimkan muatan setidaknya 500kg ke jarak setidaknya 300 km.
Jika entitas seperti itu ditemukan, RUU tersebut akan meminta Gedung Putih untuk memberikan sanksi kepada mereka.
RUU itu juga akan menghentikan sebagian besar penjualan senjata AS ke Arab Saudi, jika diketahui bahwa kerajaan menerima bantuan dalam membangun fasilitas siklus bahan bakar nuklir yang tidak di bawah standar yang ditetapkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Arab Saudi belum menandatangani pembatasan yang sama untuk proliferasi nuklir yang dimiliki negara lain, dan negara tersebut hanya memiliki perjanjian perlindungan terbatas dengan IAEA.
Proyek Nuklir Saudi
Selama bertahun-tahun, Arab Saudi telah mencoba untuk mendiversifikasi sumber energinya sehingga dapat mengekspor lebih banyak minyaknya, daripada menjualnya di dalam negeri dengan harga bersubsidi.
Riyadh menandatangani kesepakatan dengan Beijing pada 2012 dan 2017 untuk kerjasama dalam sejumlah proyek energi nuklir, dan kerajaan tersebut telah mengerjakan dua reaktor nuklir komersial pertamanya dengan total 2,8 gigawatt.
Meningkatnya kemitraan nuklir antara kedua negara telah menimbulkan keprihatinan bagi AS. Pada Agustus lalu, badan intelijen Amerika telah menilai laporan bahwa China diam-diam membantu Arab Saudi memperluas program nuklirnya.
Badan-badan tersebut menganalisis dugaan kolaborasi antara kedua negara di situs yang tidak dideklarasikan di kerajaan, dekat dengan area produksi panel surya.
The Wall Street Journal juga melaporkan musim panas lalu bahwa situs lain yang dirahasiakan di barat laut negara itu sedang digunakan untuk mengekstrak kue kuning uranium dari bijih uranium—langkah lebih lanjut menuju pengembangan bahan bakar nuklir yang dapat menempatkan kerajaan di jalur pengembangan senjata nuklir.
Sebulan kemudian, The Guardian melaporkan bahwa Arab Saudi kemungkinan memiliki cukup cadangan bijih uranium yang dapat ditambang untuk membuka jalan bagi produksi bahan bakar nuklir dalam negeri. Laporan itu mengutip dokumen rahasia dari ahli geologi China.
Pada 2018, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman mengatakan bahwa negara itu tidak memiliki rencana untuk memperoleh bom nuklir, tetapi jika Iran mengembangkannya, maka Saudi akan mengikuti secepat mungkin.
Di bawah pemerintahan Donald Trump sebelumnya, AS telah memberikan beberapa otorisasi kepada perusahaan Amerika untuk membagikan informasi sensitif tenaga nuklir.
(min)