Pemerintah ASEAN Dinilai Gagal Tangani Krisis Kudeta Militer Myanmar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dari komunitas ASEAN telah dinilai gagal dalam mengatasi krisis kudeta militer di Myanmar . Sudah 200 lebih, yang sebagian besar demonstran, terbunuh sejak junta militer mengambil alih kekuasaan dari pemerintah Aung San Suu Kyi 1 Februari lalu.
Pemimpin oposisi Kamboja, Sam Rainsy, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon, pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim, Senator dan Ketua Dewan Liberal dan Demokrat Asia Filipina Kiko Pangilinan, mantan juru bicara Parlemen Singapura Charles Chong, dan mantan menteri luar negeri Thailand Kasit Piromya menyuarakan bahwa ASEAN membutuhkan visi baru dalam merespons krisis kudeta militer Myanmar.
"Rakyat ASEAN menginginkan kawasan damai dan demokratis yang menghormati hak asasi manusia (HAM), di mana pemerintah ASEAN gagal menangani secara efektif krisis Myanmar yang sedang berlangsung," ujar Rainsy dalam konferensi pers virtual pada Rabu (17/3/2021).
Dia menegaskan, di kala para pengunjuk rasa pro-demokrasi Myanmar yang gagah berani sedang dibunuh secara keji oleh junta militer, semua pemerintah negara ASEAN lainnya justru menunjukkan kurangnya kemauan politik dan persatuan untuk menekan junta militer supaya mengakhiri aksi pembunuhan mereka.
"Peristiwa di Myanmar, sekali lagi menunjukkan ketidakmampuan pemerintah ASEAN dalam menghadapi krisis regional. Selama beberapa dekade, pemerintahan ASEAN secara konsisten gagal melindungi rakyat mereka dari satu krisis ke krisis lainnya, termasuk polusi kabut asap transnasional, bencana kemanusiaan Rohingya,dan banyak pelanggaran anti-demokrasi dan HAM," papar Rainsy.
Pada intinya, pemerintah ASEAN telah dilumpuhkan oleh doktrin non-intervensi yang dibuat sendiri. Doktrin ini mungkin dibutuhkan di masa lalu, tetapi sejak saat itu, doktrin ini justru menjadi penghalang utama dan batu sandungan bagi perkembangan demokrasi partisipatif dan perlindungan hak-hak dasar rakyat ASEAN.
"Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, menuntut pemerintah ASEAN kami masing-masing untuk meninggalkan doktrin lama non-intervensi ini dan mengejar pendekatan baru yakni keterlibatan konstruktif dan kritis, dengan opsi untuk menjatuhkan sanksi perdagangan dan ekonomi pada junta militer Myanmar," seru Rainsy.
Pemimpin oposisi Kamboja, Sam Rainsy, Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon, pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim, Senator dan Ketua Dewan Liberal dan Demokrat Asia Filipina Kiko Pangilinan, mantan juru bicara Parlemen Singapura Charles Chong, dan mantan menteri luar negeri Thailand Kasit Piromya menyuarakan bahwa ASEAN membutuhkan visi baru dalam merespons krisis kudeta militer Myanmar.
"Rakyat ASEAN menginginkan kawasan damai dan demokratis yang menghormati hak asasi manusia (HAM), di mana pemerintah ASEAN gagal menangani secara efektif krisis Myanmar yang sedang berlangsung," ujar Rainsy dalam konferensi pers virtual pada Rabu (17/3/2021).
Dia menegaskan, di kala para pengunjuk rasa pro-demokrasi Myanmar yang gagah berani sedang dibunuh secara keji oleh junta militer, semua pemerintah negara ASEAN lainnya justru menunjukkan kurangnya kemauan politik dan persatuan untuk menekan junta militer supaya mengakhiri aksi pembunuhan mereka.
"Peristiwa di Myanmar, sekali lagi menunjukkan ketidakmampuan pemerintah ASEAN dalam menghadapi krisis regional. Selama beberapa dekade, pemerintahan ASEAN secara konsisten gagal melindungi rakyat mereka dari satu krisis ke krisis lainnya, termasuk polusi kabut asap transnasional, bencana kemanusiaan Rohingya,dan banyak pelanggaran anti-demokrasi dan HAM," papar Rainsy.
Pada intinya, pemerintah ASEAN telah dilumpuhkan oleh doktrin non-intervensi yang dibuat sendiri. Doktrin ini mungkin dibutuhkan di masa lalu, tetapi sejak saat itu, doktrin ini justru menjadi penghalang utama dan batu sandungan bagi perkembangan demokrasi partisipatif dan perlindungan hak-hak dasar rakyat ASEAN.
"Kami, yang bertanda tangan di bawah ini, menuntut pemerintah ASEAN kami masing-masing untuk meninggalkan doktrin lama non-intervensi ini dan mengejar pendekatan baru yakni keterlibatan konstruktif dan kritis, dengan opsi untuk menjatuhkan sanksi perdagangan dan ekonomi pada junta militer Myanmar," seru Rainsy.
(min)