Mengenang Rachel Corrie: Membela Palestina, Dibuldoser Israel
loading...
A
A
A
Jiwa sosial Corrie sudah menonjol sejak dia masih kecil. Videonya yang pidato tanpa naskah di depan para siswa cukup mencengangkan. Isi pidatonya bukan tentang imajinasi anak-anak, tapi berisi pesan-pesan moral dan sosial.
Berkat Corrie, kelompok ISM kini menginsipirasi anak-anak muda dari berbagai negara di dunia untuk bergerak menolong Palestina. Salah satunya adalah anak-anak muda yang tewas dalam tragedi kapal Mavi Marmara, beberapa tahun silam.
Saban 16 Maret, para aktivis dan seniman rutin menggelar pentas teater tentang detik-detik kematian Corrie. Selain abadi sebagai nama pahlawan Palestina, nama Corrie juga sudah lama diabadikan sebagai yayasan sosial yang digerakkan orangtuanya untuk menolong orang-orang tertindas.
Kematian Corrie adalah “tamparan” bagi AS yang selama ini sesumbar memperjuangkan HAM. Alih-alih memperjuangkan HAM, AS selama 18 tahun terakhir ini bungkam untuk membela warganya sendiri yang tewas dibuldoser Israel. Gagal di negaranya sendiri, orangtua Corrie menggugat pembunuh putrinya ke pengadilan di Israel. Tapi, hasilnya jauh dari memuaskan.
Ketiba tiba pertama kali di Rafah 18 tahun silam, Corrie kerap mengontak Ibunya untuk menceritakan penderitaan bocah-bocah Palestina yang ketakutan mendengar tembakan hingga penggusuran. Bagi Corrie, itu pengalaman nyata yang menyayat hatinya.
Nasibnya tragis. Kurang dari dua bulan setelah kedatangannya di Rafah, aktivis cantik ini meninggal dibunuh tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dengan buldoser.
Pasukan rezim Zionis kala itu berdalih tidak melihat Corrie karena pandangan terganggu. Tapi, dalih itu janggal, sebab Corrie sudah melambaikan tangan dan berteriak memohon untuk menghentikan laju buldoser.
Penyelidikan militer Israel menyimpulkan kematian Corrie sebagai kecelakaan. Kesimpulan ini yang menyedihkan orangtuanya dan para aktivis pro-Palestina.
Kelompok-kelompok HAM, seperti Amnesty International, Human Right Watch, B’Tselem dan Yesh Din, mengecam penyelidikan militer Israel atas kematian Corrie.
Berkat Corrie, kelompok ISM kini menginsipirasi anak-anak muda dari berbagai negara di dunia untuk bergerak menolong Palestina. Salah satunya adalah anak-anak muda yang tewas dalam tragedi kapal Mavi Marmara, beberapa tahun silam.
Saban 16 Maret, para aktivis dan seniman rutin menggelar pentas teater tentang detik-detik kematian Corrie. Selain abadi sebagai nama pahlawan Palestina, nama Corrie juga sudah lama diabadikan sebagai yayasan sosial yang digerakkan orangtuanya untuk menolong orang-orang tertindas.
Kematian Corrie adalah “tamparan” bagi AS yang selama ini sesumbar memperjuangkan HAM. Alih-alih memperjuangkan HAM, AS selama 18 tahun terakhir ini bungkam untuk membela warganya sendiri yang tewas dibuldoser Israel. Gagal di negaranya sendiri, orangtua Corrie menggugat pembunuh putrinya ke pengadilan di Israel. Tapi, hasilnya jauh dari memuaskan.
Ketiba tiba pertama kali di Rafah 18 tahun silam, Corrie kerap mengontak Ibunya untuk menceritakan penderitaan bocah-bocah Palestina yang ketakutan mendengar tembakan hingga penggusuran. Bagi Corrie, itu pengalaman nyata yang menyayat hatinya.
Nasibnya tragis. Kurang dari dua bulan setelah kedatangannya di Rafah, aktivis cantik ini meninggal dibunuh tentara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dengan buldoser.
Pasukan rezim Zionis kala itu berdalih tidak melihat Corrie karena pandangan terganggu. Tapi, dalih itu janggal, sebab Corrie sudah melambaikan tangan dan berteriak memohon untuk menghentikan laju buldoser.
Penyelidikan militer Israel menyimpulkan kematian Corrie sebagai kecelakaan. Kesimpulan ini yang menyedihkan orangtuanya dan para aktivis pro-Palestina.
Kelompok-kelompok HAM, seperti Amnesty International, Human Right Watch, B’Tselem dan Yesh Din, mengecam penyelidikan militer Israel atas kematian Corrie.