Mengenal Prayut Chan-o-cha, Pemimpin Junta Thailand dan 'Penasihat' Junta Myanmar
loading...
A
A
A
BANGKOK - Junta Myanmar beberapa waktu lalu meminta bantuan untuk mendukung demokrasi kepada pemimpin junta militer Thailand, Prayut Chan-o-cha. Prayut menduduki pucuk kekuasaan setelah melakukan kudeta terhadap pemerintahan Yingluck Shinawatra.
Prayut, yang berhasil melanjutkan masa jabatanya setelah menang dalam pemilihan umum pada tahun 2019 lalu mengatakan, bahwa dia selalu mendukung demokrasi di negara tetangga.
"Kami mendukung proses demokrasi di Myanmar, tapi yang terpenting saat ini adalah menjaga hubungan baik, karena berdampak pada masyarakat, ekonomi, perdagangan perbatasan, khususnya sekarang. Thailand mendukung proses demokrasi. Selebihnya terserah dia bagaimana melanjutkannya," ucapnya.
Lalu, siapakah sebenarnya Prayut. Melansir dari berbagai sumber, Prayut adalah politisi dan pensiunan perwira Angkatan Darat Thailand.
Selain menduduki jabatan Perdana Menteri, dia juga adalah Menteri Pertahanan Negeri Gajah Putih itu. Dia menduduki jabatan itu sejak berhasil merebut kekuasaan dari Yingluck.
Dia menjabat sebagai panglima tentara Thailand sejak 2010 hingga 2014 dan merupakan pemimpin Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO), junta militer yang memerintah Thailand dari 22 Mei 2014 hingga 10 Juli 2019.
Setelah penunjukannya sebagai panglima militer pada tahun 2010, Prayut dicirikan sebagai seorang royalis dan lawan dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Dianggap sebagai kelompok garis keras dalam militer, ia adalah salah satu pendukung utama tindakan keras militer terhadap demonstrasi Kaos Merah.
Selama krisis politik yang dimulai pada November 2013 dan melibatkan protes terhadap pemerintahan sementara Yingluck, Prayut mengklaim bahwa tentara netral dan tidak akan melancarkan kudeta. Namun, pada Mei 2014, Prayut melancarkan kudeta militer terhadap pemerintah dan mengambil alih kendali negara sebagai pemimpin NCPO.
Prayut, yang berhasil melanjutkan masa jabatanya setelah menang dalam pemilihan umum pada tahun 2019 lalu mengatakan, bahwa dia selalu mendukung demokrasi di negara tetangga.
"Kami mendukung proses demokrasi di Myanmar, tapi yang terpenting saat ini adalah menjaga hubungan baik, karena berdampak pada masyarakat, ekonomi, perdagangan perbatasan, khususnya sekarang. Thailand mendukung proses demokrasi. Selebihnya terserah dia bagaimana melanjutkannya," ucapnya.
Lalu, siapakah sebenarnya Prayut. Melansir dari berbagai sumber, Prayut adalah politisi dan pensiunan perwira Angkatan Darat Thailand.
Selain menduduki jabatan Perdana Menteri, dia juga adalah Menteri Pertahanan Negeri Gajah Putih itu. Dia menduduki jabatan itu sejak berhasil merebut kekuasaan dari Yingluck.
Dia menjabat sebagai panglima tentara Thailand sejak 2010 hingga 2014 dan merupakan pemimpin Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO), junta militer yang memerintah Thailand dari 22 Mei 2014 hingga 10 Juli 2019.
Setelah penunjukannya sebagai panglima militer pada tahun 2010, Prayut dicirikan sebagai seorang royalis dan lawan dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Dianggap sebagai kelompok garis keras dalam militer, ia adalah salah satu pendukung utama tindakan keras militer terhadap demonstrasi Kaos Merah.
Selama krisis politik yang dimulai pada November 2013 dan melibatkan protes terhadap pemerintahan sementara Yingluck, Prayut mengklaim bahwa tentara netral dan tidak akan melancarkan kudeta. Namun, pada Mei 2014, Prayut melancarkan kudeta militer terhadap pemerintah dan mengambil alih kendali negara sebagai pemimpin NCPO.