Facebook ‘Memusuhi’ Australia, Heboh Karena Halaman Berita Jadi Gelap
loading...
A
A
A
SYDNEY - Facebook menghadapi reaksi keras dari para penerbit dan politisi setelah memblokir news feeds di Australia .
Perselisihan antara Facebook dan pemerintah Australia pun meningkat seiring upaya penerapan undang-undang (UU) yang mengharuskan Facebook berbagi pendapatan dari berita.
Facebook menghapus sejumlah halaman milik pemerintah dan badan amal negara bagian Australia serta dari organisasi berita domestik dan internasional. Langkah Facebook itu hanya tiga hari sebelum peluncuran program vaksinasi COVID-19 nasional Australia.
Meskipun tindakan tersebut terbatas pada Australia, penerbit Eropa bersama para politisi Inggris dan Kanada menggambarkannya sebagai upaya menekan pemerintah yang mungkin mempertimbangkan tindakan serupa.
Lihat infografis: Jumlah Kapal Militer yang Beroperasi, AL China Ungguli AS
“Tindakan Facebook untuk tidak berteman dengan Australia hari ini, memutus layanan informasi penting tentang layanan kesehatan dan darurat, sama sombongnya dengan mereka mengecewakan,” tulis Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison di halaman Facebook-nya sendiri.
"Tindakan ini hanya akan mengonfirmasi kekhawatiran yang diungkapkan semakin banyak negara tentang perilaku perusahaan Teknologi Besar yang berpikir bahwa mereka lebih besar dari pemerintah dan berbagai aturan seharusnya tidak berlaku untuk mereka," papar Morrison.
Menteri Warisan Kanada Steven Guilbeault sedang menyusun undang-undang untuk membuat berbagai platform membayar untuk menggunakan konten media. Dia mengatakan, “Langkah Facebook sangat tidak bertanggung jawab."
"Itu tidak akan menghalangi kami untuk bergerak maju," tegas dia dalam pernyataan kepada wartawan.
Sengketa ini berpusat pada Undang-undang Australia yang akan mewajibkan Facebook dan Alphabet Inc Google mencapai kesepakatan membayar outlet berita yang tautannya mengarahkan lalu lintas ke platform mereka, atau menyetujui harga melalui arbitrase.
Juru bicara Facebook mengatakan CEO Mark Zuckerberg memiliki percakapan konstruktif dengan Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg.
Zuckerberg menyatakan kekecewaan dengan undang-undang yang diusulkan Australia. Facebook akan terus terlibat dengan pemerintah untuk amandemen undang-undang.
Facebook mengatakan telah memblokir sebagian besar halaman karena rancangan undang-undang tersebut tidak mendefinisikan konten berita dengan jelas.
Facebook menyatakan komitmennya memerangi misinformasi tidak berubah dan akan memulihkan halaman yang tidak sengaja dihapus.
"Karena undang-undang tidak memberikan pedoman yang jelas tentang definisi konten berita, kami telah mengambil definisi yang luas untuk menghormati undang-undang yang telah dirancang," papar juru bicara Facebook.
Facebook menggunakan alat machine learning untuk mengidentifikasi berita di situs untuk menegakkan tindakan Australia yang memblokir segala sesuatu, mulai dari portal berita dan web pemerintah hingga situsnya sendiri di Australia pada satu titik.
Benedict Evans, analis media digital dan mantan mitra di perusahaan modal ventura Andreessen Horowitz, mengatakan argumen Facebook akan bersedia membayar tautan artikel berita di platformnya jika bukan karena dominasinya itu salah arah, dan tidak ada situs web lain yang membayar penerbit untuk menautkan berita.
"Ada penyembunyian pada logika ini. Tidak ada yang pernah membayar untuk link, terlepas dari kekuatan pasar mereka," tulis Evans dalam posting blog.
Ketua komite parlemen Inggris yang mengawasi industri media, Julian Knight, mengatakan pesan itu ditujukan jauh ke luar Australia.
“Tindakan ini, tindakan anak penindas, yang telah mereka lakukan di Australia menurut saya akan memicu keinginan untuk melangkah lebih jauh di antara para legislator di penjuru dunia,” ungkap Knight kepada Reuters.
"Saya pikir mereka hampir menggunakan Australia sebagai ujian kekuatan bagi demokrasi global, apakah mereka ingin memberlakukan pembatasan atau tidak dalam cara mereka berbisnis. Jadi, menurutku kita semua berada di belakang Australia," papar dia.
Para penerbit berita melihat taktik Facebook sebagai bukti bahwa perusahaan yang juga memiliki Instagram dan WhatsApp itu tidak dapat dipercaya sebagai penjaga gerbang industri mereka.
Ketua grup industri Asosiasi Media Berita Inggris Henry Faure Walker mengatakan pelarangan berita selama pandemi global adalah contoh klasik dari kekuatan monopoli yang menjadi pengganggu di halaman sekolah. “Mencoba melindungi posisi dominannya dengan sedikit memperhatikan warga dan pelanggan yang seharusnya dilayani," ujar dia.
Kepala asosiasi penerbit berita BDZV Jerman, Dietmar Wolff, mengatakan, "Sudah saatnya pemerintah di dunia membatasi kekuatan pasar dari platform penjaga gerbang."
Saham Facebook diperdagangkan turun 2% pada Kamis.
Perselisihan antara Facebook dan pemerintah Australia pun meningkat seiring upaya penerapan undang-undang (UU) yang mengharuskan Facebook berbagi pendapatan dari berita.
Facebook menghapus sejumlah halaman milik pemerintah dan badan amal negara bagian Australia serta dari organisasi berita domestik dan internasional. Langkah Facebook itu hanya tiga hari sebelum peluncuran program vaksinasi COVID-19 nasional Australia.
Meskipun tindakan tersebut terbatas pada Australia, penerbit Eropa bersama para politisi Inggris dan Kanada menggambarkannya sebagai upaya menekan pemerintah yang mungkin mempertimbangkan tindakan serupa.
Lihat infografis: Jumlah Kapal Militer yang Beroperasi, AL China Ungguli AS
“Tindakan Facebook untuk tidak berteman dengan Australia hari ini, memutus layanan informasi penting tentang layanan kesehatan dan darurat, sama sombongnya dengan mereka mengecewakan,” tulis Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison di halaman Facebook-nya sendiri.
"Tindakan ini hanya akan mengonfirmasi kekhawatiran yang diungkapkan semakin banyak negara tentang perilaku perusahaan Teknologi Besar yang berpikir bahwa mereka lebih besar dari pemerintah dan berbagai aturan seharusnya tidak berlaku untuk mereka," papar Morrison.
Menteri Warisan Kanada Steven Guilbeault sedang menyusun undang-undang untuk membuat berbagai platform membayar untuk menggunakan konten media. Dia mengatakan, “Langkah Facebook sangat tidak bertanggung jawab."
"Itu tidak akan menghalangi kami untuk bergerak maju," tegas dia dalam pernyataan kepada wartawan.
Sengketa ini berpusat pada Undang-undang Australia yang akan mewajibkan Facebook dan Alphabet Inc Google mencapai kesepakatan membayar outlet berita yang tautannya mengarahkan lalu lintas ke platform mereka, atau menyetujui harga melalui arbitrase.
Juru bicara Facebook mengatakan CEO Mark Zuckerberg memiliki percakapan konstruktif dengan Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg.
Zuckerberg menyatakan kekecewaan dengan undang-undang yang diusulkan Australia. Facebook akan terus terlibat dengan pemerintah untuk amandemen undang-undang.
Facebook mengatakan telah memblokir sebagian besar halaman karena rancangan undang-undang tersebut tidak mendefinisikan konten berita dengan jelas.
Facebook menyatakan komitmennya memerangi misinformasi tidak berubah dan akan memulihkan halaman yang tidak sengaja dihapus.
"Karena undang-undang tidak memberikan pedoman yang jelas tentang definisi konten berita, kami telah mengambil definisi yang luas untuk menghormati undang-undang yang telah dirancang," papar juru bicara Facebook.
Facebook menggunakan alat machine learning untuk mengidentifikasi berita di situs untuk menegakkan tindakan Australia yang memblokir segala sesuatu, mulai dari portal berita dan web pemerintah hingga situsnya sendiri di Australia pada satu titik.
Benedict Evans, analis media digital dan mantan mitra di perusahaan modal ventura Andreessen Horowitz, mengatakan argumen Facebook akan bersedia membayar tautan artikel berita di platformnya jika bukan karena dominasinya itu salah arah, dan tidak ada situs web lain yang membayar penerbit untuk menautkan berita.
"Ada penyembunyian pada logika ini. Tidak ada yang pernah membayar untuk link, terlepas dari kekuatan pasar mereka," tulis Evans dalam posting blog.
Ketua komite parlemen Inggris yang mengawasi industri media, Julian Knight, mengatakan pesan itu ditujukan jauh ke luar Australia.
“Tindakan ini, tindakan anak penindas, yang telah mereka lakukan di Australia menurut saya akan memicu keinginan untuk melangkah lebih jauh di antara para legislator di penjuru dunia,” ungkap Knight kepada Reuters.
"Saya pikir mereka hampir menggunakan Australia sebagai ujian kekuatan bagi demokrasi global, apakah mereka ingin memberlakukan pembatasan atau tidak dalam cara mereka berbisnis. Jadi, menurutku kita semua berada di belakang Australia," papar dia.
Para penerbit berita melihat taktik Facebook sebagai bukti bahwa perusahaan yang juga memiliki Instagram dan WhatsApp itu tidak dapat dipercaya sebagai penjaga gerbang industri mereka.
Ketua grup industri Asosiasi Media Berita Inggris Henry Faure Walker mengatakan pelarangan berita selama pandemi global adalah contoh klasik dari kekuatan monopoli yang menjadi pengganggu di halaman sekolah. “Mencoba melindungi posisi dominannya dengan sedikit memperhatikan warga dan pelanggan yang seharusnya dilayani," ujar dia.
Kepala asosiasi penerbit berita BDZV Jerman, Dietmar Wolff, mengatakan, "Sudah saatnya pemerintah di dunia membatasi kekuatan pasar dari platform penjaga gerbang."
Saham Facebook diperdagangkan turun 2% pada Kamis.
(sya)