Militer Myanmar Jamin Pemilu Baru, Demonstran Blokir Layanan Kereta

Rabu, 17 Februari 2021 - 02:02 WIB
loading...
Militer Myanmar Jamin Pemilu Baru, Demonstran Blokir Layanan Kereta
Demonstran menghentikan layanan kereta antara Yangon dan kota selatan Mawlamyine, Myanmar. Foto/REUTERS
A A A
YANGON - Junta militer Myanmar menjamin akan menggelar pemilu dan menyerahkan kekuasaan.

Mereka menyangkal penggulingan pemerintahan terpilih itu kudeta atau para pemimpinnya ditahan. Junta menuduh pengunjuk rasa melakukan kekerasan dan intimidasi.

Pembelaan junta atas perebutan kekuasaan pada 1 Februari dan penangkapan pemimpin pemerintah Aug San Suu Kyi dan lainnya terjadi ketika pengunjuk rasa kembali turun ke jalan.



China juga menepis rumor yang menyebar di media sosial bahwa mereka telah membantu kudeta tersebut.



“Tujuan kami adalah mengadakan pemilu dan menyerahkan kekuasaan kepada partai pemenang,” ungkap Brigjen Zaw Min Tun, juru bicara dewan yang berkuasa, mengatakan pada konferensi pers pertama junta sejak menggulingkan pemerintahan Suu Kyi.



Militer belum memberikan tanggal untuk pemilu baru tetapi telah memberlakukan keadaan darurat selama satu tahun.

Zaw Min Tun mengatakan militer tidak akan lama memegang kekuasaan.

"Kami menjamin bahwa pemilu akan diadakan," ujar dia dalam konferensi pers yang berlangsung hampir dua jam dan disiarkan langsung oleh militer dari ibu kota, Naypyitaw, melalui Facebook yang telah dilarang.

Ditanya tentang penahanan pemenang Penghargaan Nobel Perdamaian Suu Kyi, Zaw Min Tun menepis tuduhan bahwa mereka ditahan.

Zaw mengatakan mereka berada di rumah untuk keamanan mereka sementara hukum ditegakkan.

Dia juga mengatakan kebijakan luar negeri Myanmar tidak akan berubah, tetap terbuka untuk bisnis dan berbagai kesepakatan akan dilaksanakan.

Militer berharap jaminannya akan meredam kampanye oposisi harian terhadap junta serta penggulingan Suu Kyi dan pemerintahannya.

Selain demonstrasi di kota-kota besar di penjuru negeri yang beraneka ragam etnis, gerakan pembangkangan sipil telah memicu mogok kerja yang melumpuhkan banyak fungsi pemerintahan.

Kerusuhan telah menghidupkan kembali ingatan akan pecahnya konflik berdarah hampir setengah abad pemerintahan langsung militer yang berakhir pada 2011 ketika militer memulai proses penarikan diri dari politik.

Sementara kekerasan telah dibatasi kali ini, polisi melepaskan tembakan beberapa kali, kebanyakan dengan peluru karet, untuk membubarkan pengunjuk rasa.

“Enam orang terluka di pusat kota Maungmya pada Selasa (16/2) ketika polisi menembakkan peluru karet untuk membubarkan protes atas seorang guru yang ditangkap,” ujar seorang saksi mata.

Seorang wanita yang ditembak di kepala di Naypyitaw pekan lalu diperkirakan tidak akan selamat. Zaw Min Tun mengatakan seorang polisi tewas karena luka-luka yang dideritanya selama unjuk rasa.

Dia mengatakan para pengunjuk rasa memulai kekerasan sementara kampanye pembangkangan sipil merupakan intimidasi ilegal terhadap para pegawai negeri sipil (PNS).

“Kami akan menunggu dengan sabar. Setelah itu, kami akan bertindak sesuai hukum,” papar Zaw Min Tun.

Tentara telah memberikan wewenang untuk pencarian dan penahanan secara luas dan telah membuat amandemen hukum pidana yang bertujuan membungkam perbedaan pendapat dengan hukuman penjara yang berat.

Kereta Diblokir

Para pengunjuk rasa berbondong-bondong ke jalur kereta api sambil melambaikan spanduk untuk mendukung gerakan pembangkangan dan memblokir kereta antara Yangon dan kota selatan Mawlamyine.

"Lepaskan pemimpin kami segera," dan "Kekuasaan rakyat, berikan kembali," diteriakkan para demonstran dalam tayangan langsung yang disiarkan media.

Massa juga berkumpul di kota utama Yangon, termasuk di bank sentral, di mana pengunjuk rasa meminta para pegawai bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil.

Sekelompok biksu Buddha juga memprotes kudeta di Yangon, sementara ratusan orang berbaris melalui kota pantai barat Thanked.

Tentara mengambil alih kekuasaan dengan tuduhan terjadi kecurangan pemilu 8 November yang dimenangkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi.

Komisi pemilu telah menolak gugatan militer dalam pemilu tersebut.

Suu Kyi, 75, menghabiskan hampir 15 tahun dalam tahanan rumah atas upayanya mengakhiri kekuasaan militer.

Dia menghadapi tuduhan mengimpor enam radio walkie-talkie secara ilegal dan ditahan hingga Rabu (17/2).

Pengacaranya mengatakan pada Selasa bahwa polisi telah mengajukan dakwaan kedua karena melanggar Undang-Undang Penanggulangan Bencana Alam.

Kudeta tersebut memicu kemarahan dari negara-negara Barat dan Amerika Serikat (AS) hingga menerapkan beberapa sanksi terhadap para jenderal.

Namun China telah mengambil pendekatan yang lebih lembut, dengan alasan stabilitas harus menjadi prioritas di negara tetangganya.

Meski demikian, China bergabung dengan anggota Dewan Keamanan PBB lainnya untuk menyerukan pembebasan Suu Kyi.

Pada Selasa, Duta Besar China untuk PBB Chen Hai mengatakan, “Situasinya sama sekali bukan apa yang ingin dilihat China."

Dia menepis rumor keterlibatan China dalam kudeta itu sebagai "sepenuhnya tidak masuk akal."

Chen, dalam wawancara dengan media yang diposting di halaman Facebook mengatakan China mempertahankan hubungan persahabatan baik dengan para tentara dan mantan pemerintah serta belum "diinformasikan sebelumnya tentang perubahan politik."
(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1234 seconds (0.1#10.140)