AS-Iran 'Kompak' Hadang Rencana Prancis untuk Lebanon
loading...
A
A
A
BEIRUT - Presiden Prancis, Emmanuel Macron telah menjadi ujung tombak upaya internasional untuk menyelamatkan Lebanon dari krisis terdalamnya sejak perang saudara 1975-1990. Dia telah melakukan perjalanan dua kali ke Lebanon sejak terjadinya ledakan besar di pelabuhan Beirut pada Agustus silam yang menghancurkan kota itu.
(Baca Juga : Anggaran Pertahanan Dipangkas, Jenderal Rusia Tidak Tertarik Ikut Perlombaan Senjata )
Macron mencoba menggunakan pengaruh sejarah Paris untuk membujuk politisi Lebanon yang bertikai untuk mengadopsi peta jalan dan membentuk pemerintahan baru yang bertugas memberantas korupsi, sebuah prasyarat bagi donor internasional, termasuk IMF untuk membuka bantuan miliaran dolar.
(Baca: Prancis: Lebanon seperti Tenggelamnya Titanic Tanpa Musik )
Pemimpin berusia 42 tahun itu, sejak awal menghadapi kerusakan kelas politik Lebanon yang terpecah, yang telah bertengkar dan mengabaikan peringatan internasional tentang kebangkrutan negara. Selain itu penolakan Amerika Serikat (AS) dan "keberadaan" Iran mempersulit upaya Macron.
"Kelas politik Lebanon terjebak dalam kontradiksinya sendiri dan dengan senang hati bermain waktu," kata Nadim Khoury dari Arab Reform Initiative, seperti dilansir Al Arabiya.
"(Perdana Menteri yang ditunjuk) Saad al-Hariri tidak dapat membentuk pemerintahan dan secara internasional AS tidak akan memfasilitasi upaya Prancis untuk membentuk pemerintahan," sambungnya.
Keberatan AS terhadap rencana Macron berpusat pada Hizbullah, gerakan bersenjata yang didukung Iran yang memegang kekuasaan besar di Lebanon, dan yang dicap Washington sebagai kelompok teroris.
Hariri, diberi tugas membentuk pemerintahan setelah Mustapha Adib mengundurkan diri pada September. Dia sejauh ini berjuang untuk menyusun kabinet untuk berbagi kekuasaan dengan semua partai Lebanon, termasuk Hizbullah.
Paris awalnya tidak ingin Hariri mengambil peran itu, setelah sebelumnya gagal menerapkan reformasi. Namun, mengingat kurangnya kemajuan dalam membentuk pemerintahan yang kredibel, Macron tidak menentang pencalonan tersebut. Prancis mengatakan, anggota Hizbullah yang terpilih memiliki peran politik yang sah.
AS telah menjatuhkan sanksi pada tiga politisi terkemuka yang bersekutu dengan Hizbullah. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo telah memperingatakan akan ada tindakan lain yang akan dilakukan jika Hizbullah menjadi bagian dari pemerintah Lebanon.
Tanpa dukungan AS, organisasi dan donor internasional tidak akan memberi Lebanon uang yang dibutuhkannya untuk keluar dari krisis keuangan yang menurut Bank Dunia kemungkinan akan menyebabkan lebih dari setengah populasi dilanda kemiskinan pada tahun 2021.
(Baca: PM Lebanon Hassan Diab Jadi Terdakwa Ledakan Beirut )
Macron, yang telah bersumpah di tengah-tengah reruntuhan di Beirut untuk tidak meninggalkan rakyat Lebanon, berusaha menunjukkan beberapa keberhasilan kebijakan luar negeri di kawasan itu setelah berjalan dengan tangan kosong dari inisiatif profil tinggi di Libya dan Iran dalam beberapa tahun terakhir.
Untuk pemerintahan AS saat ini, sikap keras terhadap Hizbullah, yang dianggapnya sebagai kelompok teroris, adalah kunci untuk menunjukkan bahwa kebijakan Timur Tengah secara keseluruhan, termasuk tekanan maksimum terhadap Iran, telah efektif.
Tiga diplomat Prancis, yang berbicara dalam kondisi anonim, mengatakan mereka tidak mengharapkan Joe Biden dengan cepat mengubah kebijakan AS, mengingat sifat dua-partisan dari sikap AS dan prioritas lain untuk pemerintahan baru.
(Baca Juga : Anggaran Pertahanan Dipangkas, Jenderal Rusia Tidak Tertarik Ikut Perlombaan Senjata )
Macron mencoba menggunakan pengaruh sejarah Paris untuk membujuk politisi Lebanon yang bertikai untuk mengadopsi peta jalan dan membentuk pemerintahan baru yang bertugas memberantas korupsi, sebuah prasyarat bagi donor internasional, termasuk IMF untuk membuka bantuan miliaran dolar.
(Baca: Prancis: Lebanon seperti Tenggelamnya Titanic Tanpa Musik )
Pemimpin berusia 42 tahun itu, sejak awal menghadapi kerusakan kelas politik Lebanon yang terpecah, yang telah bertengkar dan mengabaikan peringatan internasional tentang kebangkrutan negara. Selain itu penolakan Amerika Serikat (AS) dan "keberadaan" Iran mempersulit upaya Macron.
"Kelas politik Lebanon terjebak dalam kontradiksinya sendiri dan dengan senang hati bermain waktu," kata Nadim Khoury dari Arab Reform Initiative, seperti dilansir Al Arabiya.
"(Perdana Menteri yang ditunjuk) Saad al-Hariri tidak dapat membentuk pemerintahan dan secara internasional AS tidak akan memfasilitasi upaya Prancis untuk membentuk pemerintahan," sambungnya.
Keberatan AS terhadap rencana Macron berpusat pada Hizbullah, gerakan bersenjata yang didukung Iran yang memegang kekuasaan besar di Lebanon, dan yang dicap Washington sebagai kelompok teroris.
Hariri, diberi tugas membentuk pemerintahan setelah Mustapha Adib mengundurkan diri pada September. Dia sejauh ini berjuang untuk menyusun kabinet untuk berbagi kekuasaan dengan semua partai Lebanon, termasuk Hizbullah.
Paris awalnya tidak ingin Hariri mengambil peran itu, setelah sebelumnya gagal menerapkan reformasi. Namun, mengingat kurangnya kemajuan dalam membentuk pemerintahan yang kredibel, Macron tidak menentang pencalonan tersebut. Prancis mengatakan, anggota Hizbullah yang terpilih memiliki peran politik yang sah.
AS telah menjatuhkan sanksi pada tiga politisi terkemuka yang bersekutu dengan Hizbullah. Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo telah memperingatakan akan ada tindakan lain yang akan dilakukan jika Hizbullah menjadi bagian dari pemerintah Lebanon.
Tanpa dukungan AS, organisasi dan donor internasional tidak akan memberi Lebanon uang yang dibutuhkannya untuk keluar dari krisis keuangan yang menurut Bank Dunia kemungkinan akan menyebabkan lebih dari setengah populasi dilanda kemiskinan pada tahun 2021.
(Baca: PM Lebanon Hassan Diab Jadi Terdakwa Ledakan Beirut )
Macron, yang telah bersumpah di tengah-tengah reruntuhan di Beirut untuk tidak meninggalkan rakyat Lebanon, berusaha menunjukkan beberapa keberhasilan kebijakan luar negeri di kawasan itu setelah berjalan dengan tangan kosong dari inisiatif profil tinggi di Libya dan Iran dalam beberapa tahun terakhir.
Untuk pemerintahan AS saat ini, sikap keras terhadap Hizbullah, yang dianggapnya sebagai kelompok teroris, adalah kunci untuk menunjukkan bahwa kebijakan Timur Tengah secara keseluruhan, termasuk tekanan maksimum terhadap Iran, telah efektif.
Tiga diplomat Prancis, yang berbicara dalam kondisi anonim, mengatakan mereka tidak mengharapkan Joe Biden dengan cepat mengubah kebijakan AS, mengingat sifat dua-partisan dari sikap AS dan prioritas lain untuk pemerintahan baru.
(esn)