Volkswagen: Tak Ada Kerja Paksa di Pabrik Xinjiang
loading...
A
A
A
BEIJING - Volkswagen membela keputusannya terus mengoperasikan pabrik mobil di Xinjiang, China . Xinjiang diduga menjadi tempat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) skala besar oleh otoritas China.
Ratusan ribu warga etnis Uighur dan minoritas lainnya diduga ditahan di kamp-kamp atau digunakan sebagai tenaga kerja paksa di pabrik-pabrik.
Tuduhan itu menyebabkan beberapa perusahaan multinasional memutuskan hubungan dengan Xinjiang, meskipun China bersikeras bahwa klaim tersebut tidak benar.
Pengkritik Volkswagen berpendapat bahwa perusahaan memiliki kewajiban moral tertentu untuk tidak terlibat dalam praktik semacam itu karena sejarahnya. (Baca Juga: China Akhirnya Beri Ucapan Selamat pada Biden dan Harris)
Volkswagen didirikan oleh Partai Nazi Jerman yang berkuasa pada 1937 dan menggunakan kerja paksa, termasuk para tahanan kamp konsentrasi, di pabriknya selama Perang Dunia II. (Lihat Infografis: KTT ASEAN Digelar di Tengah Pergolakan Kekuatan Global)
Namun dalam wawancara dengan BBC di Beijing, CEO Volkswagen di China, Stephan Wollenstein, membela kehadiran Volkswagen di ibu kota Xinjiang, Urumqi, China. (Lihat Video: Badai Topan Vamco Terjang Filipina, 32 Desa Terendam Banjir)
Di Xinjiang, Volkswagen menjalankan pabrik dengan 600 pekerja, memproduksi hingga 20.000 mobil per tahun.
"Apa yang terjadi di masa Nazi adalah sesuatu yang terjadi di pabrik kami di mana kami melakukan kerja paksa, orang-orang yang memproduksi mobil Volkswagen," ungkap dia mengakui sejarah masa lalu.
"Ini tentu saja situasi yang tidak dapat diterima. Oleh karena itu, kami memastikan bahwa tidak ada tempat produksi kami yang memiliki kerja paksa, dan ini adalah sesuatu yang secara khusus kami periksa di Urumqi dan saya jamin, kami tidak memiliki kerja paksa," papar dia.
Tetapi ketika ditanya apakah dia benar-benar yakin dengan klaim itu dan memberikan jaminan bahwa tidak ada tenaga kerja Urumqi yang pernah ditahan di kamp, Dr Wollenstein mengatakan dia tidak bisa menjaminnya. Urumqi terdiri atas sekitar 25% Uighur dan minoritas lainnya.
“Kami berusaha mengontrol proses-proses terkait perusahaan kami, termasuk proses SDM, yang misalnya, mempekerjakan orang dengan cara sebaik mungkin,” ungkap dia.
Dia menambahkan, "Dan ini mengurangi risiko bagi kami bahwa sesuatu terjadi yang tidak kami sukai dan yang tidak sesuai dengan standar kami. Tapi saya kira kami tidak akan pernah bisa mencapai kepastian 100%."
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
Ratusan ribu warga etnis Uighur dan minoritas lainnya diduga ditahan di kamp-kamp atau digunakan sebagai tenaga kerja paksa di pabrik-pabrik.
Tuduhan itu menyebabkan beberapa perusahaan multinasional memutuskan hubungan dengan Xinjiang, meskipun China bersikeras bahwa klaim tersebut tidak benar.
Pengkritik Volkswagen berpendapat bahwa perusahaan memiliki kewajiban moral tertentu untuk tidak terlibat dalam praktik semacam itu karena sejarahnya. (Baca Juga: China Akhirnya Beri Ucapan Selamat pada Biden dan Harris)
Volkswagen didirikan oleh Partai Nazi Jerman yang berkuasa pada 1937 dan menggunakan kerja paksa, termasuk para tahanan kamp konsentrasi, di pabriknya selama Perang Dunia II. (Lihat Infografis: KTT ASEAN Digelar di Tengah Pergolakan Kekuatan Global)
Namun dalam wawancara dengan BBC di Beijing, CEO Volkswagen di China, Stephan Wollenstein, membela kehadiran Volkswagen di ibu kota Xinjiang, Urumqi, China. (Lihat Video: Badai Topan Vamco Terjang Filipina, 32 Desa Terendam Banjir)
Di Xinjiang, Volkswagen menjalankan pabrik dengan 600 pekerja, memproduksi hingga 20.000 mobil per tahun.
"Apa yang terjadi di masa Nazi adalah sesuatu yang terjadi di pabrik kami di mana kami melakukan kerja paksa, orang-orang yang memproduksi mobil Volkswagen," ungkap dia mengakui sejarah masa lalu.
"Ini tentu saja situasi yang tidak dapat diterima. Oleh karena itu, kami memastikan bahwa tidak ada tempat produksi kami yang memiliki kerja paksa, dan ini adalah sesuatu yang secara khusus kami periksa di Urumqi dan saya jamin, kami tidak memiliki kerja paksa," papar dia.
Tetapi ketika ditanya apakah dia benar-benar yakin dengan klaim itu dan memberikan jaminan bahwa tidak ada tenaga kerja Urumqi yang pernah ditahan di kamp, Dr Wollenstein mengatakan dia tidak bisa menjaminnya. Urumqi terdiri atas sekitar 25% Uighur dan minoritas lainnya.
“Kami berusaha mengontrol proses-proses terkait perusahaan kami, termasuk proses SDM, yang misalnya, mempekerjakan orang dengan cara sebaik mungkin,” ungkap dia.
Dia menambahkan, "Dan ini mengurangi risiko bagi kami bahwa sesuatu terjadi yang tidak kami sukai dan yang tidak sesuai dengan standar kami. Tapi saya kira kami tidak akan pernah bisa mencapai kepastian 100%."
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(sya)