Video: WNI Kerja Bak Budak di Kapal China, Meninggal Dibuang di Laut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Media Korea Selatan, MBC, merilis video eksklusif yang menunjukkan penderitaan para warga Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) ikan China. Dalam video itu terlihat mereka bekerja layaknya budak dan tanpa asuransi kesehatan.
"[Eksklusif] '18 jam sehari kerja...sakit dan terengah-tengah, buang ke laut'," bunyi judul pemberitaan media Korea Selatan tersebut yang diterbitkan 5 Mei 2020.
Media itu melaporkan ada kematian dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan terhadap para ABK Indonesia di kapal nelayan China. Laporan itu diterbitkan karena permintaan bantuan dari ABK yang diajukan ke pemerintah Korea Selatan dan MBC ketika kapal memasuki Pelabuhan Busan.
Pada awalnya, sulit untuk melihat gambar dan bukti yang diberikan oleh para ABK Indonesia secara visual, dan bahkan sebelum jurnalis media itu bisa mengetahui yang sebenarnya karena kapal itu sudah terlanjut berlayar ke laut lepas.
Media itu menyerukan investigasi dan koordinasi internasional untuk mengungkap apa yang dilaporkan sebagai kematian dan pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Laporan itu dimulai dari kejadian pada 30 Maret di Samudra Pasifik. Peti mati yang dibungkus kain merah terlihat ditempatkan di geladak sebuah kapal nelayan China.
Peti mati itu berisi jenazah bernama Ari, pelaut Indonesia berusia 24 tahun. Setelah memancing selama lebih dari setahun di atas kapal nelayan China, dia meninggal di kapal.
Para pelaut China di sekitar peti mati menjalankan prosesi pemakaman sederhana dengan menyalakan dupa dan menaburkan alkohol.
"Apakah ada orang lain yang melakukan lebih banyak (prosesi)? Tidak? Tidak?," kata pelaut China dalam video yang ditayangkan MBC.
Lalu, pelaut itu mengangkat peti mati dan melemparkannya ke laut. Ari dimakamkan di laut yang kedalamannya tidak diketahui.
Bahkan sebelum Ari meninggal, ada ABK bernama Alfata yang berusia 19 tahun dan Sepri yang berusia 24 tahun juga dilaporkan meninggal.
Beberapa pelaut China sebelumnya berjanji mengirim sisa-sisa jasad mereka pulang ke negaranya setelah mereka dikremasi.
Para kolega tidak pernah membayangkan bahwa jasad Ari akan dibuang ke laut.
"Saya tahunya saya akan mengkremasi jasad di pantai," kata seorang ABK Indonesia di video itu yang diidentifikasi MBC dengan sebutan "Pelaut Indonesia A".
Rekan-rekan pelaut bersaksi bahwa kondisi di kapal itu buruk dan eksploitasi berlanjut, dan bahwa para pelaut yang telah meninggal sebelumnya mengeluh tentang penyakit mereka selama sekitar satu bulan.
"Rekan-rekan yang terengah-engah merasakan mati rasa di kaki pada awalnya, dan kaki-kaki itu mulai membengkak. Tubuhnya bengkak dan sulit bernapas," kata ABK lain yang diidentifikasi MBC dengan sebutan "Pelaut Indonesia B".
Mayoritas pelaut China minum air kemasan dari darat, tetapi para pelaut Indonesia mengaku minum air laut. Lantaran minum air laut itulah, mereka jatuh sakit.
"Awalnya, saya tidak bisa minum air laut yang disaring dengan baik. Saya pusing. Kemudian, dahak mulai keluar dari tenggorokan saya," kata Pelaut Indonesia B.
Selain itu, para ABK dilaporkan menjalani kerja 18 jam sehari.
"Kadang-kadang saya harus berdiri dan bekerja selama 30 jam berturut-turut, dan saya tidak bisa duduk kecuali ketika nasi keluar setiap enam jam," kata Pelaut Indonesia A.
Namun, mereka tidak bisa lepas dari lingkungan perbudakan.
"Ada eksploitasi yang khas dan perangkat terikat pada laut. Paspor disita. Makanya itu biaya pengiriman yang sangat tinggi, termasuk uang jaminan. Karena inilah...," kata pengacara Kim Jong-cheol yang dikutip MBC dalam laporan tersebut.
Lima dari ABK bekerja di laut selama 13 bulan, tetapi hanya menerima 140.000 won.
Kapal nelayan China tersebut adalah kapal nelayan pemburu ikan tuna. Namun, dari waktu ke waktu, hiu juga ditangkap dan sirip hiu dipotong dan disimpan secara terpisah.
"(Para pelaut) biasanya mengatakan mereka menangkap lebih dari 20 hiu sehari. Mereka mengatakan mereka melihat 16 kotak sirip hiu. Satu kotak adalah 45kg, kemudian ada sekitar 800kg ...," kata kelompok aktivis Federasi Gerakan Lingkungan.
Kelompok pro lingkungan percaya bahwa meskipun terjadi kematian, kapal tersebut akan terus beroperasi tanpa kembali ke darat.
"Karena terlalu banyak sirip hiu di atas kapal, menakutkan (untuk ke pelabuhan) bahwa ia tidak seharusnya masuk (pelabuhan) karena ia menerima sanksi yang sangat besar ketika dicari (Otoritas Pelabuhan)," kata kelompok aktivis tersebut.
Para pelaut yang tak tertahankan dipindahkan ke kapal lain dan tiba di Pelabuhan Busan pada 14 April, tetapi harus menunggu 10 hari di lepas pantai Pelabuhan Busan.
Namun, saat menunggu, seorang pelaut mengeluh sakit dada dan dilarikan ke rumah sakit di Busan, tetapi meninggal pada tanggal 27 bulan lalu.
Sebuah kelompok hak asasi manusia yang menyelidiki kematian empat orang di kapal yang diumumkan pada tanggal 27 April di pantai dan menyerukan penyelidikan segera.
Republik Korea—nama resmi Korea Selatan—dapat segera melakukan investigasi karena pada tahun 2015, negara itu meratifikasi protokol internasional untuk mencegah perdagangan manusia, termasuk kerja paksa dan eksploitasi seksual.
"Kami telah merevisi KUHP untuk meratifikasi protokol dan mengimplementasikannya. Dalam kasus perdagangan ini, kami harus menyelidiki hal ini di Korea karena yurisdiksi universal berlaku," kata pengacara Kim Jong-cheol dari Pusat Banding Hukum Publik.
Namun, kapal nelayan China itu telah pergi ke laut lepas, dan media Korea Selatan diberitahu bahwa kapal itu tidak bisa diselidiki lagi oleh pihak Korea Selatan.
Laporan itu juga menambahkan ada kru-kru kapal yang dikarantina di Busan dan meminta pemerintah Korea Selatan melakukan penyelidikan menyeluruh. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin memberi tahu dunia tentang pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami.
Lihat Juga: Viral, Istri Pergoki Suami Selingkuh saat Jalan-jalan dengan Ibunya yang Akhirnya Meninggal
"[Eksklusif] '18 jam sehari kerja...sakit dan terengah-tengah, buang ke laut'," bunyi judul pemberitaan media Korea Selatan tersebut yang diterbitkan 5 Mei 2020.
Media itu melaporkan ada kematian dan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan terhadap para ABK Indonesia di kapal nelayan China. Laporan itu diterbitkan karena permintaan bantuan dari ABK yang diajukan ke pemerintah Korea Selatan dan MBC ketika kapal memasuki Pelabuhan Busan.
Pada awalnya, sulit untuk melihat gambar dan bukti yang diberikan oleh para ABK Indonesia secara visual, dan bahkan sebelum jurnalis media itu bisa mengetahui yang sebenarnya karena kapal itu sudah terlanjut berlayar ke laut lepas.
Media itu menyerukan investigasi dan koordinasi internasional untuk mengungkap apa yang dilaporkan sebagai kematian dan pelanggaran hak asasi manusia tersebut.
Laporan itu dimulai dari kejadian pada 30 Maret di Samudra Pasifik. Peti mati yang dibungkus kain merah terlihat ditempatkan di geladak sebuah kapal nelayan China.
Peti mati itu berisi jenazah bernama Ari, pelaut Indonesia berusia 24 tahun. Setelah memancing selama lebih dari setahun di atas kapal nelayan China, dia meninggal di kapal.
Para pelaut China di sekitar peti mati menjalankan prosesi pemakaman sederhana dengan menyalakan dupa dan menaburkan alkohol.
"Apakah ada orang lain yang melakukan lebih banyak (prosesi)? Tidak? Tidak?," kata pelaut China dalam video yang ditayangkan MBC.
Lalu, pelaut itu mengangkat peti mati dan melemparkannya ke laut. Ari dimakamkan di laut yang kedalamannya tidak diketahui.
Bahkan sebelum Ari meninggal, ada ABK bernama Alfata yang berusia 19 tahun dan Sepri yang berusia 24 tahun juga dilaporkan meninggal.
Beberapa pelaut China sebelumnya berjanji mengirim sisa-sisa jasad mereka pulang ke negaranya setelah mereka dikremasi.
Para kolega tidak pernah membayangkan bahwa jasad Ari akan dibuang ke laut.
"Saya tahunya saya akan mengkremasi jasad di pantai," kata seorang ABK Indonesia di video itu yang diidentifikasi MBC dengan sebutan "Pelaut Indonesia A".
Rekan-rekan pelaut bersaksi bahwa kondisi di kapal itu buruk dan eksploitasi berlanjut, dan bahwa para pelaut yang telah meninggal sebelumnya mengeluh tentang penyakit mereka selama sekitar satu bulan.
"Rekan-rekan yang terengah-engah merasakan mati rasa di kaki pada awalnya, dan kaki-kaki itu mulai membengkak. Tubuhnya bengkak dan sulit bernapas," kata ABK lain yang diidentifikasi MBC dengan sebutan "Pelaut Indonesia B".
Mayoritas pelaut China minum air kemasan dari darat, tetapi para pelaut Indonesia mengaku minum air laut. Lantaran minum air laut itulah, mereka jatuh sakit.
"Awalnya, saya tidak bisa minum air laut yang disaring dengan baik. Saya pusing. Kemudian, dahak mulai keluar dari tenggorokan saya," kata Pelaut Indonesia B.
Selain itu, para ABK dilaporkan menjalani kerja 18 jam sehari.
"Kadang-kadang saya harus berdiri dan bekerja selama 30 jam berturut-turut, dan saya tidak bisa duduk kecuali ketika nasi keluar setiap enam jam," kata Pelaut Indonesia A.
Namun, mereka tidak bisa lepas dari lingkungan perbudakan.
"Ada eksploitasi yang khas dan perangkat terikat pada laut. Paspor disita. Makanya itu biaya pengiriman yang sangat tinggi, termasuk uang jaminan. Karena inilah...," kata pengacara Kim Jong-cheol yang dikutip MBC dalam laporan tersebut.
Lima dari ABK bekerja di laut selama 13 bulan, tetapi hanya menerima 140.000 won.
Kapal nelayan China tersebut adalah kapal nelayan pemburu ikan tuna. Namun, dari waktu ke waktu, hiu juga ditangkap dan sirip hiu dipotong dan disimpan secara terpisah.
"(Para pelaut) biasanya mengatakan mereka menangkap lebih dari 20 hiu sehari. Mereka mengatakan mereka melihat 16 kotak sirip hiu. Satu kotak adalah 45kg, kemudian ada sekitar 800kg ...," kata kelompok aktivis Federasi Gerakan Lingkungan.
Kelompok pro lingkungan percaya bahwa meskipun terjadi kematian, kapal tersebut akan terus beroperasi tanpa kembali ke darat.
"Karena terlalu banyak sirip hiu di atas kapal, menakutkan (untuk ke pelabuhan) bahwa ia tidak seharusnya masuk (pelabuhan) karena ia menerima sanksi yang sangat besar ketika dicari (Otoritas Pelabuhan)," kata kelompok aktivis tersebut.
Para pelaut yang tak tertahankan dipindahkan ke kapal lain dan tiba di Pelabuhan Busan pada 14 April, tetapi harus menunggu 10 hari di lepas pantai Pelabuhan Busan.
Namun, saat menunggu, seorang pelaut mengeluh sakit dada dan dilarikan ke rumah sakit di Busan, tetapi meninggal pada tanggal 27 bulan lalu.
Sebuah kelompok hak asasi manusia yang menyelidiki kematian empat orang di kapal yang diumumkan pada tanggal 27 April di pantai dan menyerukan penyelidikan segera.
Republik Korea—nama resmi Korea Selatan—dapat segera melakukan investigasi karena pada tahun 2015, negara itu meratifikasi protokol internasional untuk mencegah perdagangan manusia, termasuk kerja paksa dan eksploitasi seksual.
"Kami telah merevisi KUHP untuk meratifikasi protokol dan mengimplementasikannya. Dalam kasus perdagangan ini, kami harus menyelidiki hal ini di Korea karena yurisdiksi universal berlaku," kata pengacara Kim Jong-cheol dari Pusat Banding Hukum Publik.
Namun, kapal nelayan China itu telah pergi ke laut lepas, dan media Korea Selatan diberitahu bahwa kapal itu tidak bisa diselidiki lagi oleh pihak Korea Selatan.
Laporan itu juga menambahkan ada kru-kru kapal yang dikarantina di Busan dan meminta pemerintah Korea Selatan melakukan penyelidikan menyeluruh. Mereka mengatakan bahwa mereka ingin memberi tahu dunia tentang pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami.
Lihat Juga: Viral, Istri Pergoki Suami Selingkuh saat Jalan-jalan dengan Ibunya yang Akhirnya Meninggal
(min)