Pengamat Memprediksi Normalisasi Hubungan Saudi-Israel Hanya Masalah Waktu
loading...
A
A
A
MANAMA - Marc Schneier, Presiden dari Foundation of Ethnic Understanding, yang sempat menjadi penasihat sejumlah pemimpin negara Teluk, termasuk yang ada di Arab Saudi menuturkan, normalisasi hubungan Riyadh dan Tel Aviv hanya masalah waktu saja. Menurutnya, itu akan terjadi setelah pemilu Amerika Serikat (AS) dan hanya jika ada kemajuan pada masalah Palestina.
Dia mengatakan, Saudi sudah menunjukan ketertarikan untuk mengikuti langkah Uni Emirat Arab (UEA) dalam melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Salah satu tandanya adalah Saudi akan mengizinkan semua negara, termasuk Israel untuk terbang di atas wilayahnya dalam perjalanan ke dan dari UEA.
(Baca: Pangeran Arab Saudi Kecam Pemimpin Palestina Penolak Normalisasi UEA-Israel )
Langkah Saudi dengan cepat ditafsirkan oleh Israel sebagai anugerah, dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memujinya sebagai terobosan luar biasa yang akan membuat perjalanan lebih murah dan lebih pendek, yang akan meningkatkan pariwisata, dan ekonomi.
Namun, Schneier mengatakan, Israel tidak boleh senang terlebih dahulu. Ia menyatakan, Israel harus memperhatikan pesan yang dikirim dari Teluk.
"Pengumuman Saudi itu bersejarah. Tapi, kami masih memiliki jalan ke depan sebelum kami melihat normalisasi hubungan antara Israel dan Saudi. Alasan utama untuk ini adalah masalah Palestina," ucapnya, seperti dilansir Sputnik.
"Negara-negara Teluk pada umumnya dan Saudi pada khususnya sangat konsisten dalam sikap mereka terkait masalah ini dan apa yang mereka katakan jelas. Mereka memang menginginkan normalisasi dengan Israel, tetapi mereka juga ingin mengakhiri konflik Israel-Palestina dan mereka ingin melihat semacam proses perdamaian terjadi. Namun, sekarang tidak ada apa-apa," sambungnya.
Terakhir kali Israel dan Palestina duduk untuk pembicaraan adalah pada 2013-2014, ketika Menteri Luar Negeri AS saat itu, John Kerry mencoba membawa kedua pihak ke meja perundingan, sebuah upaya yang sebagian besar tidak berhasil.
Sejak kegagalan pembicaraan itu, Israel terus melanjutkan aktivitas permukimannya di Tepi Barat, membangun hampir 2.000 unit pemukiman di wilayah yang disengketakan pada tahun 2019, sedangkan Palestina terus berpegang pada kebijakan penghasutan mereka, yang menyebabkan kebuntuan dalam negosiasi.
Kebuntuan itulah yang membuat Netanyahu percaya bahwa Israel tidak boleh hanya duduk diam, menunggu Palestina datang ke meja perundingan. Sebaliknya, negara Yahudi harus menangani masalah dengan tangannya sendiri dan membangun aliansi dengan kekuatan regional, melewati Otoritas Palestina (PA).
Dia mengatakan, Saudi sudah menunjukan ketertarikan untuk mengikuti langkah Uni Emirat Arab (UEA) dalam melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Salah satu tandanya adalah Saudi akan mengizinkan semua negara, termasuk Israel untuk terbang di atas wilayahnya dalam perjalanan ke dan dari UEA.
(Baca: Pangeran Arab Saudi Kecam Pemimpin Palestina Penolak Normalisasi UEA-Israel )
Langkah Saudi dengan cepat ditafsirkan oleh Israel sebagai anugerah, dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memujinya sebagai terobosan luar biasa yang akan membuat perjalanan lebih murah dan lebih pendek, yang akan meningkatkan pariwisata, dan ekonomi.
Namun, Schneier mengatakan, Israel tidak boleh senang terlebih dahulu. Ia menyatakan, Israel harus memperhatikan pesan yang dikirim dari Teluk.
"Pengumuman Saudi itu bersejarah. Tapi, kami masih memiliki jalan ke depan sebelum kami melihat normalisasi hubungan antara Israel dan Saudi. Alasan utama untuk ini adalah masalah Palestina," ucapnya, seperti dilansir Sputnik.
"Negara-negara Teluk pada umumnya dan Saudi pada khususnya sangat konsisten dalam sikap mereka terkait masalah ini dan apa yang mereka katakan jelas. Mereka memang menginginkan normalisasi dengan Israel, tetapi mereka juga ingin mengakhiri konflik Israel-Palestina dan mereka ingin melihat semacam proses perdamaian terjadi. Namun, sekarang tidak ada apa-apa," sambungnya.
Terakhir kali Israel dan Palestina duduk untuk pembicaraan adalah pada 2013-2014, ketika Menteri Luar Negeri AS saat itu, John Kerry mencoba membawa kedua pihak ke meja perundingan, sebuah upaya yang sebagian besar tidak berhasil.
Sejak kegagalan pembicaraan itu, Israel terus melanjutkan aktivitas permukimannya di Tepi Barat, membangun hampir 2.000 unit pemukiman di wilayah yang disengketakan pada tahun 2019, sedangkan Palestina terus berpegang pada kebijakan penghasutan mereka, yang menyebabkan kebuntuan dalam negosiasi.
Kebuntuan itulah yang membuat Netanyahu percaya bahwa Israel tidak boleh hanya duduk diam, menunggu Palestina datang ke meja perundingan. Sebaliknya, negara Yahudi harus menangani masalah dengan tangannya sendiri dan membangun aliansi dengan kekuatan regional, melewati Otoritas Palestina (PA).