COVID-19 Kian Parah, Turki Didesak Bebaskan Pendukung Gulen dari Penjara
loading...
A
A
A
ANKARA - Rezim pemerintah Presiden Tayyip Erdogan yang berkuasa di Turki didesak untuk membebaskan para jurnalis dan pendukung ulama Fethullah Gulen dari penjara. Desakan yang disuarakan kelompok hak asasi manusia (HAM) itu muncul ketika pandemi virus corona baru, COVID-19, di negara tersebut semakin parah.
Amnesty Internasional dan Human Rights Watch (HRW) telah memperingatkan Erdogan untuk tidak mendiskriminasi pembebasan para tahanan, khususnya pada mereka yang dipenjara atas tuduhan yang dibuat-buat. HRW menilai jika wabah COVID-19 meluas di penjara, maka akan menjadi bencana kemanusiaan.
Hingga kemarin, angka kematian harian akibat COVID-19 di Turki telah melampaui 100 orang untuk pertama kalinya sejak pandemi terjadi. Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan Turki Fahrettin Koca, Selasa (14/4/2020).
Koca dalam konferensi pers yang disiarkan televisi mengatakan Turki merilis data 107 kematian dan 4.062 kasus baru COVID-19 dalam tempo 24 jam. Dengan tambahan itu, kini jumlah korban meninggal akibat virus corona di Turki menjadi 1.403 orang dengan total jumlah kasus positif COVID lebih dari 65.000.
Parlemen Turki telah mengeluarkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan memungkinkan pembebasan puluhan ribu tahanan untuk mengurangi kepadatan di penjara. Namun, RUU itu mengecualikan para pengkritik dan mereka yang dituduh terlibat "terorisme" kepada rezim Turki.
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan sekutunya dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) mendukung RUU tersebut. RUU itu didukung 279 suara dan 51 suara menolak. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Parlemen, Sureyya Sadi Bilgic.
Mengutip laporan Telegraph.uk, RUU itu nantinya akan membuka jalan untuk pembebasan sementara 45.000 tahanan demi memutus penyebaran COVID-19 di dalam kerumunan penjara. Mereka yang memenuhi syarat akan dibebaskan di bawah kendali yudisial hingga akhir Mei.
Jumlah tahanan yang sama akan dilakukan, di bawah aturan terpisah dari undang-undang terkait yang bertujuan mengurangi kepadatan penjara. Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul mengatakan ada 17 kasus infeksi COVID-19 di dalam penjara, termasuk tiga kematian, dan 79 staf di kantor tahanan dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.
RUU itu tersebut dikritik oleh partai-partai oposisi dan aktivis, karena mengecualikan mereka yang dipenjara atas tuduhan "terorisme" versi pemerintah Erdogan. Mereka adalah para wartawan, politisi dan tokoh masyarakat yang didakwa turut mendukung upaya kudeta pada 2016.
Para politisi oposisi mengatakan pembebasan para penjahat termasuk pencuri, pemeras, pemerkosa dan orang-orang yang terlibat dalam suap atau korupsi justru akan menyebabkan meningkatnya kejahatan di Turki.
Sekadar informasi, Turki telah menangkap ribuan akademisi, pengusaha, pengacara, jurnalis, pegawai negeri, ibu-ibu rumah tangga dan juga anggota militer tanpa proses hukum yang benar. Rezim Turki hanya mengklaim bahwa mereka menjadi simpatisan kelompok yang mendukung seorang ulama yang berbasis di Amerika Serikat, Fethullah Gulen.
Gulen yang sebelumnya merupakan sekutu Erdogan telah dituduh melakukan upaya kudeta pada rezim Turki. Namun, ulama ternama Turki itu menyangkal keterlibatannya.
Amnesty Internasional dan Human Rights Watch (HRW) telah memperingatkan Erdogan untuk tidak mendiskriminasi pembebasan para tahanan, khususnya pada mereka yang dipenjara atas tuduhan yang dibuat-buat. HRW menilai jika wabah COVID-19 meluas di penjara, maka akan menjadi bencana kemanusiaan.
Hingga kemarin, angka kematian harian akibat COVID-19 di Turki telah melampaui 100 orang untuk pertama kalinya sejak pandemi terjadi. Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan Turki Fahrettin Koca, Selasa (14/4/2020).
Koca dalam konferensi pers yang disiarkan televisi mengatakan Turki merilis data 107 kematian dan 4.062 kasus baru COVID-19 dalam tempo 24 jam. Dengan tambahan itu, kini jumlah korban meninggal akibat virus corona di Turki menjadi 1.403 orang dengan total jumlah kasus positif COVID lebih dari 65.000.
Parlemen Turki telah mengeluarkan rancangan undang-undang (RUU) yang akan memungkinkan pembebasan puluhan ribu tahanan untuk mengurangi kepadatan di penjara. Namun, RUU itu mengecualikan para pengkritik dan mereka yang dituduh terlibat "terorisme" kepada rezim Turki.
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan sekutunya dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP) mendukung RUU tersebut. RUU itu didukung 279 suara dan 51 suara menolak. Hal itu disampaikan Wakil Ketua Parlemen, Sureyya Sadi Bilgic.
Mengutip laporan Telegraph.uk, RUU itu nantinya akan membuka jalan untuk pembebasan sementara 45.000 tahanan demi memutus penyebaran COVID-19 di dalam kerumunan penjara. Mereka yang memenuhi syarat akan dibebaskan di bawah kendali yudisial hingga akhir Mei.
Jumlah tahanan yang sama akan dilakukan, di bawah aturan terpisah dari undang-undang terkait yang bertujuan mengurangi kepadatan penjara. Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul mengatakan ada 17 kasus infeksi COVID-19 di dalam penjara, termasuk tiga kematian, dan 79 staf di kantor tahanan dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.
RUU itu tersebut dikritik oleh partai-partai oposisi dan aktivis, karena mengecualikan mereka yang dipenjara atas tuduhan "terorisme" versi pemerintah Erdogan. Mereka adalah para wartawan, politisi dan tokoh masyarakat yang didakwa turut mendukung upaya kudeta pada 2016.
Para politisi oposisi mengatakan pembebasan para penjahat termasuk pencuri, pemeras, pemerkosa dan orang-orang yang terlibat dalam suap atau korupsi justru akan menyebabkan meningkatnya kejahatan di Turki.
Sekadar informasi, Turki telah menangkap ribuan akademisi, pengusaha, pengacara, jurnalis, pegawai negeri, ibu-ibu rumah tangga dan juga anggota militer tanpa proses hukum yang benar. Rezim Turki hanya mengklaim bahwa mereka menjadi simpatisan kelompok yang mendukung seorang ulama yang berbasis di Amerika Serikat, Fethullah Gulen.
Gulen yang sebelumnya merupakan sekutu Erdogan telah dituduh melakukan upaya kudeta pada rezim Turki. Namun, ulama ternama Turki itu menyangkal keterlibatannya.
(min)