Lawan Sistem Monarki, Milenial Thailand Menuntut Perubahan
loading...
A
A
A
BANGKOK - Generasi milenial Thailand melawan sistem monarki Thailand dengan meminta pembubaran kerajaan dan menuntut pemerintahan agar membubarkan diri. Mereka menyuarakan kalau Thailand miliki rakyat, bukan miliki Raja Thailand Maha Vajiralongkorn.
Demonstrasi antimonarki itu telah tumbuh pesat di Thailand sejak Juli lalu. Padahal melawan Raja Thailand merupakan tindakan tabu yang terancam hukuman penjara seumur hidup. Mereka juga menuntut konstitusi baru dan pemilu yang jujur serta adil. (Baca: DPR Akan Bahas Perppu Pilkada jilid II)
Demonstrasi itu dilaksanakan di kawasan yang dikenal sebagai Sanam Luang atau Royal Field setelah fajar menyingsing kemarin. Sebuah spanduk besar pun dibentangkan bertuliskan: “negara ini milik rakyat dan ini bukan properti milik kerajaan karena mereka telah menipu kita”.
Dalam pandangan Khemthong Tonsakulrungruang, pakar hukum dari Universitas Chulalongkorn, pemerintah hanya menunggu momen saja karena mereka memiliki kekuasaan penuh. “Dengan kekuasaan mayoritas dan 250 senator yang ditunjuk pemerintah, bisa saja mengubah segalanya di konstitusi,” katanya dilansir South China Morning Post.
Pakar senior dari International Crisis Group, Matthew Wheeler, mengatakan gerakan protes di Thailand sudah melintasi garis merah. Namun, Pemerintah Thailand dinilai sedang dilema. Sebab, jika pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan terjadi kerusuhan, masyarakat akan kian marah.
“Kekerasan terhadap aktivis sudah banyak terjadi. Jika Pemerintah Thailand menunjukkan taringnya di depan publik, mereka sama saja memperkuat para aktivis,” ujar Wheeler dilansir Reuters. “Gelombang protes saat ini juga merupakan akibat akumulasi ketidakadilan dalam enam tahun terakhir,” ujarnya. (Baca juga: Sahabat Nabi Tidak Bermazhab, Benarkah?)
Demonstrasi kemarin itu disebut sebagai aksi terbesar selama bertahun-tahun karena puluhan ribu demonstran menuntut reformasi kerajaan dan meminta penggulingan Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta militer. “Bangsa ini bukan milik satu orang, tetapi milik kita semua,” kata pemimpin demonstrasi, Parit “Penguin” Chiwarak. “Hancurkan feodalisme, hidup rakyat!” serunya.
Kerajaan Thailand tidak berkomentar mengenai demonstrasi tersebut. Juru bicara Pemerintah Thailand, Anucha Burapachaisri mengatakan, polisi tidak akan menggunakan tindakan kekerasan melawan demonstran. “Polisi hanya akan menuntut dan menangkap mereka yang melakukan pidato ilegal,” tuturnya dilansir Reuters. Polisi pun memilih mundur dari para demonstran dan tidak berusaha mengintervensi.
Aksi itu merupakan kelanjutan dari aksi yang dilaksanakan pada Sabtu (19/9) lalu. “Meskipun monarki tetap diatur konstitusi, kita tidak akan pernah mencapai demokrasi sebenarnya,” kata pemimpin demonstran dan aktivis hak asasi manusia (HAM) Arnon Nampa. Dia meminta pemerintah memotong anggaran untuk kerajaan dan mengubah konstitusi untuk menghapus peran raja. Demonstrasi pada Sabtu lalu dihadiri 30.000 orang, tapi panitia demonstrasi mengungkapkan jumlah pengunjuk rasa mencapai 50.000 orang. (Baca juga: Penting Buat Orangtua, Kenali Gejala Kanker pada Anak)
Demonstrasi antimonarki itu telah tumbuh pesat di Thailand sejak Juli lalu. Padahal melawan Raja Thailand merupakan tindakan tabu yang terancam hukuman penjara seumur hidup. Mereka juga menuntut konstitusi baru dan pemilu yang jujur serta adil. (Baca: DPR Akan Bahas Perppu Pilkada jilid II)
Demonstrasi itu dilaksanakan di kawasan yang dikenal sebagai Sanam Luang atau Royal Field setelah fajar menyingsing kemarin. Sebuah spanduk besar pun dibentangkan bertuliskan: “negara ini milik rakyat dan ini bukan properti milik kerajaan karena mereka telah menipu kita”.
Dalam pandangan Khemthong Tonsakulrungruang, pakar hukum dari Universitas Chulalongkorn, pemerintah hanya menunggu momen saja karena mereka memiliki kekuasaan penuh. “Dengan kekuasaan mayoritas dan 250 senator yang ditunjuk pemerintah, bisa saja mengubah segalanya di konstitusi,” katanya dilansir South China Morning Post.
Pakar senior dari International Crisis Group, Matthew Wheeler, mengatakan gerakan protes di Thailand sudah melintasi garis merah. Namun, Pemerintah Thailand dinilai sedang dilema. Sebab, jika pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan terjadi kerusuhan, masyarakat akan kian marah.
“Kekerasan terhadap aktivis sudah banyak terjadi. Jika Pemerintah Thailand menunjukkan taringnya di depan publik, mereka sama saja memperkuat para aktivis,” ujar Wheeler dilansir Reuters. “Gelombang protes saat ini juga merupakan akibat akumulasi ketidakadilan dalam enam tahun terakhir,” ujarnya. (Baca juga: Sahabat Nabi Tidak Bermazhab, Benarkah?)
Demonstrasi kemarin itu disebut sebagai aksi terbesar selama bertahun-tahun karena puluhan ribu demonstran menuntut reformasi kerajaan dan meminta penggulingan Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta militer. “Bangsa ini bukan milik satu orang, tetapi milik kita semua,” kata pemimpin demonstrasi, Parit “Penguin” Chiwarak. “Hancurkan feodalisme, hidup rakyat!” serunya.
Kerajaan Thailand tidak berkomentar mengenai demonstrasi tersebut. Juru bicara Pemerintah Thailand, Anucha Burapachaisri mengatakan, polisi tidak akan menggunakan tindakan kekerasan melawan demonstran. “Polisi hanya akan menuntut dan menangkap mereka yang melakukan pidato ilegal,” tuturnya dilansir Reuters. Polisi pun memilih mundur dari para demonstran dan tidak berusaha mengintervensi.
Aksi itu merupakan kelanjutan dari aksi yang dilaksanakan pada Sabtu (19/9) lalu. “Meskipun monarki tetap diatur konstitusi, kita tidak akan pernah mencapai demokrasi sebenarnya,” kata pemimpin demonstran dan aktivis hak asasi manusia (HAM) Arnon Nampa. Dia meminta pemerintah memotong anggaran untuk kerajaan dan mengubah konstitusi untuk menghapus peran raja. Demonstrasi pada Sabtu lalu dihadiri 30.000 orang, tapi panitia demonstrasi mengungkapkan jumlah pengunjuk rasa mencapai 50.000 orang. (Baca juga: Penting Buat Orangtua, Kenali Gejala Kanker pada Anak)