Lawan Sistem Monarki, Milenial Thailand Menuntut Perubahan

Senin, 21 September 2020 - 12:15 WIB
loading...
Lawan Sistem Monarki, Milenial Thailand Menuntut Perubahan
Ribuan mahasiswa dan pelajar kembali berunjuk rasa menuntut reformasi kerajaan Thailand dan meminta PM Thailand Prayuth Chan-ocha mundur dari jabatannya. Foto/Reuters
A A A
BANGKOK - Generasi milenial Thailand melawan sistem monarki Thailand dengan meminta pembubaran kerajaan dan menuntut pemerintahan agar membubarkan diri. Mereka menyuarakan kalau Thailand miliki rakyat, bukan miliki Raja Thailand Maha Vajiralongkorn.

Demonstrasi antimonarki itu telah tumbuh pesat di Thailand sejak Juli lalu. Padahal melawan Raja Thailand merupakan tindakan tabu yang terancam hukuman penjara seumur hidup. Mereka juga menuntut konstitusi baru dan pemilu yang jujur serta adil. (Baca: DPR Akan Bahas Perppu Pilkada jilid II)

Demonstrasi itu dilaksanakan di kawasan yang dikenal sebagai Sanam Luang atau Royal Field setelah fajar menyingsing kemarin. Sebuah spanduk besar pun dibentangkan bertuliskan: “negara ini milik rakyat dan ini bukan properti milik kerajaan karena mereka telah menipu kita”.

Dalam pandangan Khemthong Tonsakulrungruang, pakar hukum dari Universitas Chulalongkorn, pemerintah hanya menunggu momen saja karena mereka memiliki kekuasaan penuh. “Dengan kekuasaan mayoritas dan 250 senator yang ditunjuk pemerintah, bisa saja mengubah segalanya di konstitusi,” katanya dilansir South China Morning Post.

Pakar senior dari International Crisis Group, Matthew Wheeler, mengatakan gerakan protes di Thailand sudah melintasi garis merah. Namun, Pemerintah Thailand dinilai sedang dilema. Sebab, jika pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan terjadi kerusuhan, masyarakat akan kian marah.

“Kekerasan terhadap aktivis sudah banyak terjadi. Jika Pemerintah Thailand menunjukkan taringnya di depan publik, mereka sama saja memperkuat para aktivis,” ujar Wheeler dilansir Reuters. “Gelombang protes saat ini juga merupakan akibat akumulasi ketidakadilan dalam enam tahun terakhir,” ujarnya. (Baca juga: Sahabat Nabi Tidak Bermazhab, Benarkah?)

Demonstrasi kemarin itu disebut sebagai aksi terbesar selama bertahun-tahun karena puluhan ribu demonstran menuntut reformasi kerajaan dan meminta penggulingan Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta militer. “Bangsa ini bukan milik satu orang, tetapi milik kita semua,” kata pemimpin demonstrasi, Parit “Penguin” Chiwarak. “Hancurkan feodalisme, hidup rakyat!” serunya.

Kerajaan Thailand tidak berkomentar mengenai demonstrasi tersebut. Juru bicara Pemerintah Thailand, Anucha Burapachaisri mengatakan, polisi tidak akan menggunakan tindakan kekerasan melawan demonstran. “Polisi hanya akan menuntut dan menangkap mereka yang melakukan pidato ilegal,” tuturnya dilansir Reuters. Polisi pun memilih mundur dari para demonstran dan tidak berusaha mengintervensi.

Lawan Sistem Monarki, Milenial Thailand Menuntut Perubahan


Aksi itu merupakan kelanjutan dari aksi yang dilaksanakan pada Sabtu (19/9) lalu. “Meskipun monarki tetap diatur konstitusi, kita tidak akan pernah mencapai demokrasi sebenarnya,” kata pemimpin demonstran dan aktivis hak asasi manusia (HAM) Arnon Nampa. Dia meminta pemerintah memotong anggaran untuk kerajaan dan mengubah konstitusi untuk menghapus peran raja. Demonstrasi pada Sabtu lalu dihadiri 30.000 orang, tapi panitia demonstrasi mengungkapkan jumlah pengunjuk rasa mencapai 50.000 orang. (Baca juga: Penting Buat Orangtua, Kenali Gejala Kanker pada Anak)

Raja Thailand sendiri tidak berada di Thailand. Dia justru lebih sering menghabiskan waktunya di Eropa sejak berkuasa setelah ayahnya meninggal pada 2016. Ketidakhadiran Raja Thailand di depan publik memicu kritikan tajam dari para demonstran.

“Rakyat adalah manusia, bukan debu di bawah kaki kerajaanmu,” ujar pemimpin mahasiswa Panusaya Sithijirawattanakul. “Rakyat ingin raja yang melindungi demokrasi, bukan orang yang merusak demokrasi rakyat,” ujarnya.

Seruan untuk reformasi kerajaan sesungguhnya sangat sensitif di Thailand, kritik terhadap monarki Thailand bisa dihukum dengan hukuman penjara yang lama. BBC melaporkan, serangkaian skandal politik dan dampak pandemi virus corona telah menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan di negara itu.

Thailand memiliki sejarah panjang kerusuhan politik dan protes, tetapi gelombang baru dimulai pada Februari setelah pengadilan memerintahkan partai oposisi prodemokrasi yang masih muda untuk dibubarkan. Partai Maju Masa Depan (FFP) telah terbukti sangat populer di kalangan muda, pemilih pemula, dan memperoleh bagian kursi parlemen terbesar ketiga dalam pemilihan Maret 2019. Sedangkan kepemimpinan militer yang sedang menjabat menjadi pemenangnya. (Lihat videonya: Bom Pesawat Sukhoi TNI AU Jatuh ke Permukiman Warga di Takalar)

Protes dihidupkan kembali pada Juni lalu ketika aktivis prodemokrasi terkemuka Wanchalearm Satsaksit hilang di Kamboja, tempat dia berada di pengasingan sejak kudeta militer 2014. Keberadaannya tetap tidak diketahui dan pengunjuk rasa menuduh negara bagian Thailand mengatur penculikannya, tuduhan ini telah dibantah oleh polisi dan pemerintah.

Tuntutan para pengunjuk rasa mengalami perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, ketika demonstrasi pada bulan lalu menyerukan 10 poin reformasi monarki. Mahasiswi usia 21 tahun yang membacakan manifesto, Panusaya Sithijirawattanakul, mengatakan niat mereka “bukan untuk menghancurkan monarki, tetapi untuk memodernisasi, menyesuaikannya dengan masyarakat kita”. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1593 seconds (0.1#10.140)