Iran Dituding Memiliki Bom Nuklir Akhir Tahun Ini dan Berkomplot dengan Korut
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Iran dituding akan memiliki bom nuklir pada akhir tahun ini. Negara para Mullah itu juga dituduh berkomplot dengan Korea Utara (Korut) untuk mengembangkan rudal jarak jauh.
Tudingan itu dilontarkan seorang pejabat senior Amerika Serikat (AS) yang memilih untuk berbicara secara anonim kepada Reuters pada hari Minggu.
Dia mengutip "totalitas" data yang tersedia di AS, termasuk dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), tetapi gagal memberikan bukti atau rincian lainnya. (Baca: Sekjen PBB: Klaim AS Terkait Sanksi Iran Belum Pasti )
"Iran dan Korea Utara telah melanjutkan kerja sama dalam proyek rudal jarak jauh, termasuk pemindahan bagian penting," katanya.
"Iran dengan jelas melakukan segalanya untuk kembali ke bisnis persenjataan," ujarnya. Sebagai respons, Administrasi Trump akan memberlakukan sanksi baru pada hari Senin (21/9/2020) yang menargetkan lebih dari 20 individu dan entitas yang terlibat dalam program senjata konvensional, rudal dan nuklir.
Dia menambahkan bahwa perintah eksekutif Presiden Trump yang dijadwalkan pada hari Senin juga akan memungkinkan Washington untuk menggunakan sanksi sekunder terhadap mereka yang membeli atau menjual senjata ke Iran, tidak termasuk mereka dari pasar AS.
Pada hari Sabtu, Menteri Luar Negeri Michael Pompeo mengumumkan bahwa semua sanksi PBB diberlakukan kembali terhadap Iran, dan langkah-langkah baru akan menyusul. Bekas direktur CIA itu menambahkan bahwa AS tidak akan ragu untuk menghukum negara-negara yang menentang Amerika. (Baca juga: Pakar Atom Sebut Iran Mampu Membuat Bom Nuklir dalam 3 Bulan )
Pemerintah Trump telah lama melancarkan kampanye sanksi terhadap Teheran, yang dijuluki sebagai pendekatan "tekanan maksimum". Washington menjatuhkan rentetan sanksi terhadap Teheran dengan dalih menahan ancaman nuklir Iran sembari mengecam apa yang mereka sebut sebagai "pemerintah yang menindas".
Pada Oktober 2019, Pompeo menulis tweet; "Iran harus secara fundamental mengubah perilakunya dan bertindak seperti negara normal, atau dapat menyaksikan ekonominya runtuh".
Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengecam pemerintah AS karena memulihkan sanksi internasional terhadap Teheran. Dia menegaskan bahwa komunitas internasional telah berbicara menentang langkah Amerika tersebut.
Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri Josep Borrell mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu bahwa Washington tidak dapat secara sepihak memulihkan sanksi internasional terhadap Iran berdasarkan perjanjian yang ditariknya. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang juga dikenal sebagai kesepakatan nuklir 2015. (Baca juga: Pentagon Curiga Militer Iran dan Korut Berhubungan )
Kesepakatan yang diteken Iran dan enam kekuatan dunia (AS, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman dan China) kala itu berusaha untuk mengekang program nuklir Teheran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional terhadap negara para Mullah tersebut. Namun, AS menarik diri dari kesepakatan itu tak lama setelah Trump berkuasa.
Menurut kesepakatan nuklir 2015, tindakan hukuman hanya dapat diberlakukan jika Teheran melanggar kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut.
Tudingan itu dilontarkan seorang pejabat senior Amerika Serikat (AS) yang memilih untuk berbicara secara anonim kepada Reuters pada hari Minggu.
Dia mengutip "totalitas" data yang tersedia di AS, termasuk dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA), tetapi gagal memberikan bukti atau rincian lainnya. (Baca: Sekjen PBB: Klaim AS Terkait Sanksi Iran Belum Pasti )
"Iran dan Korea Utara telah melanjutkan kerja sama dalam proyek rudal jarak jauh, termasuk pemindahan bagian penting," katanya.
"Iran dengan jelas melakukan segalanya untuk kembali ke bisnis persenjataan," ujarnya. Sebagai respons, Administrasi Trump akan memberlakukan sanksi baru pada hari Senin (21/9/2020) yang menargetkan lebih dari 20 individu dan entitas yang terlibat dalam program senjata konvensional, rudal dan nuklir.
Dia menambahkan bahwa perintah eksekutif Presiden Trump yang dijadwalkan pada hari Senin juga akan memungkinkan Washington untuk menggunakan sanksi sekunder terhadap mereka yang membeli atau menjual senjata ke Iran, tidak termasuk mereka dari pasar AS.
Pada hari Sabtu, Menteri Luar Negeri Michael Pompeo mengumumkan bahwa semua sanksi PBB diberlakukan kembali terhadap Iran, dan langkah-langkah baru akan menyusul. Bekas direktur CIA itu menambahkan bahwa AS tidak akan ragu untuk menghukum negara-negara yang menentang Amerika. (Baca juga: Pakar Atom Sebut Iran Mampu Membuat Bom Nuklir dalam 3 Bulan )
Pemerintah Trump telah lama melancarkan kampanye sanksi terhadap Teheran, yang dijuluki sebagai pendekatan "tekanan maksimum". Washington menjatuhkan rentetan sanksi terhadap Teheran dengan dalih menahan ancaman nuklir Iran sembari mengecam apa yang mereka sebut sebagai "pemerintah yang menindas".
Pada Oktober 2019, Pompeo menulis tweet; "Iran harus secara fundamental mengubah perilakunya dan bertindak seperti negara normal, atau dapat menyaksikan ekonominya runtuh".
Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengecam pemerintah AS karena memulihkan sanksi internasional terhadap Teheran. Dia menegaskan bahwa komunitas internasional telah berbicara menentang langkah Amerika tersebut.
Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri Josep Borrell mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu bahwa Washington tidak dapat secara sepihak memulihkan sanksi internasional terhadap Iran berdasarkan perjanjian yang ditariknya. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang juga dikenal sebagai kesepakatan nuklir 2015. (Baca juga: Pentagon Curiga Militer Iran dan Korut Berhubungan )
Kesepakatan yang diteken Iran dan enam kekuatan dunia (AS, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman dan China) kala itu berusaha untuk mengekang program nuklir Teheran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional terhadap negara para Mullah tersebut. Namun, AS menarik diri dari kesepakatan itu tak lama setelah Trump berkuasa.
Menurut kesepakatan nuklir 2015, tindakan hukuman hanya dapat diberlakukan jika Teheran melanggar kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut.
(min)