Saharjo, Penyelamat Hutan Indonesia yang Tak Gentar dengan Ancaman Pembunuhan

Sabtu, 12 September 2020 - 15:44 WIB
loading...
Saharjo, Penyelamat Hutan Indonesia yang Tak Gentar dengan Ancaman Pembunuhan
Profesor Bambang Hero Saharjo, saksi ahli dari IPB University yang jadi andalan pemerintah Indonesia dalam menghadapi para mafia perusak hutan Indonesia. Foto Courtesy/Profesor Bambang Hero Saharjo
A A A
JAKARTA - Profesor Bambang Hero Saharjo baru saja hadir di pengadilan untuk bersaksi sebagai saksi ahli dalam kasus kejahatan lingkungan ketika menerima panggilan telepon.

Penelepon tak dikenal itu mencoba mengintimidasinya dan Profesor Saharjo segera mengakhiri panggilan. Dia kemudian mematikan teleponnya.

Ini hanyalah satu dari sekian banyak kejadian di mana ilmuwan Indonesia berusia 55 tahun itu mendapat intimidasi bahkan ancaman pembunuhan karena bersaksi dalam kasus lingkungan, terutama yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, dan pembalakan liar.

“Karena dalam kasus lingkungan, kuncinya ada pada saksi ahli,” katanya kepada Channel News Asia, Sabtu (12/9/2020). (Baca: Kebakaran Hutan Indonesia, Unicef: 10 Juta Anak dalam Bahaya )

Indonesia tidak asing dengan kebakaran hutan dan lahan yang disalahkan oleh pihak berwenang sebagai pelaku yang sengaja membakar untuk membuka lahan. Seringkali, kebakaran ini diperburuk oleh cuaca kering.

Kebakaran besar yang terjadi hampir setiap tahun telah menyebabkan kematian dan kerugian ekonomi, sekaligus menghambat upaya untuk memerangi perubahan iklim.

Elemen kunci untuk menghentikan kebakaran adalah penegakan hukum yang tegas, tetapi karena tidak mudah untuk membuktikan siapa pelakunya, seorang saksi ahli memainkan peran penting ketika seorang terdakwa diadili di pengadilan.

Sebagai dosen perlindungan hutan di IPB University, sebuah perguruan tinggi pertanian di Bogor, Profesor Saharjo berpegang teguh pada keyakinannya bahwa profesinya menuntut dirinya untuk mengajar dan melakukan penelitian serta untuk melayani masyarakat.

Hal terakhir inilah yang membuatnya menjadi saksi ahli dengan menggunakan bukti-bukti ilmiah dalam sekitar 600 kasus pengadilan, tetapi pekerjaan itu bukan tanpa konsekuensi.

Dia terkadang menerima pesan dari orang secara acak dan ada orang asing yang mencarinya di kampusnya. Bahkan, keluarganya harus mengungsi karena ada yang mengancam keselamatan mereka.

Dia menolak menjelaskan lebih detail tentang ancaman yang dia hadapi.

Pada 2018, sebuah perusahaan sawit bahkan mencoba menggugatnya setelah dinyatakan bersalah menyebabkan kebakaran.

“Mereka menggugat saya sebesar Rp510 miliar (USD35 juta) dan meminta saya untuk mencabut semua kesaksian saya dengan harapan ketika itu dicabut, tidak ada lagi tuntutan terhadap mereka," ujarnya.

“Namun akhirnya pada sidang kedua, korporasi mencabut gugatan tersebut,” lanjut dia.

Terlepas dari kendala tersebut, Profesor Saharjo terus melanjutkan misinya dan terbang ke berbagai wilayah di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi untuk bersaksi selama 20 tahun terakhir.

“Ilmu saya terapkan untuk kepentingan umum. Saya turun ke lapangan, melakukan pelatihan dan bersaksi sebagai saksi ahli dalam kasus (persidangan) terkait kerusakan lingkungan," katanya.

Setiap hari, dia mengamati citra dari dasbor khusus di Regional Fire Management Resource Center–South East Asia di IPB University.

Citra itu diambil menggunakan tiga satelit berbeda dan menunjukkan gambar dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan European Space Agency (ESA).

Teknologi tersebut dapat mendeteksi hotspots, fire spots, serta sumber dan arah angin serta kabut di Asia Tenggara. Itu adalah satu-satunya di wilayah Asia Tenggara dan bahkan dapat melacak data masa lalu.

Profesor Saharjo mengirimkan informasi tersebut secara berkala kepada instansi yang bertanggung jawab untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan badan bencana.

“Misalnya, baru-baru ini terjadi kebakaran besar di Kalimantan Barat. Kami sampaikan kepada aparat setempat bahwa api sudah mendekati suatu tempat, harap segera bertindak karena api berada di lahan gambut," ujarnya. (Baca juga: NASA: Kebakaran Hutan Indonesia Terburuk dalam Sejarah )

Terkadang Profesor Saharjo turun ke lapangan untuk menyelidiki kasus dengan mengebor lahan gambut jika ada permintaan dari polisi, pemerintah dan universitas.

“Setiap langkah yang saya ambil tidak jauh berbeda dengan penelitian biasa. Mulai dari penentuan lokasi, kasus, sampel, metode dan analisa....sehingga menjadi satu rantai yang sulit untuk diperdebatkan," jelasnya.

Atas karyanya, Profesor Saharjo menyabet penghargaan John Maddox— sebuah penghargaan bagi peneliti yang menunjukkan keberanian besar membela sains dan penalaran ilmiah meski dimusuhi—di London November lalu.

Dia termasuk di antara 200 nominasi.

Dia juga menerima Global Landscape Fire Award dari University of Freiburg, Jerman, September lalu atas komitmennya dalam perlindungan hutan.

Mengingat Indonesia akan memasuki puncak musim kemarau yang biasanya meningkatkan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, Saharjo sangat waspada.

“Pemerintah sudah sepakat untuk mengendalikan kebakaran secepatnya. Jadi operasi seperti modifikasi cuaca dan video call meeting dengan semua pemerintah daerah telah dilakukan," katanya.

“Tapi ini seperti punya 10 anak dan tidak semua bisa baik-baik saja....dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mengejar kasus-kasus yang tidak hanya melibatkan investor dalam negeri tetapi juga dari negara-negara tetangga,” imbuh dia.

Saat menangani kasus pengadilan, ada banyak tantangan yang harus dia tangani. Misalnya, tersangka akan selalu berusaha membela diri dengan mencari alasan.

Saharo mengatakan neberapa orang berpendapat bahwa lahan yang terbakar tidak “rusak” karena masih ada rumput yang tumbuh di atasnya.

“Tapi pernahkah terlintas dalam pikiran mereka bahwa lahan gambut yang terbakar membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk dipulihkan?," paparnya.

"Selain itu, selama kebakaran, emisi gas rumah kaca dilepaskan.... jadi itu tidak benar."

Pada 2015, Indonesia harus menghadapi kebakaran terbesar dalam hampir 20 tahun yang menghanguskan sekitar 2,6 juta hektare lahan. Profesor Saharjo dan timnya bekerja sama dengan universitas Amerika yang didanai oleh NASA untuk meneliti kebakaran lahan gambut.

Mereka menggunakan detektor khusus yang diimpor dari Amerika Serikat untuk mengambil sampel lahan gambut yang terbakar di provinsi Kalimantan Tengah.

Menurutnya, detektor itu hanya ada satu di seluruh dunia, dan bahkan telah digunakan di Mars.

“Untuk pertama kalinya di dunia, sampel yang kami ambil menunjukkan ada 90 jenis gas dalam asap. Ini diterbitkan dalam jurnal internasional pada tahun 2016," katanya.

“Sayangnya lebih dari 50 jenis gas di sana beracun,” lanjut Saharjo.

Artinya, semakin lama membiarkan api menyala, durasi orang terpapar bahan kimia beracun semakin lama dan ini mengancam kesehatan masyarakat.

“Inilah mengapa kita perlu mencegahnya terjadi,” jelasnya.

Dedikasi Profesor Saharjo dalam menjaga hutan dimulai lebih dari 35 tahun yang lalu saat dia masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA).

Antara 1982 dan 1983, terjadi kebakaran besar di sisi timur Kalimantan yang menghanguskan 3,6 juta hektare hutan. Itu memicu rasa ingin tahunya dan dia ingin tahu penyebab dan solusinya.

Dai kemudian mendaftar di IPB University pada jurusan perlindungan hutan dan melanjutkan studi gelar master dan doktor di Jepang.

Sekembalinya dari studinya di Jepang pada tahun 2000, seorang direktur dari Kementerian Lingkungan Hidup yang mengetahui tentang kualifikasinya menghubunginya.

Direktur itu bertanya apakah dia tertarik membantu mereka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Kalimantan Barat.

Dia setuju, mereka memenangkan kasus tersebut, dan itu menandai perjalanan perjuangannya untuk menyelamatkan lingkungan.

Meskipun kebakaran hutan dan lahan telah terjadi selama beberapa dekade—termasuk di provinsi Jambi tempat Profesor Saharjo dibesarkan—ia telah melihat adanya pergeseran motif untuk memulai kebakaran dalam beberapa tahun terakhir.

“Dulu orang tidak tahu soal klaim asuransi....tapi belakangan ini ada kasus orang membakar klaim yang nilainya mencapai belasan miliar (rupiah). Kasus seperti yang saya tangani yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit dan juga perusahaan pulp dan kertas,” ujarnya.

Ada juga kasus di mana bisnis membuka bidang tanah untuk dijual untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi.

“Dan mereka tidak beroperasi sendiri. Biasanya ada mafia yang terlibat," klaim Saharjo.

Ketika tantangan semakin besar, beberapa orang bertanya kepada Saharjo mengapa dia terus melakukan apa yang dia lakukan. “Beberapa kolega berkata; ‘Mengapa Anda repot-repot (bersaksi di pengadilan)? Lebih baik menjadi seperti saya, membantu perusahaan dan menerima persentase tertentu'," katanya.

Saharjo mengenang satu berita khusus selama kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 yang sangat mengharukan dan memotivasi dirinya untuk terus bertahan hingga saat ini.

Dalam pemberitaan televisi, seorang pria di Riau sedang memeluk putranya yang tewas akibat kebakaran tersebut.

“Anak laki-laki itu baru saja memasuki tahun ketiga sekolah menengah dan dia meninggal karena kehabisan oksigen," katanya.

“Sang ayah bertanya: 'Siapa yang sekarang bertanggung jawab untuk ini? Kami bukan pelakunya tapi kami yang jadi korban', " kenang dia.

"Menurut saya, jika kita tidak menjadi bagian dari solusi, maka (kejahatan lingkungan) akan terus terjadi.”
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1329 seconds (0.1#10.140)