Ketika Pandemi Covid-19 Digunakan untuk Redam Kebebasan Berpendapat

Senin, 04 Mei 2020 - 01:04 WIB
loading...
Ketika Pandemi Covid-19...
Ilustrasi
A A A
BANGKOK - Masalah kesehatan ada di pikiran seniman Danai Ussama ketika dia kembali ke Thailand dari perjalanan ke Spanyol. Danai memperhatikan, bahwa dia dan penumpang lainnya tidak menjalani pemeriksaan medis setelah tiba di bandara Bangkok dan merasa perlu menuliskan hal itu di halaman Facebook-nya.

Namun, pihak berwenang bandara menyangkal hal itu dan mengajukan pengaduan kepada polisi. Danai pun ditangkap di galerinya di Phuket karena melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer dengan diduga mengunggah informasi palsu, pelanggaran dengan hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda USD 3.000.

Danai mengatakan, unggahan di Facebook-nya, meskipun bersifat publik, sebenarnya dimaksudkan hanya untuk kalangan kecil yang terdiri atas 40 hingga 50 orang. Tapi, itu menjadi viral. Dia percaya pemerintah khawatir lawan-lawannya akan menggunakan pengamatannya sebagai bukti bahwa mereka gagal melawan Covid-19 dan tuntutan terhadapnya adalah peringatan kepada orang lain.

Ketika pemerintah di seluruh dunia memberlakukan langkah-langkah darurat untuk menjaga orang-orang di rumah dan mencegah pandemi, sejumlah negara tidak senang jika ada warganya yang "membongkar" kesalahan mereka dalam menghadapi pandemi. Beberapa negara lain mengambil keuntungan dari krisis untuk membungkam kritik dan memperketat kontrol.

"Covid-19 merupakan ancaman signifikan bagi keamanan pemerintah dan rezim karena berpotensi mengekspos tata kelola yang buruk dan kurangnya transparansi pada masalah yang mempengaruhi setiap warga negara di negara tertentu," kata Aim Sinpeng, asisten profesor ilmu politik di Universitas Sydney, Australia.

"Karena pandemi adalah masalah global dan terus-menerus menjadi berita di seluruh dunia, pemerintah memiliki waktu lebih sulit mengendalikan pesan kepada publik tanpa memaparkan seberapa sedikit atau banyak yang telah mereka lakukan dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia," sambungnya, seperti dilansir Al Arabiya.

Di Kamboja, di mana Perdana Menteri Hun Sen telah berkuasa selama 35 tahun, kelompok HAM, LICADHO telah mendokumentasikan 24 kasus orang yang ditahan karena berbagi informasi tentang virus Corona. Ini termasuk empat pendukung partai oposisi.

Human Rights Watch juga melaporkan penangkapan dan pemeriksaan terhadap seorang anak berusia 14 tahun yang menyatakan kekhawatirannya di media sosial tentang rumor tentang adanya kasus Covid-19 di sekolah dan di provinsinya.

Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban mungkin yang paling cerdik dalam mengeksploitasi krisis kesehatan. Parlemen Hongaria memberi Orban kekuasaan untuk memerintah tanpa batas waktu melalui dekrit, tidak terbebani oleh hukum yang ada atau pengekangan yudisial atau parlemen.

Salah satu aspek dari undang-undang yang seolah-olah disahkan untuk mengatasi keluhan selama pandemi adalah hukuman penjara hingga lima tahun bagi mereka yang menyebarkan kebohongan atau fakta yang terdistorsi selama masa darurat.

"Masalah kesehatan global yang disebabkan oleh Covid-19 memerlukan langkah-langkah efektif untuk melindungi kesehatan dan kehidupan orang. Ini termasuk memerangi disinformasi yang dapat menyebabkan kepanikan dan keresahan sosial," kata Dewan Komisaris Eropa untuk Hak Asasi Manusia, Dunja Mijatovic.

"Sayangnya, beberapa pemerintah menggunakan imperatif ini sebagai alasan untuk menerapkan pembatasan yang tidak proporsional terhadap kebebasan pers. Ini adalah pendekatan kontraproduktif yang harus dihentikan. Khususnya di masa krisis, kita perlu melindungi kebebasan dan hak-hak kita yang berharga," sambungnya.

Anggota parlemen di Filipina bulan lalu mengesahkan undang-undang khusus yang memberi Presiden Rodrigo Duterte kekuatan darurat. Duterte, yang sudah dikritik karena perang brutal terhadap narkoba yang telah menewaskan ribuan orang, telah sangat anti terhadap para kritikus.

Undang-undang baru ini membuat siapapun yang diduga menyebarkan informasi palsu mengenai krisis Covid-19 di media sosial dan platform lainnya sebagai pelanggaran pidana yang dapat dihukum hingga dua bulan penjara dan denda hingga USD 19 ribu. Setidaknya dua wartawan telah dituduh oleh polisi karena menyebarkan informasi palsu tentang krisis.

"Dikhawatirkan Duterte akan menggunakan kewenangannya yang meningkat untuk memadamkan perbedaan pendapat dan menerkam musuh politiknya," kata Aries Arugay, profesor ilmu politik di Universitas Filipina.
(esn)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1314 seconds (0.1#10.140)