Kunjungi Turki dan Temui Erdogan, Organisasi HAM Eropa Dikecam
loading...
A
A
A
ISTANBUL - Para jurnalis dan atlet Turki yang diasingkan mengecam organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional yang berbasis di Eropa karena mengunjungi Turki dan bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan .
Presiden Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) Robert Spano diketahui memulai kunjungan resmi empat hari ke Turki pada hari Kamis (3/9/2020). Selama kunjungan tersebut, dia bertemu Erdogan dan pejabat Turki lainnya, sebelum akhirnya menerima gelar kehormatan dari Universitas Istanbul. (Baca: Erdogan Minta Uni Eropa Tak Memihak dalam Konflik Turki-Yunani )
Para korban pelanggaran HAM oleh pemerintah Turki mengatakan kepada Al Arabiya English bahwa kunjungan itu adalah "tamparan di wajah" lembaga HAM dan munafik.
ECHR telah menempatkan Turki sebagai negara dengan jumlah pelanggaran HAM tertinggi kedua dalam daftar negara-negara Eropa tahun lalu, di belakang Rusia.
Bintang NBA terkemuka asal Turki, Enes Kanter, yang dicari di negara asalnya karena berbicara menentang apa yang dia sebut "kediktatoran" Erdogan, mengatakan kepada Al Arabiya English bahwa ECHR harus menjadi tempat di mana orang-orang yang "menderita pelanggaran hukum dan HAM" di Turki mencari hak-hak mereka. (Baca: Erdogan Sebut Pemimpin Prancis dan Yunani Rakus dan Tak Kompeten )
"Tetapi sebaliknya, kunjungan oleh presiden ECHR seakan-akan melegitimasi tindakan pemerintah Turki yang melanggar hukum pada tingkat tertinggi dan melemparkan bayangan besar pada ketidakberpihakan lembaga yang dipimpinnya," kata Kanter dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya English.
Kanter, melalui Twitter, juga meminta Spano untuk mengundurkan diri. "Kunjungan ini menunjukkan sikap munafik ECHR...sejernih kristal," imbuh jurnalis Turki yang diasingkan, Bulent Kenes.
Kenes, yang didakwa dengan tiga hukuman seumur hidup ditambah 15 tahun penjara di Turki setelah menulis kolom yang mengkritik Erdogan, dengan mengatakan selalu ada "kecurigaan besar" bahwa ECHR adalah kaki tangan "kejahatan rezim Erdogan". (Baca: Turki Tolak Kritik AS soal Pertemuan Erdogan dan Pentolan Hamas )
"Sekarang kunjungan itu adalah bukti bahwa ECHR telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang mencari keadilan," katanya.
"Ini adalah rasa malu besar bagi para hakim di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan terutama untuk Spano," kata Kenes.
Selama kunjungannya, Spano bertemu Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul dan menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Istanbul.
Direktur Human Rights Watch Turki Emma Sinclair-Webb mengatakan itu "menakjubkan" bahwa Spano menerima gelar kehormatan dari sebuah universitas yang "secara ringkas menolak skor akademisi...dengan cara yang melanggar hukum."
Pemerintah Turki memulai kampanye penindasan terhadap para kritikusnya dalam jurnalisme, akademisi, dan militer setelah upaya kudeta pada 15 Juli 2016.
Lebih dari 6.000 akademisi telah kehilangan pekerjaan mereka karena tindakan keras pemerintah Turki sejak 2016. Itu merupakan data Turkey Purge, sebuah kelompok jurnalis Turki yang independen.
Menurut ECHR, dalam pertemuan 45 menit, Spano berbicara kepada Erdogan tentang pentingnya aturan hukum dan demokrasi dan khususnya. Rincian lengkap hasil pertemuan tidak dirilis.
Jurnalis Turki yang diasingkan Ahmet Donmez mengatakan dia pikir kunjungan Spano adalah upaya yang tidak tulus untuk meyakinkan Erdogan agar lebih mendukung hak asasi manusia. (Simak juga: Jenazah Malik Fadjar Akan Dimakamkan di TMP Kalibata )
"Ada metode yang jauh lebih efektif dan lebih etis untuk mencapai hal ini," kata Donmez kepada Al Arabiya English, yang dikutip Rabu (9/9/2020). "Kunjungan itu memberikan tambahan oksigen pada pemerintahan Erdogan."
"Presiden ECHR harus segera mengundurkan diri dan pengadilan harus mempercepat banyak kasus Turki yang tertunda," Kata Abdullah Tuncay Antepli, seorang profesor di Universitas Duke.
Presiden Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) Robert Spano diketahui memulai kunjungan resmi empat hari ke Turki pada hari Kamis (3/9/2020). Selama kunjungan tersebut, dia bertemu Erdogan dan pejabat Turki lainnya, sebelum akhirnya menerima gelar kehormatan dari Universitas Istanbul. (Baca: Erdogan Minta Uni Eropa Tak Memihak dalam Konflik Turki-Yunani )
Para korban pelanggaran HAM oleh pemerintah Turki mengatakan kepada Al Arabiya English bahwa kunjungan itu adalah "tamparan di wajah" lembaga HAM dan munafik.
ECHR telah menempatkan Turki sebagai negara dengan jumlah pelanggaran HAM tertinggi kedua dalam daftar negara-negara Eropa tahun lalu, di belakang Rusia.
Bintang NBA terkemuka asal Turki, Enes Kanter, yang dicari di negara asalnya karena berbicara menentang apa yang dia sebut "kediktatoran" Erdogan, mengatakan kepada Al Arabiya English bahwa ECHR harus menjadi tempat di mana orang-orang yang "menderita pelanggaran hukum dan HAM" di Turki mencari hak-hak mereka. (Baca: Erdogan Sebut Pemimpin Prancis dan Yunani Rakus dan Tak Kompeten )
"Tetapi sebaliknya, kunjungan oleh presiden ECHR seakan-akan melegitimasi tindakan pemerintah Turki yang melanggar hukum pada tingkat tertinggi dan melemparkan bayangan besar pada ketidakberpihakan lembaga yang dipimpinnya," kata Kanter dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya English.
Kanter, melalui Twitter, juga meminta Spano untuk mengundurkan diri. "Kunjungan ini menunjukkan sikap munafik ECHR...sejernih kristal," imbuh jurnalis Turki yang diasingkan, Bulent Kenes.
Kenes, yang didakwa dengan tiga hukuman seumur hidup ditambah 15 tahun penjara di Turki setelah menulis kolom yang mengkritik Erdogan, dengan mengatakan selalu ada "kecurigaan besar" bahwa ECHR adalah kaki tangan "kejahatan rezim Erdogan". (Baca: Turki Tolak Kritik AS soal Pertemuan Erdogan dan Pentolan Hamas )
"Sekarang kunjungan itu adalah bukti bahwa ECHR telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang mencari keadilan," katanya.
"Ini adalah rasa malu besar bagi para hakim di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan terutama untuk Spano," kata Kenes.
Selama kunjungannya, Spano bertemu Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul dan menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Istanbul.
Direktur Human Rights Watch Turki Emma Sinclair-Webb mengatakan itu "menakjubkan" bahwa Spano menerima gelar kehormatan dari sebuah universitas yang "secara ringkas menolak skor akademisi...dengan cara yang melanggar hukum."
Pemerintah Turki memulai kampanye penindasan terhadap para kritikusnya dalam jurnalisme, akademisi, dan militer setelah upaya kudeta pada 15 Juli 2016.
Lebih dari 6.000 akademisi telah kehilangan pekerjaan mereka karena tindakan keras pemerintah Turki sejak 2016. Itu merupakan data Turkey Purge, sebuah kelompok jurnalis Turki yang independen.
Menurut ECHR, dalam pertemuan 45 menit, Spano berbicara kepada Erdogan tentang pentingnya aturan hukum dan demokrasi dan khususnya. Rincian lengkap hasil pertemuan tidak dirilis.
Jurnalis Turki yang diasingkan Ahmet Donmez mengatakan dia pikir kunjungan Spano adalah upaya yang tidak tulus untuk meyakinkan Erdogan agar lebih mendukung hak asasi manusia. (Simak juga: Jenazah Malik Fadjar Akan Dimakamkan di TMP Kalibata )
"Ada metode yang jauh lebih efektif dan lebih etis untuk mencapai hal ini," kata Donmez kepada Al Arabiya English, yang dikutip Rabu (9/9/2020). "Kunjungan itu memberikan tambahan oksigen pada pemerintahan Erdogan."
"Presiden ECHR harus segera mengundurkan diri dan pengadilan harus mempercepat banyak kasus Turki yang tertunda," Kata Abdullah Tuncay Antepli, seorang profesor di Universitas Duke.
(min)