CDC Korsel Sebut 86% Korban Tewas Covid-19 Mengidap Diabetes

Jum'at, 27 Maret 2020 - 07:10 WIB
CDC Korsel Sebut 86% Korban Tewas Covid-19 Mengidap Diabetes
CDC Korsel Sebut 86% Korban Tewas Covid-19 Mengidap Diabetes
A A A
SEOUL - Sebanyak 86% pasien virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia di Korea Selatan (Korsel) mengidap tekanan darah tinggi dan diabetes atau kombinasi keduanya. Hal itu diungkapkan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Korsel setelah melakukan penelitian selama beberapa pekan.

CDC sedikitnya telah mengumumkan sebanyak 124 pasien Covid-19 telah meninggal dunia di Korsel. Di antara seluruh korban meninggal dunia, 55 di antaranya menderita tekanan darah tinggi, 41 diabetes, dan 34 penyakit alzheimer. Sebanyak 61 korban berjenis kelamin perempuan, sedangkan 63 korban laki-laki.

Angka kematian berdasarkan usia juga bervariasi. Angka kematian pasien berusia di bawah 50 tahunan berada di bawah 1%; 60 tahunan sekitar 1,75%; 70 tahunan 6,25%; dan 80 tahunan 13%. Rata-rata jangka waktu antara diagnosa positif terjangkit Covid-19 dengan waktu kematian sekitar delapan hari.

“Di China seorang pasien bahkan meninggal dunia hanya dalam lima hari setelah didiagnosa positif terinfeksi Covid-19,” kata Profesor Park Eun-chol dari Yonsei University Medical School. “Pada awalnya banyak pasien yang datang ke rumah sakit dalam kondisi kritis, tapi sekarang kami mampu membagi-baginya.”

Penelitian lain di China menyebutkan 3-10% pasien yang pulih dari Covid-19 telah kembali positif terjangkit virus mematikan tersebut beberapa hari kemudian. Akibatnya, saat ini, banyak ahli kesehatan yang berupaya mengetahui apakah pasien yang sudah pulih akan dapat menularkan virus terhadap orang lain.

Selain itu, para ahli juga sedang berusaha mengetahui jika pasien yang sudah pulih memiliki daya tahan tubuh baru untuk menangkal Covid-19. Namun, menurut dokter di Rumah Sakit (RS) Tongji, Wuhan, China, pasien yang sembuh yang kembali mengidap Covid-19 sejauh ini tidak terbukti dapat menularkan virus.

“Kami tidak hanya merawat dan mengawasi pasien, tapi juga keluarganya. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan di laboratorium, anggota keluarga pasien tidak ada yang terinfeksi,” ungkap RS Tongjil, dilansir SCMP.

Hasil penelitian itu didukung oleh bukti di lapangan. Jumlah pasien baru di China kini ke titik nol. (Baca: COVID-19 di Italia: Kamar Rumah Sakit Tak Cukup, Banyak Meninggal di Rumah)

China yang pertama kali terkena wabah Covid-19 sejak akhir Desember 2019 telah memulangkan 90% dari 81.000 lebih pasien yang terinfeksi, sedangkan 3.200 pasien tewas dan 4.300 lainnya masih mendapatkan perawatan intensif di RS. Saat ini pasien baru Covid-19 di China merupakan warga asing yang berasal dari Eropa.

Presiden RS Tongji, Wang Wei, mengatakan, dari 147 pasien yang sembuh hanya lima atau 3% yang kembali positif terinfeksi Covid-19. Sementara itu, media lokal, Life Times, melaporkan pasien sembuh yang kembali sakit sekitar 5-10%. Detail laporan kondisi itu juga pernah diangkat media lokal sejak Januari.

Kendati angkanya kecil dan sejauh ini tidak menginfeksi orang lain, kondisi ini menimbulkan keraguan terkait akurasi uji nucleic acid dalam mendeteksi virus Covid-19. Beberapa ahli juga mengungkapkan keprihatinan terkait sensitivitas dan stabilitas test kit tersebut, termasuk pengumpulan dan penangan sampel.

Pasien sembuh yang kembali kambuh akan dikarantina lagi selama dua pekan. Ahli gangguan pernafasan, Tong Chaohui, menilai langkah tersebut sudah tepat dan penting demi keamanan bersama. Namun, dia mengatakan pasien sembuh biasanya memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dibanding yang lain.

Polemik Masker

Dengan mewabahnya Covid-19, masyarakat di dunia, termasuk Indonesia, bertanya-tanya tentang pentingnya penggunaan masker. Menurut para ahli kesehatan, kebijakan ini harus disesuaikan dengan kondisi setiap wilayah. Pasalnya, penggunaan masker secara tidak tepat dapat meningkatkan risiko tertular.

Di Amerika Serikat (AS), pusat pengendalian dan pencegahan penyakit setempat beserta ahli medis lokal lainnya mengimbau warga untuk tidak menggunakan masker, kecuali bagi orang sakit atau staf medis yang bekerja di lapangan. Sebab, selain tidak akan melindungi, pengguna justru dikhawatirkan akan sakit.

Seperti dilansir Korea Times, ahli virus dari New York, Dr Hakim Djaballah, mengatakan, keputusan itu diambil berdasarkan kebiasaan warga AS yang jarang berdesak-desakan di tempat umum. Penggunaan masker juga dapat menimbulkan risiko karena pemakainya akan menyentuh wajah, terlepas sadar atau tidak. “Dalam keseharian, warga AS juga tidak terbiasa menggunakan masker, kecuali pasien kanker yang baru keluar dari rumah sakit akibat adanya perubahan udara,” kata Hakim. (Baca juga: Langkah Progresif Redam Corona, India Isolasi Diri Selama 21 Hari)

Sementara itu, bagi warga Asia, penggunaan masker direkomendasikan. Sebab, warga Asia sering berkerumun di dalam transportasi umum. “Katakanlah di Seoul jutaan orang menggunakan kereta bawah tanah dan menghabiskan waktu yang lama di tengah kerumunan orang. Wajah mereka mungkin hanya berjarak 30 sentimeter atau kurang dari itu,” kata Hakim. “Kita tidak tahu siapa yang sudah terinfeksi atau tidak. Jadi lebih baik melindungi diri.” (Muh Shamil)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6069 seconds (0.1#10.140)