Strategi Melumpuhkan Kritikus ala Rusia

Jum'at, 04 September 2020 - 13:15 WIB
loading...
Strategi Melumpuhkan Kritikus ala Rusia
Foto/dok
A A A
BERLIN - Politik memang kejam. Saling menjatuhkan, saling menikam, dengan tujuan utama untuk mempertahankan kekuasaan dan meraih kursi kepemimpinan.

Tak sedikit para politikus atau siapa pun yang melawan kekuasaan cenderung dibui. Kasus kejahatan masa lalunya dibongkar dan dijebloskan ke persidangan dengan motif politik. Banyak pula rival politik disingkirkan dari kehidupan dunia agar tidak lagi menjadi ancaman. Alasan stabilitas politik dengan melenyapkan kritikus terkadang menjadi pilihan terakhir. Tapi, itu juga bisa sebuah ancaman agar kursi kekuasaan memang tidak boleh diganggu gugat. (Baca: Diancam Barcelona, Lionel Messi Pilih Selesaikan Kontrak)

Kasus terbaru adalah politisi oposisi Rusia Alexei Navalny diracuni dengan agen saraf Novichok. Pernyataan itu resmi dikeluarkan oleh Pemerintah Jerman. Setelah dilarikan ke Inggris, Navalny diberi penawar zat beracun tersebut berupa atropin, obat yang sama digunakan dalam kasus mantan agen KGB Sergei Skripal oleh dokter Inggris setelah keracunan agen saraf Novichok di Salisbury pada 2018. Tudingan itu dibantah Pemerintah Rusia.

Kasus pembunuhan politikus memang sudah menjadi kabar berita yang biasa. Mantan menteri pers Rusia Mikhail Lesin meninggal karena luka di kepala di sebuah kamar hotel pada November 2015. The Daily Beast melaporkan kematian itu karena Lesin membuat kesepakatan dengan FBI untuk melindunginya dari tudingan korupsi. Lesin yang selama bertahun-tahun dalam putaran kehidupan politik Rusia mengetahui cara kerja politik.

Dunia juga mengenal bagaimana seorang mantan agen KGB Alexander Litvinenko meninggal tiga pekan setelah minum teh di sebuah hotel di London yang sudah diracun polonium-210. Penyelidikan polisi Inggris menyebutkan Litvinenko diracun agen FSB Andrei Lugovoi dan Dmitry Kovtun atas perintah dari Moskow. Litvinenko dikenal sebagai kritikus Putin.

Boris Berezovsky merupakan pengusaha kaya raya asal Rusia yang melarikan diri ke Inggris setelah berkonflik dengan Putin. Di pengasingan, Berezovsky berambisi ingin menggulingkan Putin. Tapi, dia justru ditemukan tewas di rumahnya di Berskhire pada Maret 2013. Aparat keamanan tidak mampu menjelaskan penyebab kenapa dia meninggal dunia. (Baca juga: Ini Alasan TNI Tidak Diperlukan Menangani Terorisme)

Dari kalangan jurnalis, Anna Politkovskaya merupakan jurnalis Rusia yang kritis terhadap Putin dan menulis buku berjudul "Putin's Russia". Dia dibunuh oleh pembunuh bayaran. Lima orang berhasil ditangkap dan mereka disuruh oleh orang yang tidak dikenal dengan bayaran senilai USD150.000.

Pembunuhan bermotif politik, baik dengan racun ataupun cara lain memang bukan cara baru di Rusia. Tapi, itu sudah terjadi sekitar lima abad lalu. Banyak pembunuhan itu tidak mampu mengungkap aktor intelektual di belakang aksi tersebut.

“Di luar budaya populer, tidak ada pembunuh bayaran yang sangat terampil untuk disewa,” kata Mark Galeotti, pakar keamanan Rusia dari Universitas New York dilansir The New York Times. “Jika itu adalah pekerjaan dengan penuh keahlian, itu berarti adalah aset negara,” ujarnya.

Berbeda dengan Israel dan Amerika Serikat (AS), pembunuhan yang dilakukan atas perintah negara juga kerap terjadi, tetapi dalam konteks kontraterorisme. Namun, Rusia selalu membantah terkait dengan pembunuhan para politikus oposisi. Itu karena kebanyakan kasus tersebut pada umumnya melakukan aksi dengan rapi dan tersembunyi.

“Pemerintah menggunakan pasukan khusus untuk melikuidasi para musuhnya,” kata Gennadi V. Gudkov, mantan anggota parlemen dan mantan agen rahasia KGB dengan pangkat terakhir letnan kolonel. “Bukan hanya Litvinenko, tetapi banyak orang lain yang tidak diketahui, baik dirahasiakan maupun sebagai kecelakaan atau semi kecelakaan,” katanya.

Racun merupakan alat favorit bagi intelijen Rusia selama beberapa abad terakhir untuk melakukan aksi pembunuhan. Seorang pakar biokimia, Grigory Mairanovski, pernah menemukan racun tanpa rasa, tanpa warna, dan sangat mematikan pada 1928. Pada 1954, seorang pembelot KGB menggambar laboratorium rahasia itu juga menguji racun tersebut kepada orang yang masih hidup. Hingga kini, Rusia juga terus mengembangkan racun mematikan yang sulit dilacak. (Baca juga: Mulai Hari Ini Seluruh ASN DKI Hanya Bekerja 5,5 Jam Perhari)

Sementara itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mengungkapkan, kritikus Alexei Navalny yang saat ini dalam perawatan intensif di rumah skait Berlin, dipastikan diracun dengan zat agen syaraf Novichok. Itu merupakan zat beracun yang dikenal di era militer Soviet pada 1970-1980-an. Merkel mengatakan Berlin meminta Moskow menjelaskan hal itu dan Jerman akan berkonsultasi dengan Moskow untuk merespons kasus tersebut.

“Ini informasi yang sangat mengganggu tentang upaya pembunuhan dengan racun terhadap pemimpin oposisi Rusia,” kata Merkel dilansir Reuters. “Alexei Navalny merupakan korban serangan zat kimian agen syaraf Novichok,” ujarnya.

Moskow kembali membantah tudingan tersebut. Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan tudingan Jerman tidak disertai bukti. Mereka juga mengeluhkan cara Jerman merilis informasi mengenai Navalny. “Langkah Jerman sepertinya kampanye informasi tanpa fakta melawan Rusia,” kata Maria Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia kepada stasiun televisi milik Pemerintah Rusia.

Gedung Putih menyatakan penggunaan Novichok “tindakan sangat tercela”. Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat menyatakan Washington akan bekerja sama dengan aliansinya untuk meminta pihak di Rusia yang harus bertanggung jawab. Seorang sumber dari Pemerintah AS menyatakan penggunaan Novichok menunjukkan penegasan Putin kepada individu yang menjadi ancaman dan mengganggunya.

Navalny adalah sosok pengkritik paling terkemuka bagi Presiden Rusia Vladimir Putin. Dia jatuh sakit selama penerbangan pada beberapa waktu lalu. Dia dan para pendukungnya mencurigai ada sesuatu yang dimasukkan ke dalam minuman tehnya di kafe di sebuah bandara.

Kepala dokter di rumah sakit Siberia, Alexander Murakhovsky, mengatakan bahwa kondisi Navalny telah sedikit membaik, tetapi dia masih tidak stabil. Dia mengatakan, persoalan perizinan perlu diselesaikan terlebih dahulu sebelum Navalny dapat dipindahkan. (Baca juga: Banyuwangi Bakal jadi Pusat Wisata Bahari Kelas Dunia)

Tapi, juru bicara Navalny mengatakan, keputusan tersebut "mematikan" bagi Navalny jika tetap dirawat di sebuah rumah sakit Siberia. "Larangan pemindahan Navalny (ke Jerman) merupakan ancaman bagi kehidupannya," kata juru bicara Navalny, Kira Yarmysh.

Atas kejadian itu, sebuah yayasan perdamaian Jerman berharap dapat mengirimkan ambulans udara untuk membawa Alexei Navalny ke Berlin guna mendapatkan perawatan maksimal. Peralatan medis dan dokter-dokter spesialis juga telah siap menjemput Navalny.

Navalny, 44, merupakan salah satu pengkritik Presiden Vladimir Putin paling konsisten selama bertahun-tahun. Pada Juni lalu, ia menggambarkan proses pemungutan suara untuk melakukan reformasi konstitusi sebagai "kudeta" dan "pelanggaran konstitusi". Reformasi itu memungkinkan Putin untuk berkuasa selama dua masa jabatan lagi. (Lihat videonya: Kapal Induk dan Kapal perang Asing Bernuansa Nama Nusantara)

Navalny mengukir namanya dalam catatan pemerintahan Putin dengan mengungkap praktik korupsi yang dilakukan secara 'resmi'. Dia juga mencap Rusia Bersatu Putin (Putin's United Russia) sebagai "partai penjahat dan pencuri". Atas perbuatannya, ia dijebloskan ke dalam penjara. Pada tahun 2011, ia ditangkap dan dipenjara selama 15 hari menyusul protes atas kecurangan suara oleh Partai Rusia Bersatu Putin (Putin's United Russia Party) dalam pemilihan parlemen.

Lalu, Navalny pernah dipenjara sebentar pada Juli 2013 atas tuduhan penggelapan, tetapi ia mengecam hukuman itu sebagai bentuk "hukuman politik". Navalny juga mencoba mencalonkan diri dalam pemilihan presiden 2018, tetapi dilarang karena dakwaan penipuan sebelumnya dalam kasus yang sekali lagi dia sebut bermotif politik. Navalny juga dijatuhi hukuman penjara selama 30 hari pada Juli 2019 setelah menyerukan protes yang tidak sah. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1433 seconds (0.1#10.140)