Ekspansi Industri Global China Diduga Libatkan Praktik Eksploitatif

Kamis, 02 Januari 2025 - 08:19 WIB
loading...
A A A
Situasi di Xinjiang menjadi peringatan keras tentang apa yang mungkin menjadi pola global jika tidak ditangani. Di sana, industri aluminium, yang penting bagi produksi otomotif global, telah sangat tercemar oleh tuduhan kerja paksa.

Sekitar 9 persen pasokan aluminium global berasal dari Xinjiang, tempat pemerintah China dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap etnis Uighur dan komunitas Muslim Turki lainnya. Skala operasi ini mengejutkan—produksi aluminium Xinjiang telah tumbuh dari sekitar satu juta ton pada tahun 2010 menjadi enam juta pada tahun 2022, menjadikannya produsen yang lebih besar daripada negara mana pun di luar China.

Produsen aluminium besar China di Xinjiang, seperti Xinjiang East Hope Nonferrous Metals, Tianshan Aluminum, dan Xinfa Group Xinjiang, telah terlibat dalam program pemindahan tenaga kerja yang didukung pemerintah yang secara efektif memaksa warga Uighur untuk bekerja.

Praktik perusahaan-perusahaan tersebut di dalam negeri telah menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen mereka terhadap hak-hak buruh dalam operasi internasional serta memperlihatkan pendekatan sistematis terhadap eksploitasi tenaga kerja yang melampaui batas-batas negara.

Tanggapan global terhadap pelanggaran ini telah mendapatkan momentum, meski banyak yang berpendapat bahwa hal itu masih belum memadai. Amerika Serikat (AS) telah menerapkan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur, yang menciptakan anggapan bahwa barang-barang yang dibuat seluruhnya atau sebagian di Xinjiang tidak memenuhi syarat untuk diimpor.

Uni Eropa sedang mempersiapkan undang-undang serupa untuk melarang impor yang terkait dengan kerja paksa. Namun, sikap bermusuhan pemerintah China terhadap investigasi hak asasi manusia dan undang-undang antispionase yang baru-baru ini diperluas telah menciptakan hambatan signifikan bagi perusahaan yang mencoba melakukan uji tuntas dalam rantai pasokan mereka.

Industri otomotif menghadapi tantangan khusus karena China menjadi pemain yang semakin dominan di sektor tersebut. Produsen mobil global yang beroperasi di China melalui usaha patungan sering mengklaim kendali terbatas atas operasi mitra mereka, sehingga menciptakan apa yang oleh para kritikus dianggap sebagai alasan tepat untuk menutup mata terhadap pelanggaran ketenagakerjaan.

Rantai Pasokan yang “Tercemar”


Volkswagen, misalnya, meski menyatakan komitmennya terhadap hak asasi manusia, mengakui bahwa mereka "tidak memiliki transparansi" tentang hubungan pemasok dalam usaha patungannya di China. Bahkan perusahaan Tesla, yang telah memberikan informasi lebih rinci tentang sumber aluminiumnya, tidak dapat sepenuhnya menjamin rantai pasokannya bebas dari hubungan kerja paksa.

Ketidakjelasan dalam rantai pasokan memungkinkan bahan-bahan yang berpotensi “tercemar” memasuki pasar global tanpa terdeteksi, khususnya melalui jaringan perdagangan industri aluminium yang kompleks.

Setelah batangan aluminium dicairkan dan dicampur dengan bahan lain, asal-usulnya menjadi tidak mungkin ditentukan, sehingga aluminium yang tercemar dapat menyusup ke rantai pasokan global tanpa terdeteksi. Kurangnya penelusuran ini menciptakan “badai sempurna” di mana pelanggaran hak asasi manusia dapat berkembang biak di balik kedok operasi bisnis yang sah.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1006 seconds (0.1#10.140)