Presiden Abkhazia Mundur, Desak Demonstran Tinggalkan Gedung Pemerintah
loading...
A
A
A
SUKHUMI - Presiden Abkhazia, Aslan Bzhania, mengajukan pengunduran dirinya di tengah gelombang kerusuhan antipemerintah di negara bekas Soviet itu.
Dia mendesak para pengunjuk rasa memenuhi bagian mereka dari kesepakatan dan mengosongkan kompleks gedung pemerintah yang diduduki di Sukhumi.
Pengumuman itu menyusul delapan jam negosiasi dengan pihak oposisi pada hari Senin (18/11/2024), di mana pemerintah Bzhania berupaya menyelesaikan krisis yang meletus pekan lalu.
“Untuk menjaga stabilitas dan ketertiban konstitusional di negara ini, sesuai dengan Pasal 65 Konstitusi Republik Abkhazia, saya mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik Abkhazia,” ungkap dokumen itu, yang ditandatangani Bzhania dan diedarkan kantornya pada hari Selasa pagi.
Parlemen diperkirakan akan mempertimbangkan surat pengunduran dirinya pada akhir hari Selasa.
“Namun, jika para pengunjuk rasa menolak meninggalkan gedung pemerintah, Bzhania akan mencabut pengunduran dirinya,” ungkap pernyataan kantornya.
Berdasarkan kesepakatan dengan pihak oposisi, Perdana Menteri Aleksander Ankvab juga akan mengundurkan diri dan digantikan oleh mantan PM Valeri Bganba.
Wakil Presiden Badra Gunba akan bertindak sebagai pemimpin sementara, hingga pemilihan umum baru dilaksanakan.
Kerusuhan dimulai pekan lalu ketika parlemen Abkhazia mempertimbangkan kesepakatan dengan Moskow yang akan memungkinkan perusahaan-perusahaan Rusia melaksanakan proyek-proyek investasi di wilayah tersebut.
Pihak oposisi mengklaim kesepakatan tersebut akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi bisnis-bisnis Rusia.
Pada hari Jumat, para demonstran menyerbu gedung-gedung pemerintah, menuntut pengunduran diri Bzhania.
Beberapa orang terluka dalam bentrokan dengan polisi. Para pengunjuk rasa menolak usulan pemilihan umum lebih awal dan menolak meninggalkan kompleks pemerintah hingga Bzhania mengundurkan diri.
Bzhania awalnya menolak mengundurkan diri, dan menganggap kerusuhan itu sebagai "percobaan kudeta."
Dia menuduh lawan-lawannya menggunakan retorika yang menghasut terhadap Rusia dan terlibat dalam "pertempuran politik yang kotor" yang bertujuan merusak proses pemilihan umum.
"Mereka ingin memaksakan pilihan yang kuat kepada para pemilih kami," ujar dia dalam wawancara eksklusif dengan RT yang disiarkan pada hari Minggu. “Apakah ini upaya kudeta? Ini adalah upaya. Ini belum berakhir.”
Oposisi kemudian menuduh Bzhania berupaya menggunakan hubungan dengan Moskow untuk keuntungan pribadinya, dan menegaskan protes tersebut tidak ditujukan merusak hubungan dengan Rusia, melainkan melindungi kepentingan nasional dan sumber daya alam Abkhazia.
Republik Abkhazia di Kaukasus Selatan, yang berpenduduk sekitar 244.000 orang, memisahkan diri dari Georgia setelah perang pada awal 1990-an, dan diakui sebagai negara merdeka oleh Rusia dan beberapa negara lain pada 2008.
Georgia terus memandang Abkhazia sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.
Dia mendesak para pengunjuk rasa memenuhi bagian mereka dari kesepakatan dan mengosongkan kompleks gedung pemerintah yang diduduki di Sukhumi.
Pengumuman itu menyusul delapan jam negosiasi dengan pihak oposisi pada hari Senin (18/11/2024), di mana pemerintah Bzhania berupaya menyelesaikan krisis yang meletus pekan lalu.
“Untuk menjaga stabilitas dan ketertiban konstitusional di negara ini, sesuai dengan Pasal 65 Konstitusi Republik Abkhazia, saya mengundurkan diri dari jabatan Presiden Republik Abkhazia,” ungkap dokumen itu, yang ditandatangani Bzhania dan diedarkan kantornya pada hari Selasa pagi.
Parlemen diperkirakan akan mempertimbangkan surat pengunduran dirinya pada akhir hari Selasa.
“Namun, jika para pengunjuk rasa menolak meninggalkan gedung pemerintah, Bzhania akan mencabut pengunduran dirinya,” ungkap pernyataan kantornya.
Berdasarkan kesepakatan dengan pihak oposisi, Perdana Menteri Aleksander Ankvab juga akan mengundurkan diri dan digantikan oleh mantan PM Valeri Bganba.
Wakil Presiden Badra Gunba akan bertindak sebagai pemimpin sementara, hingga pemilihan umum baru dilaksanakan.
Kerusuhan dimulai pekan lalu ketika parlemen Abkhazia mempertimbangkan kesepakatan dengan Moskow yang akan memungkinkan perusahaan-perusahaan Rusia melaksanakan proyek-proyek investasi di wilayah tersebut.
Pihak oposisi mengklaim kesepakatan tersebut akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi bisnis-bisnis Rusia.
Pada hari Jumat, para demonstran menyerbu gedung-gedung pemerintah, menuntut pengunduran diri Bzhania.
Beberapa orang terluka dalam bentrokan dengan polisi. Para pengunjuk rasa menolak usulan pemilihan umum lebih awal dan menolak meninggalkan kompleks pemerintah hingga Bzhania mengundurkan diri.
Bzhania awalnya menolak mengundurkan diri, dan menganggap kerusuhan itu sebagai "percobaan kudeta."
Dia menuduh lawan-lawannya menggunakan retorika yang menghasut terhadap Rusia dan terlibat dalam "pertempuran politik yang kotor" yang bertujuan merusak proses pemilihan umum.
"Mereka ingin memaksakan pilihan yang kuat kepada para pemilih kami," ujar dia dalam wawancara eksklusif dengan RT yang disiarkan pada hari Minggu. “Apakah ini upaya kudeta? Ini adalah upaya. Ini belum berakhir.”
Oposisi kemudian menuduh Bzhania berupaya menggunakan hubungan dengan Moskow untuk keuntungan pribadinya, dan menegaskan protes tersebut tidak ditujukan merusak hubungan dengan Rusia, melainkan melindungi kepentingan nasional dan sumber daya alam Abkhazia.
Republik Abkhazia di Kaukasus Selatan, yang berpenduduk sekitar 244.000 orang, memisahkan diri dari Georgia setelah perang pada awal 1990-an, dan diakui sebagai negara merdeka oleh Rusia dan beberapa negara lain pada 2008.
Georgia terus memandang Abkhazia sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.
(sya)