Selandia Baru Kembali Menumbuhkan Semangat Toleransi

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 12:13 WIB
loading...
Selandia Baru Kembali...
Keluarga korban penembakan masjid berpelukan setelah pengadilan menjatuhkan vonis pada sidang kasus penembakan masjid yang menewaskan 21 orang di Christchurch, Selandia Baru, kemarin. Foto/Reuters
A A A
WELLINGTON - Selandia Baru akan memasuki babak baru setelah vonis sidang kasus penembakan masjid yang menewaskan 21 orang. Perdana Menteri (PM) Selandia Baru menyebutkan Selandia Baru merupakan negara yang bersatu.

Pengadilan Selandia Baru menjatuhkan vonis penjara seumur hidup bagi Brenton Tarrant, 29, warga Australia, yang menembak mati 51 orang dan dinyatakan bersalah dalam 40 kasus pembunuhan serta satu dakwaan terorisme. Kasus Tarrant itu terjadi pada 2019, di mana dia melakukan penembakan massal di dua masjid di Christchurch dan menyiarkan langsung melalui Facebook. Hukuman seumur hidup itu merupakan pertama kali dijatuhkan di negara tersebut. (Baca: Teroris Christchurch Divonis Penjara Seumur Hidup Tanpa Pembebasan Bersyarat)

Hakim Pengadilan Tinggi Cameron Mander mengatakan hukuman itu tidak akan cukup. “Kejahatanmu, bagaimanapun, sangat jahat meskipun kamu akan ditahan hingga kamu meninggal, itu tidak akan cukup memenuhi persyaratan hukuman,” kata Mander dilansir Reuters. “Sejauh ini saya memperhatikan, kamu tidak memiliki empati kepada korban yang kamu tembak,” katanya.

Mander mengatakan, dirinya tidak ragu bahwa Tarrant sengaja pindah dari Australia ke Selandia Baru demi menyerang komunitas Muslim. "Setiap pembunuhan adalah produk perencanaan yang lama dan penuh perhitungan, serta dilakukan dengan taraf kekejian yang tinggi dan tak berperasaan. Beberapa korban adalah anak-anak. Lainnya dibunuh selagi mereka terbaring dengan luka dan tak berdaya,” katanya. Dia mengungkapkan korban-korban penembakan telah menunjukkan ketabahan luar biasa.

Jaksa Penuntut Umum, Mark Zarifeh, mengatakan kasus ini menimbulkan bekas yang menyakitkan dan memprihatinkan pada sejarah Selandia Baru . "Jelas dia (Tarrant) adalah pembunuh terkeji di Selandia Baru,” ujarnya. (Baca juga: TikTok Akhirnya Ungkap Pengguna Aktif Global)

Penembakan tersebut menjadi trauma bagi warga Selandia Baru. Ardern pun mengatakan, tersangka penembakan tidak pernah melihat cahaya pada siang hari. “Trauma 15 Maret tidak mudah disembuhkan. Tapi, saya berharap ini merupakan aksi terakhir mendengar nama teroris,” katanya.

Ardern memuji para korban selamat dan keluarga korban yang penuh emosional memberikan kesaksian di pengadilan. Dia menyerukan Tarrant dihukum penjara seumur hidup tanpa pengampunan. “Saya ingin mengakui kekuatan komunitas Muslim kita yang berbagi kesaksian mereka dalam beberapa hari terakhir,” kata Ardern.

Tarrant yang memilih mewakili dirinya sendiri, mengatakan tidak punya pernyataan apa pun. Dia mengangguk ketika ditanya apakah dia paham bahwa dirinya punya hak untuk menyampaikan sesuatu. Seorang pengacara yang disediakan mengatakan, Tarrant bicara kepadanya bahwa dia tidak menentang hukuman dipenjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. (Baca juga: Disebut Hendak Nyapres di 2024, Gatot Nurmantyo Bilang Begini)

Sebelum vonis dijatuhkan, pengadilan menggelar sidang selama empat hari untuk mendengarkan pernyataan hampir 90 orang yang terdiri dari penyintas dan keluarga penyintas serangan di dua masjid Kota Christchurch.

Sidang pada Rabu (26/8) diwarnai derai air mata, pembacaan Alquran, dan foto-foto para korban.

"Nama saya Sara Qasem. Putri dari seorang pria yang bersinar redup... Abdelfattah Qasem - ingatlah nama itu," kata perempuan berusia 24 tersebut. Dia menceritakan saat-saat terakhir ayahnya, dengan mengatakan: "Saya bertanya-tanya apakah ia kesakitan, apakah ketakutan, dan apa yang dipikirkan di saat-saat terakhir. Dan lebih dari apapun di dunia, saya berharap saya bisa berada di sana memegang tangannya dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi saya tidak bisa melakukan itu." (Lihat videonya: Dua Kali Ditangkap Warga, Macan Tutul Jawa Dilepas Liarkan ke Habitatnya)

Kemudian Hamimah Tuyan, istri Zekeriya Tuyan, yang berjuang selama 48 hari sebelum meninggal karena luka-lukanya, mengatakan ia merindukan suaminya. "Tidak ada uang sebanyak apa pun yang dapat mengembalikan ayah dari anak-anak saya dan suami saya. Saya merindukan masakan [nya], lelucon tak lucunya yang khas bapak-bapak, dengkurannya. Dia adalah pengawal saya, penghibur saya, penenang saya, sahabat saya," katanya. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1446 seconds (0.1#10.140)