Filipina Geram China Langgar Perjanjian Perihal Bentrokan di Laut China Selatan
loading...
A
A
A
MANILA - Filipina telah menyepakati perjanjian dengan China dalam upaya mencegah bentrokan di Laut China Selatan pada Juli lalu. Namun tak lama setelah itu, Beijing dinilai telah melanggarnya, dan ketegangan antarkedua negara kembali terjadi.
“Pengalaman pahit yang dialami Filipina itu merupakan contoh nyata betapa sia-sianya bagi negara-negara dunia untuk menyepakati perjanjian bilateral dengan China seputar sengketa wilayah,” ujar pakar geopolitik wilayah Asia, Sun Lee, dalam artikel di Mizzima, Rabu (2/10/2024).
India pernah mengalaminya pada musim panas tahun 2020 ketika tentara China menduduki wilayah yang luas di perbatasan India-China di Ladakh timur yang merupakan pelanggaran berat terhadap serangkaian protokol bilateral tentang pengelolaan wilayah sengketa.
“Dan sekarang giliran Manila untuk belajar dari pengalaman pahit,” sebut Lee.
Pada pekan ketiga Juli lalu, Filipina menandatangani kesepakatan dengan China untuk mencegah bentrokan dengan Angkatan Laut China di Laut China Selatan. Kesepakatan tersebut dikatakan telah dicapai antara Filipina dan China setelah serangkaian pertemuan antara diplomat kedua negara di Manila.
Kedua negara juga telah bertukar nota diplomatik yang ditujukan pada pengaturan bersama tanpa mengakui klaim teritorial Filipina atau China di Second Thomas Shoal. Kesepakatan tersebut tidak dipublikasikan oleh kedua belah pihak.
Segera setelah penyelesaian pengaturan, personel pemerintah Filipina mengangkut makanan dan perbekalan lainnya pada 27 Juli ke kontingen Angkatan Laut Filipina di Second Thomas Shoal tanpa ditentang oleh Angkatan Laut China. Kapal Angkatan Laut China tidak lagi menggunakan meriam air untuk mencegah kapal-kapal Filipina melanjutkan perjalanan ke pulau tersebut.
Kapal-kapal China juga tidak lagi menabrak kapal-kapal Filipina. Pengiriman pasokan Filipina berjalan lancar di bawah pengawasan dan pemantauan Coast Guard China.
Namun, fase “bulan madu” antara Filipina dan China tidak berlangsung lama. Pada 19 Agustus, kapal-Coast Guard China dan Filipina kembali bertabrakan di laut, yang mengakibatkan sedikitnya dua kapal Filipina mengalami kerusakan.
Insiden kali ini mendekati “titik api” baru dalam konfrontasi yang semakin mengkhawatirkan di Laut China Selatan dekat Sabina Shoal, sebuah atol yang disengketakan di Kepulauan Spratly, tempat Vietnam dan Taiwan juga memiliki klaim yang tumpang tindih.
Asisten Direktur Jenderal Dewan Keamanan Nasional Pemerintah Filipina Jonathan Malaya menuduh Coast Guard China secara keliru mengatakan bahwa kapal Coast Guard Filipina telah menabrak kapal-kapal China.
Video dan foto, termasuk yang diambil jurnalis dari jaringan televisi Amerika Serikat yang berada di atas salah satu kapal Coast Guard Filipina, menunjukkan bahwa kapal-kapal China telah menyebabkan tabrakan tersebut.
Dua kapal Coast Guard Filipina, BRP Bagacay dan BRP Cape Engaño, menghadapi manuver yang melanggar hukum dan agresif dari kapal-kapal Coast Guard China saat dalam perjalanan menuju pulau Patag dan Lawak yang diduduki oleh pasukan Filipina, demikian pernyataan Satuan Tugas Nasional Filipina di Laut Filipina Barat.
Tabrakan dengan salah satu kapal China tersebut menciptakan sebuah lubang di dek kapal Filipina BRP Cape Engano berukuran sekitar lima inci. Kapal Filipina lainnya, BRP Bagacay, ditabrak dua kali di sisi kiri dan kanan oleh kapal China yang lain, yang mengakibatkan kerusakan struktural parah.
Ada kapal Coast Guard dan Angkatan Laut China serta 31 kapal milisi yang terlibat dalam serangan itu.
Sabina Shoal, yang terletak sekitar 140 kilometer di sebelah barat provinsi pulau Palawan di Filipina telah menjadi titik api baru dalam sengketa teritorial antara China dan Filipina di Laut China Selatan; setelah Second Thomas Shoal.
Coast Guard Filipina telah mengerahkan salah satu kapal patroli utamanya, BRP Teresa Magbanua, ke Sabina I setelah para ilmuwan Filipina menemukan tumpukan karang hancur yang terendam di perairan dangkalnya; yang menimbulkan kecurigaan bahwa China mungkin sedang mempersiapkan pembangunan struktur di atol tersebut.
Hal yang tampaknya paling membuat Filipina kesal adalah bahwa di atas kapal-kapal yang rusak itu terdapat sajian es krim untuk personel di atas BRP Teresa di peringatan Hari Pahlawan Nasional Filipina.
Pada 24 Agustus lalu, sebuah pesawat biro perikanan Filipina yang melakukan patroli rutin di Laut China Selatan diancam suar yang ditembakkan dari pangkalan pulau China.
Pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik Biro Perikanan dan Sumber Daya Perairan terbang di dekat Subi Reef ketika melihat suar ditembakkan dari atol penangkapan ikan, yang telah diubah oleh China menjadi pangkalan pulau militer.
Pesawat perikanan yang sama menjadi sasaran “gangguan” pada 19 Agustus ketika sebuah jet tempur Angkatan Udara China "terlibat dalam manuver yang tidak bertanggung jawab dan berbahaya, menyebarkan suar beberapa kali pada jarak yang sangat dekat sekitar 15 meter" di dekat Scarborough Shoal yang disengketakan, menurut Satgas Nasional Filipina.
"Jet tempur Cina tidak terprovokasi, namun tindakannya menunjukkan niat berbahaya yang membahayakan keselamatan personel di dalam pesawat BFAR,” ujar satgas tersebut.
Dalam insiden lain, pada 8 Agustus, dua jet tempur China terbang sangat dekat dan melepaskan tembakan suar di jalur pesawat patroli Angkatan Udara Filipina di dekat Beting Scarborough.
Jadi, walau Beijing telah menandatangani kesepakatan dengan Manila untuk Second Thomas Shoal, pasukan China memusatkan perhatian pada area lain di Laut China Selatan untuk mengancam pasukan Filipina.
Pengalaman pahit Filipina telah menghancurkan harapan bahwa negara lain dapat mengadakan pengaturan serupa dengan Beijing untuk mengelola sengketa teritorial mereka. India, tentu saja, telah mempelajari pelajaran pahit itu jauh lebih awal.
“China adalah pengganggu perdamaian internasional terbesar di Asia Tenggara,” ucap Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro Jr pada 27 Agustus di sebuah konferensi internasional di Manila yang diadakan oleh Komando Indo-Pasifik AS—lebih dari sebulan setelah Manila menandatangani kesepakatan damai dengan Beijing.
Filipina sebenarnya tidak terbuai dalam rasa puas diri setelah menandatangani kesepakatan dengan Beijing atas Second Thomas Shoal. Pada 30 Juli, Filipina menyetujui pendanaan militer sebesar USD500 juta dari AS untuk meningkatkan pertahanan Filipina dan kemajuan pada pakta pembagian intelijen militer yang diusulkan.
Kedua sekutu tersebut kembali mengkhawatirkan tindakan agresif China yang terus berlanjut di kawasan tersebut. Pendanaan militer akan mencakup anggaran untuk memperkuat kemampuan Angkatan Laut Filipina.
Sekitar USD125 juta akan digunakan untuk pembangunan dan perbaikan lainnya di beberapa bagian pangkalan militer Filipina yang akan diduduki pasukan AS berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan tahun 2014.
“Republik Rakyat China tidak akan berhenti dan kami juga bertekad,” kata Duta Besar Filipina untuk AS Jose Manuel Romualdez di kesempatan tersebut.
Sekarang setelah serangkaian tindakan permusuhan terbaru oleh pasukan China terhadap kapal dan pesawat Filipina di Laut China Selatan. Kepala Komando Indo-Pasifik AS Laksamana Samuel Paparo telah meyakinkan bahwa pasukan AS siap dengan “berbagai pilihan” untuk menghadapi meningkatnya tindakan agresi di Laut China Selatan, menurut laporan Navy Times.
Militer AS terbuka untuk mengawal kapal-kapal Filipina di Laut China Selatan, kata Paparo, tetapi belum mengungkapkan rincian opsi lainnya.
Beijing telah menggunakan alasan AS mengerahkan sistem rudal jarak menengah di Filipina utara untuk manuver agresif oleh Angkatan Laut China, meski Manila telah menjelaskan bahwa pengerahan tersebut bersifat sementara.
Militer AS juga telah mengatakan bahwa sistem Rudal Standar jarak menengah-6 dan Rudal Serang Darat Tomahawk telah dikerahkan sebagai bagian dari latihan tempur gabungan dengan pasukan Filipina. Sistem senjata tersebut tidak ditembakkan selama latihan dan akan diangkut keluar dari Filipina dalam waktu satu bulan.
“Pengalaman pahit yang dialami Filipina itu merupakan contoh nyata betapa sia-sianya bagi negara-negara dunia untuk menyepakati perjanjian bilateral dengan China seputar sengketa wilayah,” ujar pakar geopolitik wilayah Asia, Sun Lee, dalam artikel di Mizzima, Rabu (2/10/2024).
India pernah mengalaminya pada musim panas tahun 2020 ketika tentara China menduduki wilayah yang luas di perbatasan India-China di Ladakh timur yang merupakan pelanggaran berat terhadap serangkaian protokol bilateral tentang pengelolaan wilayah sengketa.
“Dan sekarang giliran Manila untuk belajar dari pengalaman pahit,” sebut Lee.
Pada pekan ketiga Juli lalu, Filipina menandatangani kesepakatan dengan China untuk mencegah bentrokan dengan Angkatan Laut China di Laut China Selatan. Kesepakatan tersebut dikatakan telah dicapai antara Filipina dan China setelah serangkaian pertemuan antara diplomat kedua negara di Manila.
Kedua negara juga telah bertukar nota diplomatik yang ditujukan pada pengaturan bersama tanpa mengakui klaim teritorial Filipina atau China di Second Thomas Shoal. Kesepakatan tersebut tidak dipublikasikan oleh kedua belah pihak.
Segera setelah penyelesaian pengaturan, personel pemerintah Filipina mengangkut makanan dan perbekalan lainnya pada 27 Juli ke kontingen Angkatan Laut Filipina di Second Thomas Shoal tanpa ditentang oleh Angkatan Laut China. Kapal Angkatan Laut China tidak lagi menggunakan meriam air untuk mencegah kapal-kapal Filipina melanjutkan perjalanan ke pulau tersebut.
Kapal-kapal China juga tidak lagi menabrak kapal-kapal Filipina. Pengiriman pasokan Filipina berjalan lancar di bawah pengawasan dan pemantauan Coast Guard China.
“Titik Api” Baru
Namun, fase “bulan madu” antara Filipina dan China tidak berlangsung lama. Pada 19 Agustus, kapal-Coast Guard China dan Filipina kembali bertabrakan di laut, yang mengakibatkan sedikitnya dua kapal Filipina mengalami kerusakan.
Insiden kali ini mendekati “titik api” baru dalam konfrontasi yang semakin mengkhawatirkan di Laut China Selatan dekat Sabina Shoal, sebuah atol yang disengketakan di Kepulauan Spratly, tempat Vietnam dan Taiwan juga memiliki klaim yang tumpang tindih.
Asisten Direktur Jenderal Dewan Keamanan Nasional Pemerintah Filipina Jonathan Malaya menuduh Coast Guard China secara keliru mengatakan bahwa kapal Coast Guard Filipina telah menabrak kapal-kapal China.
Video dan foto, termasuk yang diambil jurnalis dari jaringan televisi Amerika Serikat yang berada di atas salah satu kapal Coast Guard Filipina, menunjukkan bahwa kapal-kapal China telah menyebabkan tabrakan tersebut.
Dua kapal Coast Guard Filipina, BRP Bagacay dan BRP Cape Engaño, menghadapi manuver yang melanggar hukum dan agresif dari kapal-kapal Coast Guard China saat dalam perjalanan menuju pulau Patag dan Lawak yang diduduki oleh pasukan Filipina, demikian pernyataan Satuan Tugas Nasional Filipina di Laut Filipina Barat.
Tabrakan dengan salah satu kapal China tersebut menciptakan sebuah lubang di dek kapal Filipina BRP Cape Engano berukuran sekitar lima inci. Kapal Filipina lainnya, BRP Bagacay, ditabrak dua kali di sisi kiri dan kanan oleh kapal China yang lain, yang mengakibatkan kerusakan struktural parah.
Ada kapal Coast Guard dan Angkatan Laut China serta 31 kapal milisi yang terlibat dalam serangan itu.
Sabina Shoal, yang terletak sekitar 140 kilometer di sebelah barat provinsi pulau Palawan di Filipina telah menjadi titik api baru dalam sengketa teritorial antara China dan Filipina di Laut China Selatan; setelah Second Thomas Shoal.
Coast Guard Filipina telah mengerahkan salah satu kapal patroli utamanya, BRP Teresa Magbanua, ke Sabina I setelah para ilmuwan Filipina menemukan tumpukan karang hancur yang terendam di perairan dangkalnya; yang menimbulkan kecurigaan bahwa China mungkin sedang mempersiapkan pembangunan struktur di atol tersebut.
Hal yang tampaknya paling membuat Filipina kesal adalah bahwa di atas kapal-kapal yang rusak itu terdapat sajian es krim untuk personel di atas BRP Teresa di peringatan Hari Pahlawan Nasional Filipina.
Pengganggu Perdamaian Terbesar
Pada 24 Agustus lalu, sebuah pesawat biro perikanan Filipina yang melakukan patroli rutin di Laut China Selatan diancam suar yang ditembakkan dari pangkalan pulau China.
Pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik Biro Perikanan dan Sumber Daya Perairan terbang di dekat Subi Reef ketika melihat suar ditembakkan dari atol penangkapan ikan, yang telah diubah oleh China menjadi pangkalan pulau militer.
Pesawat perikanan yang sama menjadi sasaran “gangguan” pada 19 Agustus ketika sebuah jet tempur Angkatan Udara China "terlibat dalam manuver yang tidak bertanggung jawab dan berbahaya, menyebarkan suar beberapa kali pada jarak yang sangat dekat sekitar 15 meter" di dekat Scarborough Shoal yang disengketakan, menurut Satgas Nasional Filipina.
"Jet tempur Cina tidak terprovokasi, namun tindakannya menunjukkan niat berbahaya yang membahayakan keselamatan personel di dalam pesawat BFAR,” ujar satgas tersebut.
Dalam insiden lain, pada 8 Agustus, dua jet tempur China terbang sangat dekat dan melepaskan tembakan suar di jalur pesawat patroli Angkatan Udara Filipina di dekat Beting Scarborough.
Jadi, walau Beijing telah menandatangani kesepakatan dengan Manila untuk Second Thomas Shoal, pasukan China memusatkan perhatian pada area lain di Laut China Selatan untuk mengancam pasukan Filipina.
Pengalaman pahit Filipina telah menghancurkan harapan bahwa negara lain dapat mengadakan pengaturan serupa dengan Beijing untuk mengelola sengketa teritorial mereka. India, tentu saja, telah mempelajari pelajaran pahit itu jauh lebih awal.
“China adalah pengganggu perdamaian internasional terbesar di Asia Tenggara,” ucap Menteri Pertahanan Filipina Gilberto Teodoro Jr pada 27 Agustus di sebuah konferensi internasional di Manila yang diadakan oleh Komando Indo-Pasifik AS—lebih dari sebulan setelah Manila menandatangani kesepakatan damai dengan Beijing.
Kehadiran AS di Filipina
Filipina sebenarnya tidak terbuai dalam rasa puas diri setelah menandatangani kesepakatan dengan Beijing atas Second Thomas Shoal. Pada 30 Juli, Filipina menyetujui pendanaan militer sebesar USD500 juta dari AS untuk meningkatkan pertahanan Filipina dan kemajuan pada pakta pembagian intelijen militer yang diusulkan.
Kedua sekutu tersebut kembali mengkhawatirkan tindakan agresif China yang terus berlanjut di kawasan tersebut. Pendanaan militer akan mencakup anggaran untuk memperkuat kemampuan Angkatan Laut Filipina.
Sekitar USD125 juta akan digunakan untuk pembangunan dan perbaikan lainnya di beberapa bagian pangkalan militer Filipina yang akan diduduki pasukan AS berdasarkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan tahun 2014.
“Republik Rakyat China tidak akan berhenti dan kami juga bertekad,” kata Duta Besar Filipina untuk AS Jose Manuel Romualdez di kesempatan tersebut.
Sekarang setelah serangkaian tindakan permusuhan terbaru oleh pasukan China terhadap kapal dan pesawat Filipina di Laut China Selatan. Kepala Komando Indo-Pasifik AS Laksamana Samuel Paparo telah meyakinkan bahwa pasukan AS siap dengan “berbagai pilihan” untuk menghadapi meningkatnya tindakan agresi di Laut China Selatan, menurut laporan Navy Times.
Militer AS terbuka untuk mengawal kapal-kapal Filipina di Laut China Selatan, kata Paparo, tetapi belum mengungkapkan rincian opsi lainnya.
Beijing telah menggunakan alasan AS mengerahkan sistem rudal jarak menengah di Filipina utara untuk manuver agresif oleh Angkatan Laut China, meski Manila telah menjelaskan bahwa pengerahan tersebut bersifat sementara.
Militer AS juga telah mengatakan bahwa sistem Rudal Standar jarak menengah-6 dan Rudal Serang Darat Tomahawk telah dikerahkan sebagai bagian dari latihan tempur gabungan dengan pasukan Filipina. Sistem senjata tersebut tidak ditembakkan selama latihan dan akan diangkut keluar dari Filipina dalam waktu satu bulan.
(mas)