Benarkah Iran dan Irak Bermusuhan? Ini Faktanya
loading...
A
A
A
TEHERAN - Benarkah Iran dan Irak bermusuhan? Pertanyaan semacam ini mungkin pernah terlintas di benak seseorang tanpa disengaja karena merasa penasaran.
Pada satu sisi, Iran dan Iran memiliki sejumlah kesamaan. Bahkan, wilayah keduanya juga cukup berdekatan satu sama lainnya.
Namun, di sisi lain kedua negara juga memiliki riwayat yang kurang menyenangkan. Selain perbedaan aliran agama Islam di sana, ada sejumlah faktor lain yang menjadikan Iran dan Irak saling bermusuhan di masa lalu.
Terlepas dari itu, bagaimana kondisi hubungan Iran dan Irak untuk saat ini? Berikut ulasannya.
Melihat lanskap geopolitik Timur Tengah yang kompleks, pergeseran atau perubahan hubungan Iran dan Irak menjadi salah satu pembahasan yang menarik diulik. Secara historis, keduanya ditakdirkan saling terhubung dalam berbagai peristiwa yang menentukan.
Mengutip MiddleEastCouncil, sejarah mencatat bahwa hubungan budaya dan agama di Iran dan Irak telah terjalin selama berabad-abad. Selain itu, keduanya bahkan pernah berbagi perbatasan sepanjang hampir 1.000 mil.
Pada satu kondisi, Teheran dan Baghdad pernah terlibat sengketa teritorial, tepatnya terkait batas sungai Shatt al-Arab yang strategis untuk jalur ekspor minyak. Waktu itu, konflik berhasil diredam usai Presiden Aljazair Houari Boumediene memfasilitasi penandatanganan Perjanjian Aljazair 1975.
Namun, kondisi berubah setelah pembentukan Republik Islam di bawah Ayatollah Khomeini. Momen itu menandai pergeseran ideologis yang mendalam bagi Iran dari awalnya monarki sekuler menjadi rezim teokratis yang anti-Barat.
Beberapa waktu berlalu, keretakan Perjanjian Aljazair mulai terlihat setelah Iran menarik duta besarnya dari Irak pada Maret 1980.
Bulan depannya, terjadi upaya pembunuhan terhadap Menteri Luar Negeri Irak Tariq Aziz dan Menteri Kebudayaan dan Informasi Latif Nusseif al-Jasim yang dikaitkan dengan agen Iran.
Pada akhirnya, bentrokan di sepanjang perbatasan Irak-Iran meningkat dan menandakan peningkatan yang jelas dalam permusuhan.
Titik baliknya terjadi pada 17 September ketika Irak membatalkan Perjanjian Aljazair 1975 dengan mendeklarasikan kedaulatan penuh atas jalur air Shatt al-Arab.
Sebagai tanggapan, pasukan Irak menyerbu Iran, sehingga memicu perang berkepanjangan. Para pengamat menganggap konflik tersebut sebagai perebutan dominasi antara dua rezim yang bersaing di Timur Tengah.
Hasilnya, Iran memang tidak muncul sebagai pemenang yang jelas dalam perang itu. Namun, ketika penggulingan Saddam Hussein oleh Amerika Serikat pada 2003 dan kebangkitan partai politik serta milisi Syiah di Irak, hal tersebut dianggap sebagai ganjaran atas pengorbanan yang dilakukan selama perang dari tahun 1980–1988.
Pada sisi lain, gejolak di Irak juga mengawali transformasi signifikan dalam hubungan Teheran dan Baghdad. Jatuhnya rezim Saddam Hussein membuka jalan baru untuk Iran dalam memperluas pengaruhnya di negara tetangga.
Teheran mencoba kekosongan kekuasaan yang terjadi dengan menjalin hubungan bersama entitas politik Irak untuk memajukan kepentingan strategisnya. Menariknya, golongan yang dibentuk waktu itu telah memegang pengaruh substansial dalam lanskap politik di Baghdad saat ini.
Setelah periode tersebut, Irak juga berubah dari musuh menjadi penyangga strategis untuk Iran terhadap berbagai ancaman. Bukan hanya dari ekstremis Sunni, tetapi juga potensi agresi militer atau tekanan politik dari kekuatan Barat.
Sejak itu, hubungan Iran-Irak telah mengalami kemajuan pesat. Bukan hanya soal diplomatik, namun juga pembangunan negara.
Sebagaimana diketahui, Iran telah memainkan peran penting dalam rekonstruksi Irak sejak jatuhnya Saddam Hussein. Teheran membantu memfasilitasi kebutuhan ekspor ataupun impor dari Baghdad hingga menghadirkan serangkaian perjanjian yang menguntungkan kedua pihak.
Maka dari itu, tak heran apabila Irak kini menjadi mitra berharga yang berfungsi sebagai pasar penting bagi barang-barang Iran seperti listrik hingga gas.
Contoh mudahnya, mereka menjadi jalur penyelamat ekonomi Teheran setelah pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump memberlakukan sanksi keuangan dan ekonomi yang berat.
Selain ranah keamanan dan ekonomi, Irak juga menjadi teman berharga yang memfasilitasi pengaruh Iran. Dalam hal ini, Irak menjadi rumah bagi warisan Muslim Syiah, sehingga menjadikannya pusat kunjungan bagi peziarah dari Iran.
Jadi, terjawab sudah pertanyaan mengenai “Benarkah Iran dan Irak bermusuhan?” Jawabannya adalah pernah, tetapi sudah berlalu.
Pada perkembangannya, kedua negara telah beralih membangun hubungan harmonis dan masih terus bertahan sampai sekarang.
Pada satu sisi, Iran dan Iran memiliki sejumlah kesamaan. Bahkan, wilayah keduanya juga cukup berdekatan satu sama lainnya.
Namun, di sisi lain kedua negara juga memiliki riwayat yang kurang menyenangkan. Selain perbedaan aliran agama Islam di sana, ada sejumlah faktor lain yang menjadikan Iran dan Irak saling bermusuhan di masa lalu.
Terlepas dari itu, bagaimana kondisi hubungan Iran dan Irak untuk saat ini? Berikut ulasannya.
Benarkah Iran dan Irak Bermusuhan?
Melihat lanskap geopolitik Timur Tengah yang kompleks, pergeseran atau perubahan hubungan Iran dan Irak menjadi salah satu pembahasan yang menarik diulik. Secara historis, keduanya ditakdirkan saling terhubung dalam berbagai peristiwa yang menentukan.
Mengutip MiddleEastCouncil, sejarah mencatat bahwa hubungan budaya dan agama di Iran dan Irak telah terjalin selama berabad-abad. Selain itu, keduanya bahkan pernah berbagi perbatasan sepanjang hampir 1.000 mil.
Pada satu kondisi, Teheran dan Baghdad pernah terlibat sengketa teritorial, tepatnya terkait batas sungai Shatt al-Arab yang strategis untuk jalur ekspor minyak. Waktu itu, konflik berhasil diredam usai Presiden Aljazair Houari Boumediene memfasilitasi penandatanganan Perjanjian Aljazair 1975.
Namun, kondisi berubah setelah pembentukan Republik Islam di bawah Ayatollah Khomeini. Momen itu menandai pergeseran ideologis yang mendalam bagi Iran dari awalnya monarki sekuler menjadi rezim teokratis yang anti-Barat.
Beberapa waktu berlalu, keretakan Perjanjian Aljazair mulai terlihat setelah Iran menarik duta besarnya dari Irak pada Maret 1980.
Bulan depannya, terjadi upaya pembunuhan terhadap Menteri Luar Negeri Irak Tariq Aziz dan Menteri Kebudayaan dan Informasi Latif Nusseif al-Jasim yang dikaitkan dengan agen Iran.
Pada akhirnya, bentrokan di sepanjang perbatasan Irak-Iran meningkat dan menandakan peningkatan yang jelas dalam permusuhan.
Titik baliknya terjadi pada 17 September ketika Irak membatalkan Perjanjian Aljazair 1975 dengan mendeklarasikan kedaulatan penuh atas jalur air Shatt al-Arab.
Sebagai tanggapan, pasukan Irak menyerbu Iran, sehingga memicu perang berkepanjangan. Para pengamat menganggap konflik tersebut sebagai perebutan dominasi antara dua rezim yang bersaing di Timur Tengah.
Hasilnya, Iran memang tidak muncul sebagai pemenang yang jelas dalam perang itu. Namun, ketika penggulingan Saddam Hussein oleh Amerika Serikat pada 2003 dan kebangkitan partai politik serta milisi Syiah di Irak, hal tersebut dianggap sebagai ganjaran atas pengorbanan yang dilakukan selama perang dari tahun 1980–1988.
Pada sisi lain, gejolak di Irak juga mengawali transformasi signifikan dalam hubungan Teheran dan Baghdad. Jatuhnya rezim Saddam Hussein membuka jalan baru untuk Iran dalam memperluas pengaruhnya di negara tetangga.
Teheran mencoba kekosongan kekuasaan yang terjadi dengan menjalin hubungan bersama entitas politik Irak untuk memajukan kepentingan strategisnya. Menariknya, golongan yang dibentuk waktu itu telah memegang pengaruh substansial dalam lanskap politik di Baghdad saat ini.
Setelah periode tersebut, Irak juga berubah dari musuh menjadi penyangga strategis untuk Iran terhadap berbagai ancaman. Bukan hanya dari ekstremis Sunni, tetapi juga potensi agresi militer atau tekanan politik dari kekuatan Barat.
Sejak itu, hubungan Iran-Irak telah mengalami kemajuan pesat. Bukan hanya soal diplomatik, namun juga pembangunan negara.
Sebagaimana diketahui, Iran telah memainkan peran penting dalam rekonstruksi Irak sejak jatuhnya Saddam Hussein. Teheran membantu memfasilitasi kebutuhan ekspor ataupun impor dari Baghdad hingga menghadirkan serangkaian perjanjian yang menguntungkan kedua pihak.
Maka dari itu, tak heran apabila Irak kini menjadi mitra berharga yang berfungsi sebagai pasar penting bagi barang-barang Iran seperti listrik hingga gas.
Contoh mudahnya, mereka menjadi jalur penyelamat ekonomi Teheran setelah pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump memberlakukan sanksi keuangan dan ekonomi yang berat.
Selain ranah keamanan dan ekonomi, Irak juga menjadi teman berharga yang memfasilitasi pengaruh Iran. Dalam hal ini, Irak menjadi rumah bagi warisan Muslim Syiah, sehingga menjadikannya pusat kunjungan bagi peziarah dari Iran.
Jadi, terjawab sudah pertanyaan mengenai “Benarkah Iran dan Irak bermusuhan?” Jawabannya adalah pernah, tetapi sudah berlalu.
Pada perkembangannya, kedua negara telah beralih membangun hubungan harmonis dan masih terus bertahan sampai sekarang.
(sya)