Industri Sistem Pengawasan China Merajalela, Negara-negara Afrika Patut Waspada
loading...
A
A
A
ADDIS ABABA - Industri sistem pengawasan China telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, baik di dalam negeri maupun di level global.
Dengan kemajuan teknologi luar biasa yang dicapai dalam beberapa dekade terakhir, industri sistem pengawasan China telah berhasil mengintegrasikan perusahaan-perusahaan lokal untuk memainkan peran penting dalam ambisi pengawasan global, menurut laporan PML Global, Selasa (27/8/2024).
Selain menggunakan teknologi pengawasan terhadap penduduknya sendiri, Partai Komunis China (CCP) telah menggunakan strategi-strategi ini untuk meredam perbedaan pendapat di berbagai negara.
Dengan tindakan-tindakan represif seperti mencampuri urusan dalam negeri negara-negara berdaulat secara langsung dan memata-matai pejabat pemerintah, CCP berupaya memimpin gerakan pengawasan global menuju supremasi.
Sistem pengawasan di China telah berubah dari buruk menjadi lebih buruk, dengan otoritas terkait menunjukkan pendekatan sewenang-wenang terhadap setiap pelanggar pembatasan yang telah diberlakukan di dalam negeri.
Pendekatan keras oleh pemerintah di wilayah-wilayah seperti Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong telah menanamkan rasa takut dan marah di kalangan rakyat, dan telah membuat jutaan orang dalam kesusahan.
Ada pula kekhawatiran bahwa metode pengawasan China berupaya memperkuat praktik diskriminatif dan praktik profiling berdasarkan faktor-faktor seperti etnis, agama, dan yang lebih penting lagi keyakinan politik.
Anggota-anggota kelompok minoritas seperti Muslim Uighur di Xinjiang dan biksu Buddha di Tibet juga telah ditahan berdasarkan praktik-praktik tersebut yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kekhawatiran yang meluas tentang penindasan budaya dan agama di bawah kepemimpinan China saat ini.
Selama ini, China telah berupaya menggunakan berbagai metode untuk terus melakukan pengawasan dengan intensitas tinggi terhadap warga negara yang dianggap memberontak.
Telah tercatat dengan baik bahwa sejak tahun 1990, Dewan Negara China menyetujui sebuah inisiatif untuk membangun sistem informasi nasional yang mencakup program Golden Shield.
Inisiatif tersebut diluncurkan pada 1998 dengan tujuan utama menciptakan sektor keamanan publik yang sepenuhnya digital melalui jaringan pengawasan nasional yang meningkatkan kemampuan negara dalam domain keamanan.
Meski secara resmi dinyatakan dirancang untuk menangani kejahatan di China, namun kenyataannya jaringan pengawasan itu telah digunakan untuk tujuan lain.
Upaya China untuk mempercepat kemampuan dan teknologi pemantauan tidak secara khusus ditujukan untuk tujuan domestik. CCP terus-menerus bekerja sama dengan perusahaan teknologi domestik untuk mengekspor teknologi ini ke negara-negara terbelakang dan berkembang yang tampaknya mendukung Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI).
Saat ini, sejumlah perusahaan China telah memasok teknologi pengawasan AI (artificial intelligence) ke 36 negara yang telah mendaftar untuk proyek BRI, sebagian besar di Afrika dan Eropa.
Kasus entitas China yang mencuri data sensitif dari gedung Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia adalah pelajaran yang harus dipelajari semua negara Afrika dan Eropa yang telah memasang peralatan tersebut dari perusahaan China.
Selain itu, dalam sebuah laporan yang diterbitkan Heritage Foundation, terungkap bahwa China telah membangun dan merenovasi sekitar 186 gedung pemerintahan, 24 gedung kepresidenan, 26 gedung parlemen dan kantor parlemen, 32 kantor militer, beserta banyak infrastruktur lain yang sangat sensitif di Afrika.
Lebih jauh, China juga telah memfasilitasi jaringan 4G di Afrika yang 70 persennya telah dibangun, dan Beijing berencana untuk segera menyebarkan jaringan 5G ke seluruh benua tersebut.
Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian yang mengkhawatirkan bagi semua negara besar yang telah bermitra dengan China dalam praktik pembangunan seperti itu, karena niat China tidak selalu bersahabat.
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan China telah bermitra dengan pemerintah daerah di berbagai negara Afrika untuk transfer teknologi.
Di Zimbabwe, misalnya, pemerintahnya telah bekerja sama dengan Cloud Walk, sebuah perusahaan teknologi yang berbasis di Guangzhou, China, untuk menerapkan program pengenalan wajah berskala besar.
Inisiatif ini telah menuai kritik signifikan dari para aktivis hak asasi manusia, yang berpendapat bahwa berkolaborasi dengan perusahaan China menimbulkan risiko besar terhadap keamanan data warga negara dan perlindungan informasi biometrik, yang dapat dieksploitasi oleh otoritas China.
Demikian pula di Uganda, di mana pihak kepolisian memperoleh sistem CCTV yang mendukung AI dari Huawei asal China yang menimbulkan kekhawatiran di antara warga dan aktivis setempat.
Kekhawatiran ini berakar pada penyalahgunaan teknologi pengenalan wajah, yang dilaporkan telah menyebabkan lebih dari 836 pendukung pemimpin oposisi Bobi Wine dipenjara.
Situasi ini telah menimbulkan pertanyaan serius tentang niat sebenarnya dari keterlibatan China, dengan banyak yang menyatakan bahwa tujuan China mungkin untuk mengeksploitasi persaingan politik lokal daripada mengatasi meningkatnya angka kejahatan, yang merupakan pembenaran awal program tersebut.
Teknologi digital China telah membekali pemerintah otoriter di Afrika dengan alat untuk memantau oposisi dan menekan perbedaan pendapat. Kurangnya peraturan ketat yang mengatur teknologi digital di Afrika telah membuat negara-negara ini rentan terhadap praktik pengawasan invasif, yang berpotensi menyebabkan erosi hak-hak warga negara.
Jadi, sangat penting bagi kedaulatan negara-negara di Afrika agar praktik semacam itu tetap terkendali, terutama mengingat sejarah China dalam menggunakan infrastruktur pengawasannya untuk tujuan spionase.
Dengan kemajuan teknologi luar biasa yang dicapai dalam beberapa dekade terakhir, industri sistem pengawasan China telah berhasil mengintegrasikan perusahaan-perusahaan lokal untuk memainkan peran penting dalam ambisi pengawasan global, menurut laporan PML Global, Selasa (27/8/2024).
Selain menggunakan teknologi pengawasan terhadap penduduknya sendiri, Partai Komunis China (CCP) telah menggunakan strategi-strategi ini untuk meredam perbedaan pendapat di berbagai negara.
Dengan tindakan-tindakan represif seperti mencampuri urusan dalam negeri negara-negara berdaulat secara langsung dan memata-matai pejabat pemerintah, CCP berupaya memimpin gerakan pengawasan global menuju supremasi.
Sistem pengawasan di China telah berubah dari buruk menjadi lebih buruk, dengan otoritas terkait menunjukkan pendekatan sewenang-wenang terhadap setiap pelanggar pembatasan yang telah diberlakukan di dalam negeri.
Pendekatan keras oleh pemerintah di wilayah-wilayah seperti Xinjiang, Tibet, dan Hong Kong telah menanamkan rasa takut dan marah di kalangan rakyat, dan telah membuat jutaan orang dalam kesusahan.
Ada pula kekhawatiran bahwa metode pengawasan China berupaya memperkuat praktik diskriminatif dan praktik profiling berdasarkan faktor-faktor seperti etnis, agama, dan yang lebih penting lagi keyakinan politik.
Anggota-anggota kelompok minoritas seperti Muslim Uighur di Xinjiang dan biksu Buddha di Tibet juga telah ditahan berdasarkan praktik-praktik tersebut yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kekhawatiran yang meluas tentang penindasan budaya dan agama di bawah kepemimpinan China saat ini.
Selama ini, China telah berupaya menggunakan berbagai metode untuk terus melakukan pengawasan dengan intensitas tinggi terhadap warga negara yang dianggap memberontak.
Telah tercatat dengan baik bahwa sejak tahun 1990, Dewan Negara China menyetujui sebuah inisiatif untuk membangun sistem informasi nasional yang mencakup program Golden Shield.
Inisiatif tersebut diluncurkan pada 1998 dengan tujuan utama menciptakan sektor keamanan publik yang sepenuhnya digital melalui jaringan pengawasan nasional yang meningkatkan kemampuan negara dalam domain keamanan.
Meski secara resmi dinyatakan dirancang untuk menangani kejahatan di China, namun kenyataannya jaringan pengawasan itu telah digunakan untuk tujuan lain.
Strategi China di Afrika
Upaya China untuk mempercepat kemampuan dan teknologi pemantauan tidak secara khusus ditujukan untuk tujuan domestik. CCP terus-menerus bekerja sama dengan perusahaan teknologi domestik untuk mengekspor teknologi ini ke negara-negara terbelakang dan berkembang yang tampaknya mendukung Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI).
Saat ini, sejumlah perusahaan China telah memasok teknologi pengawasan AI (artificial intelligence) ke 36 negara yang telah mendaftar untuk proyek BRI, sebagian besar di Afrika dan Eropa.
Kasus entitas China yang mencuri data sensitif dari gedung Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia adalah pelajaran yang harus dipelajari semua negara Afrika dan Eropa yang telah memasang peralatan tersebut dari perusahaan China.
Selain itu, dalam sebuah laporan yang diterbitkan Heritage Foundation, terungkap bahwa China telah membangun dan merenovasi sekitar 186 gedung pemerintahan, 24 gedung kepresidenan, 26 gedung parlemen dan kantor parlemen, 32 kantor militer, beserta banyak infrastruktur lain yang sangat sensitif di Afrika.
Lebih jauh, China juga telah memfasilitasi jaringan 4G di Afrika yang 70 persennya telah dibangun, dan Beijing berencana untuk segera menyebarkan jaringan 5G ke seluruh benua tersebut.
Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian yang mengkhawatirkan bagi semua negara besar yang telah bermitra dengan China dalam praktik pembangunan seperti itu, karena niat China tidak selalu bersahabat.
Tujuan Spionase
Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan China telah bermitra dengan pemerintah daerah di berbagai negara Afrika untuk transfer teknologi.
Di Zimbabwe, misalnya, pemerintahnya telah bekerja sama dengan Cloud Walk, sebuah perusahaan teknologi yang berbasis di Guangzhou, China, untuk menerapkan program pengenalan wajah berskala besar.
Inisiatif ini telah menuai kritik signifikan dari para aktivis hak asasi manusia, yang berpendapat bahwa berkolaborasi dengan perusahaan China menimbulkan risiko besar terhadap keamanan data warga negara dan perlindungan informasi biometrik, yang dapat dieksploitasi oleh otoritas China.
Demikian pula di Uganda, di mana pihak kepolisian memperoleh sistem CCTV yang mendukung AI dari Huawei asal China yang menimbulkan kekhawatiran di antara warga dan aktivis setempat.
Kekhawatiran ini berakar pada penyalahgunaan teknologi pengenalan wajah, yang dilaporkan telah menyebabkan lebih dari 836 pendukung pemimpin oposisi Bobi Wine dipenjara.
Situasi ini telah menimbulkan pertanyaan serius tentang niat sebenarnya dari keterlibatan China, dengan banyak yang menyatakan bahwa tujuan China mungkin untuk mengeksploitasi persaingan politik lokal daripada mengatasi meningkatnya angka kejahatan, yang merupakan pembenaran awal program tersebut.
Teknologi digital China telah membekali pemerintah otoriter di Afrika dengan alat untuk memantau oposisi dan menekan perbedaan pendapat. Kurangnya peraturan ketat yang mengatur teknologi digital di Afrika telah membuat negara-negara ini rentan terhadap praktik pengawasan invasif, yang berpotensi menyebabkan erosi hak-hak warga negara.
Jadi, sangat penting bagi kedaulatan negara-negara di Afrika agar praktik semacam itu tetap terkendali, terutama mengingat sejarah China dalam menggunakan infrastruktur pengawasannya untuk tujuan spionase.
(mas)