Analis: Filipina Akan Jadi Target Jika AS dan China Perang Nuklir

Senin, 26 Agustus 2024 - 15:02 WIB
loading...
Analis: Filipina Akan...
Para analis memperingatkan Filipina bisa menjadi target jika AS dan China perang nuklir. Foto/Global Times
A A A
MANILA - Para analis memperingatkan bahwa Filipina berada di garis bidik potensi pertikaian nuklir antara Amerika Serikat (AS) di satu sisi dan China, Rusia, dan Korea Utara (Korut), di sisi lain.

Mereka lantas mendesak pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr untuk mengkalibrasi ulang kebijakan luar negerinya.

Sebuah laporan yang tidak menyenangkan muncul minggu lalu bahwa Presiden AS Joe Biden sudah menyusun strategi perang nuklir yang sangat rahasia untuk mengatasi China.

Filipina, dengan lokasinya yang strategis dan hubungan militer yang erat dengan AS, secara luas dipandang sebagai target yang mungkin jika konflik dahsyat seperti itu pecah.

"Terlepas dari [apakah itu] ancaman langsung atau tidak, kami akan terkena dampaknya," kata Ramon Beleno III, kepala departemen ilmu politik dan sejarah di Universitas Ateneo De Davao di Filipina.



"Bahkan jika mereka menyerang Taiwan, karena kedekatan kami...kami akan menjadi sasaran," ujarnya, seperti dikutip South China Morning Post, Senin (26/8/2024).

Beleno mengatakan Manila mengizinkan AS mengakses kamp militernya dan menyebarkan sistem rudal baru di negara itu merupakan faktor yang memberatkan.

Penilaiannya yang mengerikan menggarisbawahi posisi genting yang dialami Filipina saat ini.

Meskipun jaminan keamanan Washington telah lama menawarkan pencegahan terhadap calon agresor, jaminan itu juga telah menempatkan negara kepulauan tersebut tepat di garis bidik pertikaian negara adidaya dengan taruhan yang mengerikan.

Beleno mendesak Manila untuk "menahan diri dari memihak" dalam bentrokan raksasa nuklir yang mengancam tersebut.

"Jika ada pihak yang bisa kami pilih, itu adalah pihak perdamaian," katanya.

“Jika Anda menggunakan senjata nuklir, senjata itu tidak hanya akan menghantam musuh Anda, tetapi juga akan menghancurkan kami semua.”

Joshua Espena, peneliti tetap dan wakil presiden lembaga think tank International Development and Security Cooperation, mengatakan jika terjadi pertikaian nuklir, China kemungkinan akan melancarkan serangkaian serangan taktis terhadap target militer utama di Filipina seperti fasilitas, landasan pacu, dan galangan kapal.

“Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) kemungkinan akan memasang umpan pada sinyal yang diterima dalam liputan intelijen, pengawasan, dan pengintaian aliansi,” kata Espeña kepada This Week in Asia.

“Jadi, Manila perlu memperkuat ISR, kemampuan peperangan elektronik, sistem pertahanan udara dengan amunisi yang cukup.”

Tantangannya, jelasnya, adalah mencegat senjata nuklir taktis ini di tengah penerbangan, mengingat jangkauan terbatas Sistem Senjata Kemampuan Jarak Menengah (MRC) militer AS.

Espeña mendesak angkatan bersenjata Filipina untuk memperkuat sistem pertahanan udara khusus mereka sendiri dengan persediaan amunisi yang kuat dan kemampuan peperangan elektronik yang canggih.

“Kami tidak bisa hanya mengandalkan MRC,” katanya.

“Militer Filipina juga harus memiliki sistem pertahanan udara yang memiliki persediaan amunisi yang signifikan. Selain itu, kemampuan peperangan elektronik sangat penting untuk melumpuhkan kemampuan penargetan mereka meskipun mereka memiliki keunggulan jangkauan," paparnya.

Sejak menjabat pada tahun 2022, Marcos telah menganut kebijakan luar negeri yang berpusat pada AS, dengan memberikan Washington akses ke sembilan lokasi militer berdasarkan Enhanced Defence Cooperation Agreement (EDCA).

Namun, Espeña memperingatkan bahwa jika terjadi perang nuklir, China berpotensi melumpuhkan unit-unit AS yang beroperasi di garis depan ini, sehingga Filipina “terisolasi untuk berperang sendiri”.

Dia bersugesti angkatan bersenjata Filipina mungkin dapat melancarkan respons asimetris, dengan memanfaatkan kemampuan pasukan khusus negara itu untuk mengidentifikasi dan menargetkan lokasi peluncuran rudal utama.

Meningkatnya ketegangan nuklir juga telah memicu peringatan keras dari Rusia.

Pada bulan Juli, Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa sistem persenjataan AS yang sekarang ditempatkan di Filipina dapat memprovokasi Moskow untuk melanjutkan produksi rudal dan berpotensi menyebarkannya di luar perbatasan Rusia.

Sistem peluncur rudal Typhon AS dikerahkan ke Filipina pada bulan April untuk latihan militer gabungan tahunan Balikatan kedua negara.

Sistem Typhon mampu menembakkan rudal antipesawat SM-6 dan Rudal Serang Darat Tomahawk, dengan jangkauan operasional masing-masing lebih dari 240 km (150 mil) dan 2.500 km.

Sistem Typhon tetap berada di Luzon utara untuk memungkinkan pasukan Filipina membiasakan diri dengan sistem tersebut.

Namun, Filipina tidak mungkin menjadi "target utama" jika terjadi konflik konvensional besar antara China dan AS, menurut Chris Gardiner, CEO Institute for Regional Security di Canberra, Australia.

Dia mencatat bahwa semua lokasi militer utama AS akan menjadi target potensial dan "diprioritaskan sehubungan dengan fungsi sistem kritis atau pangkalan aset kritis" jika terjadi perang.

Sasaran utamanya meliputi kemampuan nuklir AS dan komando serta kontrol yang melibatkan lokasi rudal balistik antarbenua, pangkalan Angkatan Laut dan udara yang menampung kapal selam dan pesawat pengebom berkemampuan nuklir, serta situs komunikasi dan intelijen.

"Tidak mungkin Filipina menjadi target utama dalam hal itu," kata Gardiner kepada This Week in Asia.

"Menariknya, dalam hal negara-negara yang berbagi tanggung jawab keamanan kolektif, situs-situs di Australia seperti fasilitas Pine Gap dan pangkalan kapal selam nuklir yang diusulkan di Australia Barat akan menjadi sasaran," paparnya.

Namun, dia menekankan bahwa pengerahan sistem rudal Typhon AS yang kuat ke Filipina akan menjadi pencegah penting terhadap agresi China di perairan teritorial negara itu.

Jika pencegahan gagal, kemampuan canggih Typhon akan menjadi penting dalam membantu Filipina menang dalam setiap eskalasi konvensional besar, kata Gardiner.

Dia mengatakan Manila menghadapi dua pertanyaan terkait kebijakan dan kemampuan pertahanannya.

Yang pertama adalah bagaimana cara mencegah China secara efektif menggunakan kekuatan militernya dalam perselisihan dengan Filipina—termasuk menentukan strategi terbaik untuk mengelola potensi konflik zona abu-abu atau eskalasi konvensional jika pencegahan gagal, dan bagaimana mitra seperti AS, Jepang, dan Australia dapat membantu.

Tantangan kedua adalah menentukan sejauh mana Filipina harus membalas dukungan yang diterimanya dari negara-negara mitra ini.

"Saya pikir pemerintahan Marcos benar dalam berpikir, misalnya, bahwa EDCA-nya dengan AS merupakan jawaban yang bijaksana untuk keduanya," kata Gardiner.

Senator Filipina Imee Marcos baru-baru ini mengeklaim, tanpa memberikan bukti apa pun, bahwa China berencana untuk menargetkan lokasi-lokasi di seluruh Filipina dengan serangan rudal hipersonik.

Dia mengatakan 25 wilayah di negara itu telah menjadi sasaran dalam rencana yang dilihatnya, termasuk pulau Batanes dan Subic di Zambales, tempat sistem rudal Brahmos baru telah dikerahkan, dan wilayah Ilocos, tempat latihan militer gabungan tahunan Balikatan.

Senator Marcos menyatakan kekhawatiran bahwa Washington tidak dapat mencegah serangan semacam itu dan berpendapat bahwa China menargetkan Filipina karena hubungan militernya yang semakin erat dengan AS.

Filipina dan AS terikat oleh Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951 yang mewajibkan mereka untuk saling membantu jika terjadi serangan eksternal. Washington telah berulang kali menegaskan kembali komitmennya yang "kuat" terhadap perjanjian ini.

Gardiner mengatakan penting bagi warga Filipina untuk memahami bahwa skenario konflik utama yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh AS, Jepang, dan Australia melibatkan negara-negara ini yang bergabung dengan aksi militer Filipina untuk mempertahankan kedaulatan negara.

"Jika konflik meningkat menjadi bentrokan konvensional yang besar, sistem MRC akan sangat penting, tetapi di sisi lain, sistem tersebut akan menjadi sasaran, seperti halnya sistem atau lokasi apa pun yang penting bagi kemenangan konvensional," katanya.

China akan mengembangkan penilaiannya sendiri terhadap skenario konflik potensial, dan Gardiner mengatakan rencana tersebut dapat melibatkan kekalahan Filipina dalam konflik militer apa pun atas klaim teritorial saat ini.

"Itu melibatkan bentrokan klaim dan kepentingan antara China dan Filipina dan tidak muncul dari hubungan yang semakin erat dengan AS. Meningkatnya keterlibatan AS dengan Filipina dalam pertahanannya sebenarnya mempersulit perencanaan Chinadalam hal itu dan bertindak sebagai pencegah," katanya.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1120 seconds (0.1#10.140)