Insiden di Perbatasan, Pakistan Panggil Diplomat Afghanistan dan India

Senin, 16 September 2019 - 08:19 WIB
Insiden di Perbatasan, Pakistan Panggil Diplomat Afghanistan dan India
Insiden di Perbatasan, Pakistan Panggil Diplomat Afghanistan dan India
A A A
ISLAMABAD - Pakistan memanggil diplomat dari Afghanistan dan India setelah beberapa insiden baku tembak di sepanjang dua perbatasan yang berbeda. Baku tembak menewaskan empat tentara Pakistan dan seorang wanita warga sipil. Insiden itu terjadi di sepanjang perbatasan Afghanistan dan Pakistan serta di garis perbatasan Kashmir yang memisahkan wilayah itu.

Insiden terbaru terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Pakistan dan India, serta penghentian perundingan antara Taliban Afghanistan dan Amerika Serikat (AS). “Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Pakistan memanggil diplomat Afghanistan untuk meminta penjelasan tentang penembakan oleh para militan di Afghanistan ke wilayah Pakistan,” ungkap juru bicara Kemlu Pakistan dilansir Reuters.

Para militan menembak dan menewaskan seorang tentara Pakistan saat patroli pada Jumat (13/9). “Pada insiden kedua, pasukan Pakistan yang sedang berjaga di pagar perbatasan diserang dan tiga orang tewas,” kata Kemlu Pakistan. Kedua kejadian terjadi di Provinsi Khyber-Pakhtunkhwa, barat laut Pakistan. Pakistan menegaskan saat pertemuan dengan diplomat Afghanistan bahwa Afghanistan bertanggung jawab mengamankan wilayahnya di perbatasan.

Juru bicara Pemerintah Afghanistan belum memberikan komentar. Para pejabat Afghanistan dalam beberapa pekan terakhir menuduh militer Pakistan menembakkan artileri berat ke wilayah Afghanistan. Kedua negara tetangga itu memerangi sejumlah faksi militan di sepanjang perbatasan mereka dan saling menuduh pihak lain membantu para militan itu.

Pakistan juga memanggil diplomat India pada Sabtu (14/9) setelah penembakan oleh pasukan India di sepanjang Garis Kontrol (LoC) di wilayah Kashmir yang menewaskan seorang wanita berumur 40 tahun dari Desa Balakot. India dan Pakistan yang memiliki senjata nuklir itu pernah berperang dua kali terkait Kashmir.

LoC merupakan garis gencatan senjata menjadi perbatasan de facto antara wilayah Kashmir yang dikontrol India dan Kashmir yang dikontrol Pakistan. Ketegangan antara kedua negara meningkat sejak 5 Agustus saat New Delhi mengirim lebih banyak tentara di Kashmir India untuk meredam kerusuhan setelah India mencabut status otonom wilayah itu.

Juru bicara Kemlu Pakistan Mohammad Faisal menganggap India menargetkan warga sipil di Kashmir. Juru bicara Kemlu India menyatakan New Delhi mengkhawatirkan pelanggaran gencatan senjata oleh pasukan Pakistan yang menargetkan warga sipil India dan pos-pos perbatasan.

India sejak lama menuduh Pakistan mendukung kelompok militan yang memerangi pasukan keamanan India di wilayah Kashmir. Pakistan menyangkal tuduhan itu. Pekan lalu, Pemerintah India mengaku menahan sekitar 4.000 orang sejak pencabutan status otonom Kashmir. Data pemerintah India itu sebagai bukti paling nyata tentang kondisi di Kashmir yang terus mengalami konflik.

India dan Pakistan mengklaim seluruh wilayah Kashmir, namun masing-masing hanya mengontrol sebagian kawasan. Tindakan India mencabut status otonomi di Kashmir pada 5 Agustus memicu konflik antara pasukan keamanan dan warga setempat serta memicu ketegangan dengan Pakistan.

New Delhi berdalih pencabutan status otonomi itu akan membantu mengintegrasikan wilayah tersebut dalam perekonomian India dan menguntungkan semua pihak. Namun, upaya ini memicu unjuk rasa di Kashmir. India pun memutus jaringan internet, layanan telepon, dan memberlakukan pembatasan ketat termasuk jam malam di beberapa wilayah.

Menurut data Pemerintah India bertanggal 6 September yang diterima Reuters, otoritas India menahan lebih dari 3.800 orang. Dari jumlah tahanan itu, sebanyak 2.600 orang telah dibebaskan. Belum jelas atas dasar apa ribuan orang itu ditahan, tapi sumber pejabat India menyatakan mereka ditahan atas dasar Undang-undang (UU) Keamanan Publik. UU itu berlaku di Jammu dan Kashmir yang mengizinkan penahanan hingga dua tahun tanpa ada dakwaan.

Data resmi pertama itu menunjukkan banyaknya warga yang ditahan. Lebih dari 200 politisi, termasuk dua mantan kepala menteri Jammu dan Kashmir juga ditahan. Selain itu, ada lebih dari 100 tokoh dan aktivis dari organisasi politik pro-separatis yang turut ditahan. Mereka yang ditahan lebih dari 3.000 orang, itu disebut sebagai pelempar batu dan kejahatan lain.

“Pada Minggu (8/9), sebanyak 85 tahanan dipindahkan ke penjara di Agra, utara India,” kata sumber kepolisian. Kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International menyatakan penangkapan itu belum pernah terjadi dalam sejarah modern di kawasan itu. “Penahanan itu memicu meluasnya kekhawatiran dan pengasingan,” ungkap pernyataan Amnesty International dilansir Reuters.

“Blokade komunikasi, pengetatan keamanan, dan penahanan para pemimpin politik di kawasan itu membuatnya kian memburuk,” ujar Aakar Patel, Kepala Amnesty International India. India berdalih penahanan itu untuk menjaga ketertiban dan mencegah kerusuhan. Otoritas menyatakan jumlah tersebut relatif terbatas dibandingkan dengan kerusuhan yang terjadi.

Pemerintah India menyatakan hanya satu orang yang dikonfirmasi meninggal dunia dibandingkan dengan puluhan orang tewas pada 2016, saat pembunuhan seorang pemimpin militan memicu kerusuhan. “Hak untuk hidup itu hak asasi manusia paling penting,” ujar penasihat keamanan nasional India, Ajit Doval.

Laporan pemerintah itu berisi data dari 13 kepolisian distrik yang berada di Lembah Kashmir, wilayah paling padat di kawasan itu, termasuk di dalamnya kota Srinagar. Jumlah warga Srinagar yang ditahan mencapai hampir 1.000 orang atau terbesar dibandingkan wilayah lain di Kashmir. Kerusuhan awalnya berpusat di wilayah pedesaan dan kemudian meluas hingga perkotaan.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3590 seconds (0.1#10.140)