Presiden Irak Tidak Izinkan Wilayahnya Digunakan AS untuk Serang Iran
A
A
A
LONDON - Dalam keadaan apa pun Irak tidak mengizinkan Amerika Serikat (AS) menggunakan pangkalannya di Irak untuk melancarkan serangan ke Iran. Hal itu ditegaskan Presiden Irak Barham Salih.
"Kami tidak ingin wilayah kami menjadi pos pementasan untuk setiap tindakan bermusuhan terhadap tetangga kami, termasuk Iran," kata Salih dalam sebuah wawancara dengan CNN di London.
"Ini jelas bukan bagian dari perjanjian antara pemerintah Irak dan Amerika Serikat," imbuhnya seperti dikutip dari media yang berbasis di AS itu, Rabu (26/6/2019).
Dalam wawancara itu, Presiden Irak Salih juga mempertanyakan kemanjuran sanksi untuk mengubah perilaku suatu negara. Ia mengatakan ada "pertanyaan mendasar" tentang apakah sanksi dapat mendorong suatu negara untuk mengubah kebijakan.
"Kami di Irak menderita sanksi pada 1990-an, dan kehancuran yang menimpa masyarakat Irak benar-benar bertahan lama, bahkan hingga saat ini," ungkapnya.
Para pembuat kebijakan AS telah berulang kali menuduh Iran melakukan penyimpangan regional dalam beberapa hari terakhir, seperti serangan misterius terhadap kapal-kapal di Teluk Oman, yang banyak pengamat katakan terdengar mirip jelang perang Irak pada tahun 2003.
Saat ditanya apakah Salih melihat hubungannya, ia menunjukkan bahwa pemimpin Irak saat itu Saddam Hussein adalah kasus unik dalam sejarah.
"Tetapi paralelnya adalah sebagai berikut: Sangat mudah untuk memulai perang, tetapi sangat, sangat sulit untuk mengakhiri perang," tukasnya.
Ketegangan antara AS dan Iran semakin tinggi. Setelah ditembak jatuhnya pesawat tak berawak Amerika pekan lalu. Trump awalnya memerintahkan untuk menyerang Iran, namun dibatalkan pada menit-menit akhir. Trump kemudian memperingatkan bahwa serangan terhadap setiap kepentingan Amerikan akan menemui kekuatan besar dan luar biasa. Trump juga menjatuhkan sanksi baru kepada Iran yang menyasar kepada pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei dan sejumlah pejabat lainnya.
Menanggapi sanksi baru yang ditandatangani oleh Trump, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan bahwa Gedung Putih "menderita cacat mental."
"Kami tidak ingin wilayah kami menjadi pos pementasan untuk setiap tindakan bermusuhan terhadap tetangga kami, termasuk Iran," kata Salih dalam sebuah wawancara dengan CNN di London.
"Ini jelas bukan bagian dari perjanjian antara pemerintah Irak dan Amerika Serikat," imbuhnya seperti dikutip dari media yang berbasis di AS itu, Rabu (26/6/2019).
Dalam wawancara itu, Presiden Irak Salih juga mempertanyakan kemanjuran sanksi untuk mengubah perilaku suatu negara. Ia mengatakan ada "pertanyaan mendasar" tentang apakah sanksi dapat mendorong suatu negara untuk mengubah kebijakan.
"Kami di Irak menderita sanksi pada 1990-an, dan kehancuran yang menimpa masyarakat Irak benar-benar bertahan lama, bahkan hingga saat ini," ungkapnya.
Para pembuat kebijakan AS telah berulang kali menuduh Iran melakukan penyimpangan regional dalam beberapa hari terakhir, seperti serangan misterius terhadap kapal-kapal di Teluk Oman, yang banyak pengamat katakan terdengar mirip jelang perang Irak pada tahun 2003.
Saat ditanya apakah Salih melihat hubungannya, ia menunjukkan bahwa pemimpin Irak saat itu Saddam Hussein adalah kasus unik dalam sejarah.
"Tetapi paralelnya adalah sebagai berikut: Sangat mudah untuk memulai perang, tetapi sangat, sangat sulit untuk mengakhiri perang," tukasnya.
Ketegangan antara AS dan Iran semakin tinggi. Setelah ditembak jatuhnya pesawat tak berawak Amerika pekan lalu. Trump awalnya memerintahkan untuk menyerang Iran, namun dibatalkan pada menit-menit akhir. Trump kemudian memperingatkan bahwa serangan terhadap setiap kepentingan Amerikan akan menemui kekuatan besar dan luar biasa. Trump juga menjatuhkan sanksi baru kepada Iran yang menyasar kepada pemimpin spiritual Iran Ayatollah Ali Khamenei dan sejumlah pejabat lainnya.
Menanggapi sanksi baru yang ditandatangani oleh Trump, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan bahwa Gedung Putih "menderita cacat mental."
(ian)