Pendeta yang Bikin 440 Pengikut ‘Puasa sampai Mati agar Bertemu Yesus’ Diadili
loading...
A
A
A
MOMBASA - Pendeta Paul Nthenge Mackenzie, pemimpin sekte kiamat di Kenya, diadili pada hari Senin atas tuduhan terorisme terkait kematian 440 pengikutnya dalam kasus mengerikan yang mengejutkan dunia.
Mackenzie muncul di ruang sidang yang penuh sesak di kota pelabuhan Mombasa bersama dengan 94 terdakwa lainnya.
Hakim utama Leah Juma memerintahkan para jurnalis keluar dari ruang sidang segera setelah dimulainya persidangan untuk memungkinkan saksi yang dilindungi dapat memberikan kesaksian.
Mackenzie, yang ditangkap pada bulan April tahun lalu, dituduh menghasut para pengikutnya untuk “puasa sampai mati agar bisa bertemu Yesus”. Kasus ini tercatat sebagai salah satu pembantaian terburuk di dunia yang berkaitan dengan aliran sesat.
Ayah tujuh anak itu dan rekan terdakwanya lainnya mengaku tidak bersalah atas tuduhan terorisme pada sidang bulan Januari lalu.
Para terdakwa lain, 55 pria dan 40 wanita, juga menghadapi dakwaan pembunuhan, pembunuhan tidak berencana, serta penyiksaan dan kekejaman terhadap anak dalam kasus terpisah.
Jenazah lebih dari 440 orang sejauh ini telah ditemukan di hutan belantara terpencil di kota pesisir Samudra Hindia; Malindi, dalam sebuah kasus yang dijuluki sebagai "pembantaian hutan Shakahola".
Hasul autopsi menemukan bahwa meskipun kelaparan tampaknya menjadi penyebab utama kematian, beberapa korban—termasuk anak-anak—dicekik dan dipukuli. Pada bulan Februari, Mackenzie mengaku tidak bersalah atas pembunuhan 191 anak-anak yang mayatnya ditemukan di kuburan massal.
Dokumen pengadilan sebelumnya juga menyebutkan bahwa beberapa jenazah telah diambil organnya.
Jaksa mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka berencana memanggil sekitar 90 saksi untuk memberikan kesaksian serta menunjukkan bukti fisik dan digital.
“Jaksa akan mengajukan bukti untuk menggambarkan bahwa terdakwa tidak berfungsi hanya sebagai kelompok pinggiran, namun lebih sebagai kelompok kriminal terorganisir yang beroperasi dengan kedok sebuah gereja di bawah kepemimpinan (Mackenzie),” kata jaksa dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari CBS News, Selasa (9/7/2024).
Mackenzie, mantan sopir taksi yang berubah menjadi pendeta, menyerahkan diri setelah polisi pertama kali memasuki hutan Shakahola pada bulan April tahun lalu dan menemukan mayat empat orang dan beberapa orang lainnya kelaparan.
Tindakan polisi ini terjadi setelah seorang kerabat salah satu korban menerima informasi dari mantan anggota Gereja Good News International pimpinan Mackenzie tentang kejadian mengerikan di hutan Shakahola.
Anggota keluarga mengatakan Mackenzie menyuruh para pengikutnya untuk bergabung dengannya di hutan Shakahola, di mana dia menawarkan mereka sebidang tanah dengan harga kurang dari USD100.
Dokumen pengadilan menyatakan bahwa pada awal tahun 2023, Mackenzie memberi tahu para pengikutnya di hutan bahwa akhir dunia akan datang dan mereka harus bersiap menghadapi kelaparan ekstrem.
Dia diduga membagi anggota menjadi kelompok-kelompok kecil yang diberi nama alkitabiah. Dipercaya bahwa kelompok-kelompok kecil ini mati bersama dan dikuburkan bersama di kuburan massal.
Mackenzie telah mendirikan gereja tersebut pada tahun 2003, tetapi menutupnya pada tahun 2019 dan pindah ke kota Shakahola yang sepi.
Pada bulan Maret tahun ini, pihak berwenang mulai menyerahkan beberapa jenazah korban kepada kerabatnya yang putus asa setelah berbulan-bulan bekerja keras untuk mengidentifikasi mereka menggunakan DNA.
Banyak pertanyaan yang muncul tentang bagaimana Mackenzie, seorang pendeta yang dianggap gadungan dengan sejarah ekstremisme, berhasil menghindari penegakan hukum meskipun dia terkenal dan memiliki kasus hukum sebelumnya.
Beberapa anggota kelompok yang masih hidup mengatakan kepada anggota keluarga bahwa apa yang dia khotbahkan sering kali menjadi kenyataan, dengan mengutip prediksinya bahwa "virus besar" akan datang, tepat sebelum Covid-19 melanda negara tersebut.
Ketika orang-orang berjuang selama pandemi ini, baik secara finansial maupun medis, Mackenzie berkhotbah tentang meninggalkan kesulitan hidup dan “beralih ke keselamatan.”
Menteri Dalam Negeri Kiture Kindiki tahun lalu menuduh polisi Kenya lalai dalam menyelidiki laporan awal mengenai kelaparan.
“Pembantaian Shakahola adalah pelanggaran keamanan terburuk dalam sejarah negara kita,” katanya pada sidang komite Senat, dan bersumpah untuk “tanpa henti mendorong reformasi hukum untuk menjinakkan para pengkhotbah nakal.”
Laporan Senat Kenya dan badan pengawas hak asasi manusia yang didanai negara mengatakan pihak berwenang sebenarnya bisa mencegah kematian tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya (KNCHR) mengkritik petugas keamanan di Malindi karena "sangat mengabaikan tugas dan kelalaiannya".
Kisah mengerikan ini membuat Presiden William Ruto bersumpah untuk campur tangan dalam gerakan keagamaan yang berkembang di Kenya.
“Apa yang kami lihat mirip dengan terorisme,” kata Ruto tahun lalu. "Mackenzie berpura-pura dan bersikap seperti seorang pendeta padahal sebenarnya dia adalah penjahat yang kejam."
Di Kenya yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen, hal ini juga menyoroti kegagalan upaya mengatur gereja-gereja yang tidak bermoral dan aliran sesat yang terlibat dalam kriminalitas.
Pada tahun 2022, jenazah seorang wanita Inggris yang meninggal di rumah pemimpin aliran sesat yang berbeda saat berlibur di Kenya digali, menurut pengacara keluarga tersebut. Luftunisa Kwandwalla (44) sedang mengunjungi kota pesisir Mombasa ketika dia meninggal pada Agustus 2020 dan dimakamkan sehari kemudian, tetapi keluarganya mengeklaim telah terjadi pelanggaran.
Mackenzie muncul di ruang sidang yang penuh sesak di kota pelabuhan Mombasa bersama dengan 94 terdakwa lainnya.
Hakim utama Leah Juma memerintahkan para jurnalis keluar dari ruang sidang segera setelah dimulainya persidangan untuk memungkinkan saksi yang dilindungi dapat memberikan kesaksian.
Mackenzie, yang ditangkap pada bulan April tahun lalu, dituduh menghasut para pengikutnya untuk “puasa sampai mati agar bisa bertemu Yesus”. Kasus ini tercatat sebagai salah satu pembantaian terburuk di dunia yang berkaitan dengan aliran sesat.
Ayah tujuh anak itu dan rekan terdakwanya lainnya mengaku tidak bersalah atas tuduhan terorisme pada sidang bulan Januari lalu.
Para terdakwa lain, 55 pria dan 40 wanita, juga menghadapi dakwaan pembunuhan, pembunuhan tidak berencana, serta penyiksaan dan kekejaman terhadap anak dalam kasus terpisah.
Jenazah lebih dari 440 orang sejauh ini telah ditemukan di hutan belantara terpencil di kota pesisir Samudra Hindia; Malindi, dalam sebuah kasus yang dijuluki sebagai "pembantaian hutan Shakahola".
Hasul autopsi menemukan bahwa meskipun kelaparan tampaknya menjadi penyebab utama kematian, beberapa korban—termasuk anak-anak—dicekik dan dipukuli. Pada bulan Februari, Mackenzie mengaku tidak bersalah atas pembunuhan 191 anak-anak yang mayatnya ditemukan di kuburan massal.
Dokumen pengadilan sebelumnya juga menyebutkan bahwa beberapa jenazah telah diambil organnya.
Jaksa mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka berencana memanggil sekitar 90 saksi untuk memberikan kesaksian serta menunjukkan bukti fisik dan digital.
“Jaksa akan mengajukan bukti untuk menggambarkan bahwa terdakwa tidak berfungsi hanya sebagai kelompok pinggiran, namun lebih sebagai kelompok kriminal terorganisir yang beroperasi dengan kedok sebuah gereja di bawah kepemimpinan (Mackenzie),” kata jaksa dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari CBS News, Selasa (9/7/2024).
Mackenzie, mantan sopir taksi yang berubah menjadi pendeta, menyerahkan diri setelah polisi pertama kali memasuki hutan Shakahola pada bulan April tahun lalu dan menemukan mayat empat orang dan beberapa orang lainnya kelaparan.
Tindakan polisi ini terjadi setelah seorang kerabat salah satu korban menerima informasi dari mantan anggota Gereja Good News International pimpinan Mackenzie tentang kejadian mengerikan di hutan Shakahola.
Anggota keluarga mengatakan Mackenzie menyuruh para pengikutnya untuk bergabung dengannya di hutan Shakahola, di mana dia menawarkan mereka sebidang tanah dengan harga kurang dari USD100.
Dokumen pengadilan menyatakan bahwa pada awal tahun 2023, Mackenzie memberi tahu para pengikutnya di hutan bahwa akhir dunia akan datang dan mereka harus bersiap menghadapi kelaparan ekstrem.
Dia diduga membagi anggota menjadi kelompok-kelompok kecil yang diberi nama alkitabiah. Dipercaya bahwa kelompok-kelompok kecil ini mati bersama dan dikuburkan bersama di kuburan massal.
Mackenzie telah mendirikan gereja tersebut pada tahun 2003, tetapi menutupnya pada tahun 2019 dan pindah ke kota Shakahola yang sepi.
Pada bulan Maret tahun ini, pihak berwenang mulai menyerahkan beberapa jenazah korban kepada kerabatnya yang putus asa setelah berbulan-bulan bekerja keras untuk mengidentifikasi mereka menggunakan DNA.
Banyak pertanyaan yang muncul tentang bagaimana Mackenzie, seorang pendeta yang dianggap gadungan dengan sejarah ekstremisme, berhasil menghindari penegakan hukum meskipun dia terkenal dan memiliki kasus hukum sebelumnya.
Beberapa anggota kelompok yang masih hidup mengatakan kepada anggota keluarga bahwa apa yang dia khotbahkan sering kali menjadi kenyataan, dengan mengutip prediksinya bahwa "virus besar" akan datang, tepat sebelum Covid-19 melanda negara tersebut.
Ketika orang-orang berjuang selama pandemi ini, baik secara finansial maupun medis, Mackenzie berkhotbah tentang meninggalkan kesulitan hidup dan “beralih ke keselamatan.”
Menteri Dalam Negeri Kiture Kindiki tahun lalu menuduh polisi Kenya lalai dalam menyelidiki laporan awal mengenai kelaparan.
“Pembantaian Shakahola adalah pelanggaran keamanan terburuk dalam sejarah negara kita,” katanya pada sidang komite Senat, dan bersumpah untuk “tanpa henti mendorong reformasi hukum untuk menjinakkan para pengkhotbah nakal.”
Laporan Senat Kenya dan badan pengawas hak asasi manusia yang didanai negara mengatakan pihak berwenang sebenarnya bisa mencegah kematian tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya (KNCHR) mengkritik petugas keamanan di Malindi karena "sangat mengabaikan tugas dan kelalaiannya".
Kisah mengerikan ini membuat Presiden William Ruto bersumpah untuk campur tangan dalam gerakan keagamaan yang berkembang di Kenya.
“Apa yang kami lihat mirip dengan terorisme,” kata Ruto tahun lalu. "Mackenzie berpura-pura dan bersikap seperti seorang pendeta padahal sebenarnya dia adalah penjahat yang kejam."
Di Kenya yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen, hal ini juga menyoroti kegagalan upaya mengatur gereja-gereja yang tidak bermoral dan aliran sesat yang terlibat dalam kriminalitas.
Pada tahun 2022, jenazah seorang wanita Inggris yang meninggal di rumah pemimpin aliran sesat yang berbeda saat berlibur di Kenya digali, menurut pengacara keluarga tersebut. Luftunisa Kwandwalla (44) sedang mengunjungi kota pesisir Mombasa ketika dia meninggal pada Agustus 2020 dan dimakamkan sehari kemudian, tetapi keluarganya mengeklaim telah terjadi pelanggaran.
(mas)