Seruan Reformasi Kerajaan Thailand Terus Bergulir
loading...
A
A
A
BANGKOK - Thailand diguncang gelombang demonstrasi dalam sepekan terakhir. Aksi unjuk rasa itu dipicu keinginan sebagian rakyat Thailand untuk memulihkan sistem demokrasi setelah tampuk kekuasaan diduduki para elite militer. Namun, pemerintah bertindak represif dengan menangkap para pemimpin demonstran.
Polisi Thailand bergerak cepat dengan menangkap para pemimpin demonstrasi, termasuk pengacara Anom Nampa yang ikut menyerukan reformasi kerajaan. Itu menjadi penangkapan kedua pada bulan ini. Dia merupakan aktivis yang pertama menyerukan agar perubahan posisi Raja Thailand Vajiralongkorn di masyarakat yang jarang membicarakan raja dan terlalu mendewakannya.
Para pengunjuk rasa bahkan saat ini berani melayangkan kritik kepada keluarga Kerajaan Thailand yang dianggap tidak pro terhadap tuntutan rakyat. Para siswa dan mahasiswa juga turut menekan Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha untuk lengser.
Seperti dilansir Reuters, unjuk rasa di Thailand berlangsung damai dan kondusif, sekalipun pendemo mengkritik kerajaan secara gamblang dan terbuka. Pemerintah dinilai sengaja diam untuk menghindari kericuhan dan kemarahan publik dalam skala besar. (Baca: Unjuk rasa Meluas, Perdana Menteri Thailand Didesak Mundur)
Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki aturan lese-majeste paling ketat di dunia. Setiap orang yang mencederai nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, dan keturunannya akan divonis hukuman penjara maksimal selama 15 tahun per dakwaan.
Para pengunjuk rasa yang berasal dari berbagai kalangan dan daerah hanya memiliki tiga tuntutan. Ketiga tuntutan itu ialah membubarkan pemerintah saat ini, mengakhiri intimidasi terhadap para aktivis, dan mengamendemen konstitusi yang dianggap melanggengkan kekuasaan militer.
Pada Senin hingga Rabu lalu, sekelompok pengunjuk rasa juga menuntut adanya reformasi kerajaan sebanyak 10 poin. Beberapa di antaranya ialah memperbolehkan warga Thailand mengkritik kerajaan untuk hal positif, anggaran untuk raja harus dipangkas, dan kerajaan tidak boleh turut campur dalam politik.
Tuntutan serupa juga pernah dilayangkan para pengunjuk rasa pada akhir pekan lalu. Saat itu, mereka melayangkan protes sambil mengenakan pakaian harry potter dan lord voldemort sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang absolut.
Sekretaris Jenderal Free People Movement, Tattep Ruangprapaikitseree, mengaku menerima banyak ancaman hukum, tapi dia tidak gentar. "Kami merasa struktur ekonomi dan politik di negeri ini rusak. Karena itu, kami turun ke jalan," katanya. (Baca juga: Wamena Papua Kembali Mencekam, 10 rumah Dibakar dan 4 Warga Terluka)
Prayuth yang berkuasa melalui kudeta pada 2014 dan menjadi PM pada tahun lalu, mengaku tidak nyaman dengan komentar para pengunjuk rasa. Dia juga kembali menegaskan Raja Thailand tidak menginginkan adanya prosekusi di bawah aturan lese-majeste.
Pakar senior dari International Crisis Group, Matthew Wheeler, mengatakan gerakan protes di Thailand sudah melintasi garis merah. Namun, Pemerintah Thailand dinilai sedang dilema. Sebab, jika pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan terjadi kerusuhan, masyarakat akan kian marah.
"Kekerasan terhadap aktivis sudah banyak terjadi. Jika Pemerintah Thailand menunjukkan taringnya di depan publik, mereka sama saja memperkuat para aktivis," ujar Wheeler dilansir Reuters. "Gelombang protes saat ini juga merupakan akibat akumulasi ketidakadilan dalam enam tahun terakhir," ujarnya. (Baca juga: Gesek ATM Mulai Gak Laku, Nasabah Lebih Milih Digital Banking)
Aksi unjuk rasa di Thailand sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun ini. Namun, akibat adanya wabah virus korona, aksi tersebut ditunda, meski hanya beberapa saat. Sejak saat itu, kemarahan publik membludak menyusul tingginya ketidaksetaraan dan kurangnya bantuan terhadap kelompok rentan.
Pada Juni lalu, sebagian besar aktivis kembali marah setelah aktivis demokrasi Wanchalearm Satsaksi diculik di Kamboja. Kelompok HAM menyatakan Satsaksi merupakan orang kesembilan yang hilang di negara orang pada tahun ini. Tapi, Pemerintah Thailand menepis terlibat dalam operasi tersebut.
"Saya kira kami sudah mencapai titik frustrasi. Banyak sekali masalah yang muncul sejak kudeta pada 2014, mulai dari kesemrawutan manajemen, penyelewengan hukum, dan ketidakadilan sosial," kata Jutatip Sirikhan, Presiden Student Union of Thailand. "Kami tak melihat lagi masa depan di negeri ini," katanya. (Lihat videonya: Jejak Tradisi Malam 1 Suro dan Suronan di Pesantren)
Ekonomi Thailand berlangsung stagnan, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Berdasarkan perkiraan para ahli, ekonomi Thailand akan mengalami kontraksi sebesar 8,1% pada tahun ini. "Karena itu, anak-anak muda protes ke jalan-jalan. Masa depan mereka sedang dipertaruhkan," kata Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University.
Prayuth mengaku akan mendengar tuntutan pendemo, terutama yang berkaitan dengan konstitusi. Para aktivis berharap tidak akan ada lagi tindakan semena-mena, intimidasi, dan pemaksaan kehendak. (Muh Shamil)
Polisi Thailand bergerak cepat dengan menangkap para pemimpin demonstrasi, termasuk pengacara Anom Nampa yang ikut menyerukan reformasi kerajaan. Itu menjadi penangkapan kedua pada bulan ini. Dia merupakan aktivis yang pertama menyerukan agar perubahan posisi Raja Thailand Vajiralongkorn di masyarakat yang jarang membicarakan raja dan terlalu mendewakannya.
Para pengunjuk rasa bahkan saat ini berani melayangkan kritik kepada keluarga Kerajaan Thailand yang dianggap tidak pro terhadap tuntutan rakyat. Para siswa dan mahasiswa juga turut menekan Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha untuk lengser.
Seperti dilansir Reuters, unjuk rasa di Thailand berlangsung damai dan kondusif, sekalipun pendemo mengkritik kerajaan secara gamblang dan terbuka. Pemerintah dinilai sengaja diam untuk menghindari kericuhan dan kemarahan publik dalam skala besar. (Baca: Unjuk rasa Meluas, Perdana Menteri Thailand Didesak Mundur)
Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki aturan lese-majeste paling ketat di dunia. Setiap orang yang mencederai nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, dan keturunannya akan divonis hukuman penjara maksimal selama 15 tahun per dakwaan.
Para pengunjuk rasa yang berasal dari berbagai kalangan dan daerah hanya memiliki tiga tuntutan. Ketiga tuntutan itu ialah membubarkan pemerintah saat ini, mengakhiri intimidasi terhadap para aktivis, dan mengamendemen konstitusi yang dianggap melanggengkan kekuasaan militer.
Pada Senin hingga Rabu lalu, sekelompok pengunjuk rasa juga menuntut adanya reformasi kerajaan sebanyak 10 poin. Beberapa di antaranya ialah memperbolehkan warga Thailand mengkritik kerajaan untuk hal positif, anggaran untuk raja harus dipangkas, dan kerajaan tidak boleh turut campur dalam politik.
Tuntutan serupa juga pernah dilayangkan para pengunjuk rasa pada akhir pekan lalu. Saat itu, mereka melayangkan protes sambil mengenakan pakaian harry potter dan lord voldemort sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan yang absolut.
Sekretaris Jenderal Free People Movement, Tattep Ruangprapaikitseree, mengaku menerima banyak ancaman hukum, tapi dia tidak gentar. "Kami merasa struktur ekonomi dan politik di negeri ini rusak. Karena itu, kami turun ke jalan," katanya. (Baca juga: Wamena Papua Kembali Mencekam, 10 rumah Dibakar dan 4 Warga Terluka)
Prayuth yang berkuasa melalui kudeta pada 2014 dan menjadi PM pada tahun lalu, mengaku tidak nyaman dengan komentar para pengunjuk rasa. Dia juga kembali menegaskan Raja Thailand tidak menginginkan adanya prosekusi di bawah aturan lese-majeste.
Pakar senior dari International Crisis Group, Matthew Wheeler, mengatakan gerakan protes di Thailand sudah melintasi garis merah. Namun, Pemerintah Thailand dinilai sedang dilema. Sebab, jika pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa dan terjadi kerusuhan, masyarakat akan kian marah.
"Kekerasan terhadap aktivis sudah banyak terjadi. Jika Pemerintah Thailand menunjukkan taringnya di depan publik, mereka sama saja memperkuat para aktivis," ujar Wheeler dilansir Reuters. "Gelombang protes saat ini juga merupakan akibat akumulasi ketidakadilan dalam enam tahun terakhir," ujarnya. (Baca juga: Gesek ATM Mulai Gak Laku, Nasabah Lebih Milih Digital Banking)
Aksi unjuk rasa di Thailand sebenarnya sudah terjadi sejak awal tahun ini. Namun, akibat adanya wabah virus korona, aksi tersebut ditunda, meski hanya beberapa saat. Sejak saat itu, kemarahan publik membludak menyusul tingginya ketidaksetaraan dan kurangnya bantuan terhadap kelompok rentan.
Pada Juni lalu, sebagian besar aktivis kembali marah setelah aktivis demokrasi Wanchalearm Satsaksi diculik di Kamboja. Kelompok HAM menyatakan Satsaksi merupakan orang kesembilan yang hilang di negara orang pada tahun ini. Tapi, Pemerintah Thailand menepis terlibat dalam operasi tersebut.
"Saya kira kami sudah mencapai titik frustrasi. Banyak sekali masalah yang muncul sejak kudeta pada 2014, mulai dari kesemrawutan manajemen, penyelewengan hukum, dan ketidakadilan sosial," kata Jutatip Sirikhan, Presiden Student Union of Thailand. "Kami tak melihat lagi masa depan di negeri ini," katanya. (Lihat videonya: Jejak Tradisi Malam 1 Suro dan Suronan di Pesantren)
Ekonomi Thailand berlangsung stagnan, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Berdasarkan perkiraan para ahli, ekonomi Thailand akan mengalami kontraksi sebesar 8,1% pada tahun ini. "Karena itu, anak-anak muda protes ke jalan-jalan. Masa depan mereka sedang dipertaruhkan," kata Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University.
Prayuth mengaku akan mendengar tuntutan pendemo, terutama yang berkaitan dengan konstitusi. Para aktivis berharap tidak akan ada lagi tindakan semena-mena, intimidasi, dan pemaksaan kehendak. (Muh Shamil)
(ysw)