Terungkap, Bos ISIS al-Baghdadi Jadi Ekstrem karena Penyiksaan Seks oleh AS
loading...
A
A
A
BAGHDAD - Pemimpin ISIS yang telah tewas, Abu Bakr al-Baghdadi, mengalami penyiksaan seksual saat menjadi tahanan Amerika Serikat (AS) di penjara Irak. Itu secara psikologis membuatnya trauma dan membawanya ke jalur ekstremisme.
Janda al-Baghdadi, Umm Hudaifa, mengungkap hal itu dalam sebuah wawancara dengan BBC News.
Al-Baghdadi tewas dalam operasi militer AS di Suriah pada Oktober 2019. Sejak kematiannya, kelompok ISIS mengalami pergantian pemimpin selama beberapa kali.
Umm Hudaifa mengatakan mendiang suaminya sebelumnya religius tetapi tidak ekstremis.
Namun, kata dia, al-Baghdadi berubah setelah ditahan di Kamp Bucca yang dikelola Amerika di Irak pada tahun 2004. Saat itu, al-Baghdadi ditangkap atas tuduhan mendirikan kelompok militan untuk melawan pasukan pendudukan Amerika dan sekutu Barat di negara tersebut.
"Dia konservatif tetapi berpikiran terbuka," kata Umm Hudaifa, mengklaim bahwa penahanannya selama setahun yang mengubah al-Baghdadi menjadi pemimpin ISIS yang kemudian dikenal oleh dunia internasional.
"Setelah mengalami masalah psikologis usai pembebasannya, al-Baghdadi menjadi pemarah dan amarahnya mudah meledak-ledak," ujarnya.
Ketika al-Baghdadi ditanya tentang hal, kata Umm Hudaifa, mendiang suaminya saat itu mengatakan kepadanya bahwa dia dihadapkan pada sesuatu. "Sesuatu yang 'kamu tidak dapat mengerti’,” kenangnya tanpa menjelaskan secara rinci, yang menurut Umm Hudaifa berarti al-Baghdadi “menjadi sasaran penyiksaan seksual”.
Sekarang, hampir lima tahun setelah kematian al-Baghdadi dan kekalahan militer dan teritorial ISIS, Umm Hudaifa ditahan di penjara Irak di ibu kota, Baghdad, sambil diselidiki atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan seperti perbudakan seksual terhadap perempuan dan gadis-gadis yang diculik oleh kelompok ekstremis tersebut.
Seorang pria bernama Hamid Yazidi, dan putrinya; Soad—yang dilaporkan menjadi korban perdagangan manusia oleh ISIS sebanyak tujuh kali—telah mengajukan kasus perdata terhadap Umm Hudaifa dan menuntut hukuman mati, dengan bersikeras bahwa janda al-Baghdadi terlibat secara langsung dan intim dalam kejahatan ISIS.
“Dia bertanggung jawab atas segalanya," kata Soad yang dikutip dari BBC News, Selasa (11/6/2024).
“Dia yang memilih—yang ini untuk melayaninya, yang itu untuk melayani suaminya...dan saudara perempuan saya adalah salah satu dari gadis-gadis itu.”
Menyangkal tuduhan itu, janda tersebut bersikeras bahwa dia bahkan berusaha melarikan diri dari wilayah ISIS namun dihentikan dan dikirim kembali oleh milisi bersenjata di pos pemeriksaan.
Dia menyebut kekejaman yang dilakukan oleh ISIS selama mereka mengamuk dan menguasai sebagian wilayah Suriah dan Irak sebagai “kejutan besar” dan “tidak manusiawi”, dan mengatakan bahwa kelompok tersebut “melewati batas kemanusiaan” dan dia “merasa malu” atas kebrutalan kelompok tersebut terhadap komunitas Yazidi.
Ummu Hudaifa juga mengaku telah mengonfrontasi al-Baghdadi tentang pembunuhan “orang-orang yang tidak bersalah” dan mengatakan kepadanya bahwa ada hal-hal lain berdasarkan hukum Islam “yang bisa dilakukan, seperti membimbing mereka menuju pertobatan”.
Janda al-Baghdadi, Umm Hudaifa, mengungkap hal itu dalam sebuah wawancara dengan BBC News.
Al-Baghdadi tewas dalam operasi militer AS di Suriah pada Oktober 2019. Sejak kematiannya, kelompok ISIS mengalami pergantian pemimpin selama beberapa kali.
Umm Hudaifa mengatakan mendiang suaminya sebelumnya religius tetapi tidak ekstremis.
Namun, kata dia, al-Baghdadi berubah setelah ditahan di Kamp Bucca yang dikelola Amerika di Irak pada tahun 2004. Saat itu, al-Baghdadi ditangkap atas tuduhan mendirikan kelompok militan untuk melawan pasukan pendudukan Amerika dan sekutu Barat di negara tersebut.
"Dia konservatif tetapi berpikiran terbuka," kata Umm Hudaifa, mengklaim bahwa penahanannya selama setahun yang mengubah al-Baghdadi menjadi pemimpin ISIS yang kemudian dikenal oleh dunia internasional.
"Setelah mengalami masalah psikologis usai pembebasannya, al-Baghdadi menjadi pemarah dan amarahnya mudah meledak-ledak," ujarnya.
Ketika al-Baghdadi ditanya tentang hal, kata Umm Hudaifa, mendiang suaminya saat itu mengatakan kepadanya bahwa dia dihadapkan pada sesuatu. "Sesuatu yang 'kamu tidak dapat mengerti’,” kenangnya tanpa menjelaskan secara rinci, yang menurut Umm Hudaifa berarti al-Baghdadi “menjadi sasaran penyiksaan seksual”.
Sekarang, hampir lima tahun setelah kematian al-Baghdadi dan kekalahan militer dan teritorial ISIS, Umm Hudaifa ditahan di penjara Irak di ibu kota, Baghdad, sambil diselidiki atas dugaan keterlibatan dalam kejahatan seperti perbudakan seksual terhadap perempuan dan gadis-gadis yang diculik oleh kelompok ekstremis tersebut.
Seorang pria bernama Hamid Yazidi, dan putrinya; Soad—yang dilaporkan menjadi korban perdagangan manusia oleh ISIS sebanyak tujuh kali—telah mengajukan kasus perdata terhadap Umm Hudaifa dan menuntut hukuman mati, dengan bersikeras bahwa janda al-Baghdadi terlibat secara langsung dan intim dalam kejahatan ISIS.
“Dia bertanggung jawab atas segalanya," kata Soad yang dikutip dari BBC News, Selasa (11/6/2024).
“Dia yang memilih—yang ini untuk melayaninya, yang itu untuk melayani suaminya...dan saudara perempuan saya adalah salah satu dari gadis-gadis itu.”
Menyangkal tuduhan itu, janda tersebut bersikeras bahwa dia bahkan berusaha melarikan diri dari wilayah ISIS namun dihentikan dan dikirim kembali oleh milisi bersenjata di pos pemeriksaan.
Dia menyebut kekejaman yang dilakukan oleh ISIS selama mereka mengamuk dan menguasai sebagian wilayah Suriah dan Irak sebagai “kejutan besar” dan “tidak manusiawi”, dan mengatakan bahwa kelompok tersebut “melewati batas kemanusiaan” dan dia “merasa malu” atas kebrutalan kelompok tersebut terhadap komunitas Yazidi.
Ummu Hudaifa juga mengaku telah mengonfrontasi al-Baghdadi tentang pembunuhan “orang-orang yang tidak bersalah” dan mengatakan kepadanya bahwa ada hal-hal lain berdasarkan hukum Islam “yang bisa dilakukan, seperti membimbing mereka menuju pertobatan”.
(mas)