Pangkalan Militer AS di Suriah Diserang, Pertama Kali Sejak Februari
loading...
A
A
A
Hal ini terjadi sehari setelah Perdana Menteri (PM) Irak Mohammed Shia al-Sudani kembali dari kunjungan ke Amerika Serikat, di mana dia bertemu dengan Presiden Joe Biden di Gedung Putih.
Tak lama setelah serangan roket tersebut, postingan pada hari Senin di grup Telegram yang berafiliasi dengan Kataib Hezbollah menyatakan, “Apa yang terjadi beberapa waktu lalu adalah permulaan.”
Postingan tersebut menambahkan faksi-faksi bersenjata di Irak bermaksud melanjutkan serangan karena kurangnya kemajuan dalam pembicaraan untuk memfasilitasi keluarnya pasukan AS selama kunjungan Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani ke AS.
Sejak 7 Oktober 2023, ketika konflik Palestina-Israel meningkat, serangan terhadap pangkalan koalisi internasional pimpinan AS di Irak dan pasukan Amerika di Suriah semakin meningkat, dan kelompok bersenjata Syiah di Irak mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Namun, mengingat pembicaraan yang sedang berlangsung mengenai masa depan pasukan AS di Irak, pembicaraan tersebut ditunda.
Sejak AS secara resmi mengakhiri misi tempurnya di Irak pada tahun 2021, AS telah mengerahkan sekitar 2.500 tentara di sana sebagai bagian dari apa yang disebut personel yang “melatih dan membantu”.
Pemerintah Irak mengumumkan rencana memulai pembicaraan formal dengan Washington mengenai penghentian misi koalisi anti-terorisme pimpinan Amerika di negara itu pada Januari setelah serangan udara AS menewaskan komandan milisi Mushtaq Taleb al-Saidi.
Al-Saidi adalah pemimpin Harakat Hizbullah al-Nujaba, milisi yang berafiliasi dengan Pasukan Mobilisasi Populer Irak yang membantu mengusir kelompok Negara Islam (ISIS) dan teroris lainnya di Suriah dan Irak antara tahun 2013 dan 2017.
Menurut berbagai sumber, terdapat antara 900 dan 2.000 tentara AS di Suriah yang diduga melakukan operasi kontraterorisme melawan ISIS.
Suriah telah berulang kali menuntut agar AS mengakhiri pendudukannya, dan Damaskus serta sekutunya menekankan kehadiran pasukan Amerika adalah “ilegal.”
Tak lama setelah serangan roket tersebut, postingan pada hari Senin di grup Telegram yang berafiliasi dengan Kataib Hezbollah menyatakan, “Apa yang terjadi beberapa waktu lalu adalah permulaan.”
Postingan tersebut menambahkan faksi-faksi bersenjata di Irak bermaksud melanjutkan serangan karena kurangnya kemajuan dalam pembicaraan untuk memfasilitasi keluarnya pasukan AS selama kunjungan Perdana Menteri Irak Mohammed Shia al-Sudani ke AS.
Sejak 7 Oktober 2023, ketika konflik Palestina-Israel meningkat, serangan terhadap pangkalan koalisi internasional pimpinan AS di Irak dan pasukan Amerika di Suriah semakin meningkat, dan kelompok bersenjata Syiah di Irak mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Namun, mengingat pembicaraan yang sedang berlangsung mengenai masa depan pasukan AS di Irak, pembicaraan tersebut ditunda.
Sejak AS secara resmi mengakhiri misi tempurnya di Irak pada tahun 2021, AS telah mengerahkan sekitar 2.500 tentara di sana sebagai bagian dari apa yang disebut personel yang “melatih dan membantu”.
Pemerintah Irak mengumumkan rencana memulai pembicaraan formal dengan Washington mengenai penghentian misi koalisi anti-terorisme pimpinan Amerika di negara itu pada Januari setelah serangan udara AS menewaskan komandan milisi Mushtaq Taleb al-Saidi.
Al-Saidi adalah pemimpin Harakat Hizbullah al-Nujaba, milisi yang berafiliasi dengan Pasukan Mobilisasi Populer Irak yang membantu mengusir kelompok Negara Islam (ISIS) dan teroris lainnya di Suriah dan Irak antara tahun 2013 dan 2017.
Menurut berbagai sumber, terdapat antara 900 dan 2.000 tentara AS di Suriah yang diduga melakukan operasi kontraterorisme melawan ISIS.
Suriah telah berulang kali menuntut agar AS mengakhiri pendudukannya, dan Damaskus serta sekutunya menekankan kehadiran pasukan Amerika adalah “ilegal.”