Terburuk dalam 40 Tahun, Penindasan terhadap Umat Kristen di China Meningkat
loading...
A
A
A
BEIJING - Kekejaman terhadap umat Kristen di China terus meningkat dan mencapai tingkat terburuk dalam 40 tahun, menurut para aktivis dan elemen kristiani di negara tersebut.
Umat Kristen yang tinggal di China menderita berbagai gangguan, penganiayaan, dan penaklukan oleh Partai Komunis China (CCP). Mereka meyakini kampanye sistematis sedang dilaksanakan untuk menghapus agama Kristen dari China.
Umat Kristen di China takut mengungkapkan iman mereka di depan umum karena khawatir terkena pembalasan dari lembaga pemerintah China.
Bob Fu, pendiri ChinaAid, sebuah organisasi hak asasi manusia Kristen internasional, mengatakan bahwa penganiayaan terhadap umat Kristen di China mencapai titik terburuk dalam 40 tahun terakhir, bahkan anak-anak pun dipaksa meninggalkan agama Kristen.
"Tanpa melebih-lebihkan, penganiayaan terhadap umat Kristen dan agama minoritas lainnya telah mencapai tingkat terburuk yang belum pernah kita lihat dalam 40 tahun sejak Revolusi Kebudayaan. Untuk pertama kalinya, kita melihat Partai Komunis menindak gereja secara menyeluruh; secara harfiah menyatakan perang melawan Kekristenan," ucap Bob Fu, seperti dikutip dari laman Directus, Rabu (17/4/2024).
Populasi umat Kristen tampaknya mengalami stagnasi ketika populasi keseluruhan di China meningkat. Menurut Survei Sosial Umum China, sekitar 23,2 juta orang di China mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen pada tahun 2010. Namun, jumlahnya turun menjadi 19,9 juta pada 2018.
Banyak orang Kristen di China sekarang takut mengungkapkan agama mereka karena pembatasan dan pengawasan yang dilakukan CCP, menurut data Pew Research Centre yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS).
Nina Shea, direktur Pusat Kebebasan Beragama di Hudson Institute, mengatakan penurunan jumlah umat Kristen di China bukanlah hal mengejutkan karena tindakan keras Presiden Xi Jinping terhadap Kristen dan agama minoritas lain—yang dikenal sebagai kampanye Sinifisasi.
"Negara telah melarang keras semua anak untuk terpapar agama, gereja-gereja telah dilindungi dengan pengawasan pengenalan wajah dan dikaitkan dengan nilai kredit sosial," kata Shea.
Umat Kristen yang tinggal di China menderita berbagai gangguan, penganiayaan, dan penaklukan oleh Partai Komunis China (CCP). Mereka meyakini kampanye sistematis sedang dilaksanakan untuk menghapus agama Kristen dari China.
Umat Kristen di China takut mengungkapkan iman mereka di depan umum karena khawatir terkena pembalasan dari lembaga pemerintah China.
Bob Fu, pendiri ChinaAid, sebuah organisasi hak asasi manusia Kristen internasional, mengatakan bahwa penganiayaan terhadap umat Kristen di China mencapai titik terburuk dalam 40 tahun terakhir, bahkan anak-anak pun dipaksa meninggalkan agama Kristen.
"Tanpa melebih-lebihkan, penganiayaan terhadap umat Kristen dan agama minoritas lainnya telah mencapai tingkat terburuk yang belum pernah kita lihat dalam 40 tahun sejak Revolusi Kebudayaan. Untuk pertama kalinya, kita melihat Partai Komunis menindak gereja secara menyeluruh; secara harfiah menyatakan perang melawan Kekristenan," ucap Bob Fu, seperti dikutip dari laman Directus, Rabu (17/4/2024).
Populasi umat Kristen tampaknya mengalami stagnasi ketika populasi keseluruhan di China meningkat. Menurut Survei Sosial Umum China, sekitar 23,2 juta orang di China mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Kristen pada tahun 2010. Namun, jumlahnya turun menjadi 19,9 juta pada 2018.
Banyak orang Kristen di China sekarang takut mengungkapkan agama mereka karena pembatasan dan pengawasan yang dilakukan CCP, menurut data Pew Research Centre yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS).
Nina Shea, direktur Pusat Kebebasan Beragama di Hudson Institute, mengatakan penurunan jumlah umat Kristen di China bukanlah hal mengejutkan karena tindakan keras Presiden Xi Jinping terhadap Kristen dan agama minoritas lain—yang dikenal sebagai kampanye Sinifisasi.
"Negara telah melarang keras semua anak untuk terpapar agama, gereja-gereja telah dilindungi dengan pengawasan pengenalan wajah dan dikaitkan dengan nilai kredit sosial," kata Shea.