Pakar Menilai Konflik Palestina-Israel Telah Kehilangan Sentralitasnya

Minggu, 16 Agustus 2020 - 06:00 WIB
loading...
Pakar Menilai Konflik Palestina-Israel Telah Kehilangan Sentralitasnya
Ilustrasi
A A A
RAMALLAH - Nidal Foqaha, Direktur Jenderal Koalisi Perdamaian Palestina-Inisiatif Jenewa di Ramallah menilai konflik Israel-Palestina telah kehilangan sentralitasnya di mata Palestina serta pemain regional dan internasional. Dia menghubungkan perubahan sikap tersebut dengan keretakan antara Fatah dan Hamas dan sejumlah perkembangan global.

Hanya beberapa pekan yang lalu, masalah Palestina menjadi berita utama di seluruh dunia, dipicu oleh rencana Israel untuk memperpanjang kedaulatannya di beberapa bagian Tepi Barat. Tetapi karena inisiatif telah diletakkan di belakang, konflik Israel-Palestina telah kehilangan sentralitasnya, memberi ruang untuk masalah lokal dan regional lainnya.

Di masa lalu, bukan itu masalahnya. Selama hampir satu abad, konflik Israel-Palestina telah berada di garis depan wacana di Timur Tengah, dengan para politisi dan ahli menghubungkan stabilitas regional dengan penyelesaian saga selama puluhan tahun. Begitu pula komunitas internasional. Dari 1945 hingga 2016, PBB mengeluarkan 80 resolusi tentang Israel dan pada 2019 badan internasional membuat 18 deklarasi menentang negara Yahudi, lebih dari dua kali jumlah yang ditujukan ke negara lain.

(Baca: Hamas Kecam Kesepakatan Normalisasi Hubungan UEA-Israel )

Namun, Foqaha mengatakan bahwa minat dan sentralitas perjuangan Palestina telah turun secara signifikan selama beberapa tahun terakhir dan meskipun perubahan tersebut tidak dapat dikaitkan dengan tanggal tertentu. Dia menunjukkan sejumlah faktor regional dan internasional yang berkontribusi pada perubahan tersebut.

Faktor pertama adalah proses perdamaian yang terhenti yang runtuh pada awal tahun 2000-an, ketika Perdana Menteri Israel, Ehud Barak tidak dapat menerima pemimpin Palestina, Yasser Arafat terutama dalam masalah Yerusalem, perbatasan, dan status pengungsi.

Kemudian terjadi pergolakan lagi. Wafatnya Arafat pada tahun 2004 yang meninggalkan Palestina tanpa pemimpin yang kuat. Dua tahun kemudian warga Palestina pergi ke tempat pemungutan suara. Hamas, yang merangkul pendekatan yang lebih agresif terhadap Israel dan mengecam elit penguasa Fatah karena pembicaraan damai dengan negara Yahudi, menang pemilu dan memperoleh 74 dari 123 kursi.

Kemenangan itu memperkuat posisi Hamas dan satu tahun kemudian menggulingkan para pejabat Fatah yang sebelumnya menguasai Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hamas membangun kendali penuh atas daerah itu dan menyebabkan perselisihan dengan Otoritas Palestina (PA), sebuah konflik yang menjadi tempat berlindung kedua faksi.

"Perpecahan itu berdampak buruk pada proyek nasional kami. Kami berjanji kepada rakyat tentang sebuah negara merdeka, tetapi sejauh ini kami gagal menepati kata itu, dan kesenjangan antara kepemimpinan dan warga biasa itu akhirnya merusak kredibilitas kami di mata rakyat Palestina," ucapnya, seperti dilansir Sputnik.

Kata-kata Foqaha didukung oleh angka. Pada tahun 2016, jajak pendapat publik menemukan bahwa 64 persen warga Palestina tidak senang dengan perilaku Presiden Palestina saat ini, Mahmoud Abbas, yang kadang-kadang dianggap bertanggung jawab atas upaya kecil dalam menjembatani kesenjangan antara Fatah dan Hamas.

Pada 2019, survei lain menemukan bahwa dia tidak memiliki peluang melawan para pemimpin seperti Marwan Barghouti yang dipenjara. Barghouti menjalani hukuman seumur hidup karena melakukan serangan teror terhadap Israel. Atau, pemimpin Hamas lainnya, Ismail Haniyeh. Barghouti dan Haniyeh menikmati popularitas publik.

Perpecahan Fatah-Hamas akibat penggulingan PA dari Jalur Gaza juga menimbulkan akibat lain yang mengerikan, yaitu sikap rakyat Palestina di mata dunia internasional. "Itu melemahkan pengaruh kami di arena global, mencegah kami membentuk front persatuan, dan yang tak terelakkan mempengaruhi cara dunia memandang kami," ucapnya.

(Baca: Presiden Palestina Tolak dan Kecam Kesepakatan Israel-Uni Emirat Arab )

Tantangan serupa juga telah diajukan oleh Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Donald Trump yang pada 2019 menghentikan semua bantuan untuk PA, dengan alasan keterlibatannya dalam teror dan beberapa donor Arab yang mengalihkan perhatian mereka dari konflik Israel-Palestina setelah meletusnya Arab Spring pada tahun 2011.

"Kami sekarang menghadapi kenyataan baru. Orang-orang Eropa sibuk dengan pengungsi yang mereka serap dan krisis ekonomi, para pemangku kepentingan regional sekarang melihat kepentingan mereka sendiri, sedangkan di Washington, kami menghadapi pemerintahan yang cukup bias yang menghalangi kami untuk mendapatkan pertolongan apapun," ungkapnya.

Meski begitu, menurut Foqaha, rakyat Palestina tidak akan menyerah pada perjuangan mereka. Tetapi kunci sukses, menurutnya, terletak pada persatuan, bukan perpecahan.

"Kita perlu bergerak menuju kemitraan politik sejati yang menyatukan semua faksi di bawah satu payung. Bahkan jika kita tidak setuju dengan alat masa depan yang akan digunakan untuk mencapai persatuan itu. Hanya dengan begitu kita akan dapat memulihkan citra Organisasi Pembebasan Palestina di mata rakyat kami dan kemudian dunia," tukasnya.
(esn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1781 seconds (0.1#10.140)