Pernyataan Jenderal Seputar 'Kemampuan Tempur Palsu' Soroti Masalah Mendalam di Militer China
loading...
A
A
A
BEIJING - Pernyataan singkat namun bermakna dari seorang Jenderal Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China, yang menyerukan tindakan keras terhadap "kemampuan tempur palsu" di militer, telah mematahkan mitos angkatan bersenjata China sebagai kekuatan tak terkalahkan.
Pernyataan tersebut disampaikan Jenderal He Weidong pada 9 Maret 2024. Pernyataannya juga membuka tirai mengenai terjadinya perebutan kekuasaan tersembunyi di internal jajaran petinggi China.
Mengutip dari European Times pada Sabtu (23/3/2023), Jenderal He Weidong merupakan orang ketiga dalam hierarki Komisi Militer Pusat China, yang dipimpin sendiri oleh Presiden Xi Jinping.
Kantor berita South China Morning Post (SCMP) yang berbasis di Hong Kong, mengutip beberapa analis militer, melaporkan bahwa pernyataan seorang pejabat tinggi militer di tengah upaya pembersihan tentara China baru-baru ini mengindikasikan keaslian dari latihan tempur real-time seperti yang ditegaskan Presiden Xi sejak dia mengambil alih kekuasaan pada 2012-2013.
Pernyataan Jenderal He juga mempertanyakan kualitas dari peralatan yang dimiliki tentara China.
Sejak Xi Jinping mengambil alih jabatan presiden, militer China di semua tingkatan melakukan latihan secara real-time; membagi pasukan menjadi dua kelompok untuk menguji keterampilan tempur mereka.
Para analis mengatakan pesan dari Jenderal He mungkin terkait pengadaan peralatan yang cacat, dan juga penipuan antarbarisan selama pelatihan.
Presiden Xi sangat mengutamakan kesiapan tempur militer karena para prajuritnya belum teruji dalam beberapa dekade terakhir. Dia menyerukan integrasi teknologi tinggi pada angkatan bersenjata, yang sangat penting untuk operasi gabungan, dan menugaskan PLA untuk mempersiapkan "perjuangan militer maritim" serta melindungi hak-hak maritim.
Mantan ahli peralatan PLA China, Fu Qianshao, yang dikutip SCMP, mengatakan bahwa Jenderal He tampaknya merujuk pada pengadaan senjata yang cacat, yang dapat memengaruhi kemampuan tempur militer.
"Senjata dan perlengkapannya harus memenuhi standar teknis. Pemalsuan pasti akan berdampak pada fungsinya," kata Fu.
Istilah “kemampuan tempur palsu” juga bisa merujuk pada latihan “palsu” yang tidak mencapai standar yang disyaratkan, seperti “latihan malam” yang dilakukan sekitar matahari terbenam, yang sering dibicarakan media militer; PLA Daily, dalam beberapa tahun terakhir.
Apa pun alasan di balik komentar Jenderal He, hal ini harus menjadi pesan meyakinkan bagi negara-negara pesisir di Laut China Selatan, di mana China sedang mencoba untuk menegaskan hegemoninya; khususnya Taiwan yang diancam dianeksasi secara paksa oleh China, dan juga India di mana tentara China mengerahkan kekuatannya di perbatasan. Kalau dipikir-pikir, tidak ada satu pun dari negara-negara ini yang perlu dibuat kagum oleh kekuatan tentara China.
Jika Presiden Xi, seperti dilansir SCMP, meragukan kesiapan tempur tentara China dalam beberapa dekade terakhir, kekhawatirannya beralasan. Selain pada 1962, ketika tentara China menikam India dari belakang dengan kedok Perjanjian Panchsheel antara kedua negara, PLA tidak menunjukkan keberhasilan militer apa pun.
Setiap kali tentara China menghadapi tentara India yang telah mempersiapkan diri dengan baik, mereka selalu direndahkan. Pada 1967, tentara China mengalami kekalahan dalam pertempuran Nathu La dan Cho La. Di Galwan pada 2020, tentara China mengalami kerugian besar; meski mereka berhasil mendapatkan beberapa wilayah yang disengketakan dengan secara terang-terangan melanggar serangkaian protokol bilateral antara kedua negara dan memanfaatkan kondisi yang meresahkan selama pandemi Covid-19.
Di Yangtse di sektor Tawang di Arunachal Pradesh, pasukan China dipukul mundur oleh pasukan India yang dipersenjatai data intelijen. Dalam perang singkat China-Vietnam di tahun 1979, tentara China mengalami kekalahan. Bahkan dalam Perang Korea tahun 1950-an, tentara China tidak dapat mencapai banyak hal tanpa bantuan tentara Uni Soviet.
Terjadi setelah pemecatan Menteri Pertahanan China Jenderal Li Shangfu pada 2023 dan pemecatan sembilan jenderal senior lainnya—banyak dari anggota Pasukan Roket yang mengoperasikan kekuatan rudal—pernyataan Jenderal He tentang “kemampuan tempur palsu” mengasumsikan signifikansi tambahan dan menunjukkan masalah yang lebih mendalam di tentara China.
Sebelumnya, pada dekade 2010-an, upaya pemberantasan korupsi yang diluncurkan Presiden Xi telah menargetkan militer dengan puluhan jenderal penting dipecat atau diselidiki.
Pada Desember 2023, pemerintah China juga mencopot tiga eksekutif senior sektor kedirgantaraan dan pertahanan milik negara dari badan penasihat politik utama; Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China.
Para analis mengatakan upaya pemberantasan korupsi di China telah digunakan untuk membungkam kritik terhadap Presiden Xi yang telah memusatkan semua kekuasaan di tangannya sendiri; menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis China, presiden negara tersebut dan Ketua Komisi Militer Pusat.
Khususnya, selama diskusi mengenai PLA pada pertemuan tahunan Kongres Rakyat Nasional selama seminggu pada Maret 2024, terdapat lebih banyak penekanan pada kesetiaan kepada Presiden Xi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Di antara sembilan Jenderal Angkatan Darat yang dipecat, lima komandan tertinggi Pasukan Roket pernah menjadi anggota Kongres Rakyat Nasional dan merupakan bagian dari sejumlah besar anggota militer China yang merupakan bagian dari Partai Komunis China (CCP) yang berkuasa.
Menurut laporan SCMP, hampir semua jenderal senior di Pasukan Roket memiliki reputasi baik. Tampaknya mereka menjadi tidak bermoral setelah promosi, ketika mereka pindah ke Beijing.
Bagi pengamat mana pun, hal ini akan terlihat meragukan: seorang pejabat yang jujur berubah menjadi korup setelah dipromosikan. Penjelasan alternatifnya adalah bahwa sebagian besar kekuatan militer China tidak menyukai pemusatan seluruh kekuasaan di tangan Presiden Xi.
Dalam struktur tentara China yang tidak profesional, di mana perwira militer juga merupakan anggota CCP, kemungkinan besar tentara akan terlibat dalam politik.
Para analis menunjuk pada perebutan kekuasaan antara kubu Presiden Xi dan kubu para pemimpin CCP dan pejabat PLA. Dominasi Presiden Xi di semua bidang kehidupan publik membangkitkan selera akan kekuasaan bagi banyak orang di CCP dan militer China.
Dengan dalih memberantas korupsi atau menanamkan disiplin dalam CCP dan angkatan bersenjata China, Presiden Xi menghancurkan kelompok pro-demokrasi dan mencari kebenaran melalui penuntutan dan hukuman besar-besaran terhadap para pemimpin komunis, pejabat militer, dan pengusaha.
Pernyataan tersebut disampaikan Jenderal He Weidong pada 9 Maret 2024. Pernyataannya juga membuka tirai mengenai terjadinya perebutan kekuasaan tersembunyi di internal jajaran petinggi China.
Mengutip dari European Times pada Sabtu (23/3/2023), Jenderal He Weidong merupakan orang ketiga dalam hierarki Komisi Militer Pusat China, yang dipimpin sendiri oleh Presiden Xi Jinping.
Kantor berita South China Morning Post (SCMP) yang berbasis di Hong Kong, mengutip beberapa analis militer, melaporkan bahwa pernyataan seorang pejabat tinggi militer di tengah upaya pembersihan tentara China baru-baru ini mengindikasikan keaslian dari latihan tempur real-time seperti yang ditegaskan Presiden Xi sejak dia mengambil alih kekuasaan pada 2012-2013.
Pernyataan Jenderal He juga mempertanyakan kualitas dari peralatan yang dimiliki tentara China.
Sejak Xi Jinping mengambil alih jabatan presiden, militer China di semua tingkatan melakukan latihan secara real-time; membagi pasukan menjadi dua kelompok untuk menguji keterampilan tempur mereka.
Para analis mengatakan pesan dari Jenderal He mungkin terkait pengadaan peralatan yang cacat, dan juga penipuan antarbarisan selama pelatihan.
Presiden Xi sangat mengutamakan kesiapan tempur militer karena para prajuritnya belum teruji dalam beberapa dekade terakhir. Dia menyerukan integrasi teknologi tinggi pada angkatan bersenjata, yang sangat penting untuk operasi gabungan, dan menugaskan PLA untuk mempersiapkan "perjuangan militer maritim" serta melindungi hak-hak maritim.
Mantan ahli peralatan PLA China, Fu Qianshao, yang dikutip SCMP, mengatakan bahwa Jenderal He tampaknya merujuk pada pengadaan senjata yang cacat, yang dapat memengaruhi kemampuan tempur militer.
"Senjata dan perlengkapannya harus memenuhi standar teknis. Pemalsuan pasti akan berdampak pada fungsinya," kata Fu.
“Kemampuan Tempur Palsu”
Istilah “kemampuan tempur palsu” juga bisa merujuk pada latihan “palsu” yang tidak mencapai standar yang disyaratkan, seperti “latihan malam” yang dilakukan sekitar matahari terbenam, yang sering dibicarakan media militer; PLA Daily, dalam beberapa tahun terakhir.
Apa pun alasan di balik komentar Jenderal He, hal ini harus menjadi pesan meyakinkan bagi negara-negara pesisir di Laut China Selatan, di mana China sedang mencoba untuk menegaskan hegemoninya; khususnya Taiwan yang diancam dianeksasi secara paksa oleh China, dan juga India di mana tentara China mengerahkan kekuatannya di perbatasan. Kalau dipikir-pikir, tidak ada satu pun dari negara-negara ini yang perlu dibuat kagum oleh kekuatan tentara China.
Jika Presiden Xi, seperti dilansir SCMP, meragukan kesiapan tempur tentara China dalam beberapa dekade terakhir, kekhawatirannya beralasan. Selain pada 1962, ketika tentara China menikam India dari belakang dengan kedok Perjanjian Panchsheel antara kedua negara, PLA tidak menunjukkan keberhasilan militer apa pun.
Setiap kali tentara China menghadapi tentara India yang telah mempersiapkan diri dengan baik, mereka selalu direndahkan. Pada 1967, tentara China mengalami kekalahan dalam pertempuran Nathu La dan Cho La. Di Galwan pada 2020, tentara China mengalami kerugian besar; meski mereka berhasil mendapatkan beberapa wilayah yang disengketakan dengan secara terang-terangan melanggar serangkaian protokol bilateral antara kedua negara dan memanfaatkan kondisi yang meresahkan selama pandemi Covid-19.
Di Yangtse di sektor Tawang di Arunachal Pradesh, pasukan China dipukul mundur oleh pasukan India yang dipersenjatai data intelijen. Dalam perang singkat China-Vietnam di tahun 1979, tentara China mengalami kekalahan. Bahkan dalam Perang Korea tahun 1950-an, tentara China tidak dapat mencapai banyak hal tanpa bantuan tentara Uni Soviet.
Terjadi setelah pemecatan Menteri Pertahanan China Jenderal Li Shangfu pada 2023 dan pemecatan sembilan jenderal senior lainnya—banyak dari anggota Pasukan Roket yang mengoperasikan kekuatan rudal—pernyataan Jenderal He tentang “kemampuan tempur palsu” mengasumsikan signifikansi tambahan dan menunjukkan masalah yang lebih mendalam di tentara China.
Sebelumnya, pada dekade 2010-an, upaya pemberantasan korupsi yang diluncurkan Presiden Xi telah menargetkan militer dengan puluhan jenderal penting dipecat atau diselidiki.
Pada Desember 2023, pemerintah China juga mencopot tiga eksekutif senior sektor kedirgantaraan dan pertahanan milik negara dari badan penasihat politik utama; Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China.
Dominasi Xi Jinping
Para analis mengatakan upaya pemberantasan korupsi di China telah digunakan untuk membungkam kritik terhadap Presiden Xi yang telah memusatkan semua kekuasaan di tangannya sendiri; menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis China, presiden negara tersebut dan Ketua Komisi Militer Pusat.
Khususnya, selama diskusi mengenai PLA pada pertemuan tahunan Kongres Rakyat Nasional selama seminggu pada Maret 2024, terdapat lebih banyak penekanan pada kesetiaan kepada Presiden Xi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Di antara sembilan Jenderal Angkatan Darat yang dipecat, lima komandan tertinggi Pasukan Roket pernah menjadi anggota Kongres Rakyat Nasional dan merupakan bagian dari sejumlah besar anggota militer China yang merupakan bagian dari Partai Komunis China (CCP) yang berkuasa.
Menurut laporan SCMP, hampir semua jenderal senior di Pasukan Roket memiliki reputasi baik. Tampaknya mereka menjadi tidak bermoral setelah promosi, ketika mereka pindah ke Beijing.
Bagi pengamat mana pun, hal ini akan terlihat meragukan: seorang pejabat yang jujur berubah menjadi korup setelah dipromosikan. Penjelasan alternatifnya adalah bahwa sebagian besar kekuatan militer China tidak menyukai pemusatan seluruh kekuasaan di tangan Presiden Xi.
Dalam struktur tentara China yang tidak profesional, di mana perwira militer juga merupakan anggota CCP, kemungkinan besar tentara akan terlibat dalam politik.
Para analis menunjuk pada perebutan kekuasaan antara kubu Presiden Xi dan kubu para pemimpin CCP dan pejabat PLA. Dominasi Presiden Xi di semua bidang kehidupan publik membangkitkan selera akan kekuasaan bagi banyak orang di CCP dan militer China.
Dengan dalih memberantas korupsi atau menanamkan disiplin dalam CCP dan angkatan bersenjata China, Presiden Xi menghancurkan kelompok pro-demokrasi dan mencari kebenaran melalui penuntutan dan hukuman besar-besaran terhadap para pemimpin komunis, pejabat militer, dan pengusaha.
(mas)