Biden Peringatkan Netanyahu: Invasi Israel ke Rafah Akan Menjadi Kesalahan
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memperingatkan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu bahwa invasi darat ke Rafah, Gaza selatan, akan menjadi sebuah kesalahan.
Peringatan ini disampaikan ketika mereka berbicara untuk pertama kalinya dalam sebulan di tengah meningkatnya ketegangan terkait perang di Gaza.
Sebagai tanda meningkatnya tekanan AS ketika jumlah korban tewas di Gaza melonjak dan situasi kemanusiaan memburuk, Netanyahu menyetujui permintaan Biden untuk mengirim tim pejabat tinggi keamanan Israel ke Washington untuk membahas rencana invasi Rafah.
Namun Netanyahu mengatakan dia telah mendesak Biden agar mendukung tujuan perang Israel untuk melenyapkan Hamas—kelompok perlawanan Palestina di balik serangan 7 Oktober terhadap Israel—, menggarisbawahi kesulitan AS dalam memengaruhi sekutu utamanya.
Kedua pemimpin terakhir kali berbicara pada 15 Februari dan Biden telah menunjukkan frustrasi yang semakin besar terhadap Netanyahu, karena khawatir bahwa respons penolakan dalam negeri terhadap perang tersebut dapat merusak peluangnya untuk terpilih kembali dalam pemilihan presiden AS pada November mendatang.
“Presiden menjelaskan mengapa dia sangat prihatin dengan prospek Israel melakukan operasi militer besar-besaran di Rafah,” kata Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan kepada wartawan, Senin, yang dilansir AFP, Selasa (19/3/2024).
“Operasi darat besar-besaran di sana merupakan suatu kesalahan—hal ini akan menyebabkan lebih banyak kematian warga sipil yang tidak bersalah, memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan, memperdalam anarki di Gaza, dan semakin mengisolasi Israel secara internasional," lanjut Sullivan.
Sekitar 1,5 juta orang berlindung di Rafah, sebagian besar dari mereka menjadi pengungsi akibat perang Israel-Hamas di Gaza.
Biden telah meminta Netanyahu selama panggilan telepon agar mengirimkan delegasi ke Amerika Serikat untuk mendengar kekhawatiran AS mengenai rencana invasi Rafah dan menyusun pendekatan alternatif yang melibatkan serangan yang ditargetkan terhadap para pemimpin Hamas.
Peringatan ini disampaikan ketika mereka berbicara untuk pertama kalinya dalam sebulan di tengah meningkatnya ketegangan terkait perang di Gaza.
Sebagai tanda meningkatnya tekanan AS ketika jumlah korban tewas di Gaza melonjak dan situasi kemanusiaan memburuk, Netanyahu menyetujui permintaan Biden untuk mengirim tim pejabat tinggi keamanan Israel ke Washington untuk membahas rencana invasi Rafah.
Namun Netanyahu mengatakan dia telah mendesak Biden agar mendukung tujuan perang Israel untuk melenyapkan Hamas—kelompok perlawanan Palestina di balik serangan 7 Oktober terhadap Israel—, menggarisbawahi kesulitan AS dalam memengaruhi sekutu utamanya.
Kedua pemimpin terakhir kali berbicara pada 15 Februari dan Biden telah menunjukkan frustrasi yang semakin besar terhadap Netanyahu, karena khawatir bahwa respons penolakan dalam negeri terhadap perang tersebut dapat merusak peluangnya untuk terpilih kembali dalam pemilihan presiden AS pada November mendatang.
“Presiden menjelaskan mengapa dia sangat prihatin dengan prospek Israel melakukan operasi militer besar-besaran di Rafah,” kata Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan kepada wartawan, Senin, yang dilansir AFP, Selasa (19/3/2024).
“Operasi darat besar-besaran di sana merupakan suatu kesalahan—hal ini akan menyebabkan lebih banyak kematian warga sipil yang tidak bersalah, memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan, memperdalam anarki di Gaza, dan semakin mengisolasi Israel secara internasional," lanjut Sullivan.
Sekitar 1,5 juta orang berlindung di Rafah, sebagian besar dari mereka menjadi pengungsi akibat perang Israel-Hamas di Gaza.
Biden telah meminta Netanyahu selama panggilan telepon agar mengirimkan delegasi ke Amerika Serikat untuk mendengar kekhawatiran AS mengenai rencana invasi Rafah dan menyusun pendekatan alternatif yang melibatkan serangan yang ditargetkan terhadap para pemimpin Hamas.