Bidik China, Parlemen Eropa Rancang UU Larangan Produk Kerja Paksa

Selasa, 12 Maret 2024 - 16:52 WIB
loading...
Bidik China, Parlemen Eropa Rancang UU Larangan Produk Kerja Paksa
Bidik China, Parlemen Eropa merancang undang-undang larangan produk kerja paksa. Foto/REUTERS
A A A
BRUSSELS - Jajaran anggota Parlemen Uni Eropa telah sepakat untuk membentuk peraturan baru yang melarang kehadiran produk-produk yang dibuat melalui skema kerja paksa.

China selama ini telah dituduh menggunakan praktik kerja paksa di wilayah Xinjiang. Namun karena tidak adanya undang-undang (UU) terkait, tidak ada tindakan yang dapat diambil terhadap hal tersebut.

Sementara itu, deputi delegasi Daerah Otonomi Uighur Xinjiang di Kongres Rakyat Nasional ke-14 China telah membantah tuduhan terjadinya kerja paksa di industri kapas.

Akrem Memetmin, ketua partai di desa Sayimaili di Kabupaten Luntai, Xinjiang selatan, baru-baru ini menyatakan bahwa penduduk desa tidak perlu dipaksa untuk menanam kapas, karena mereka tahu bahwa mereka bisa mendapatkan keuntungan besar.



Untuk memberikan gambaran yang jelas, Wakil Ketua Komite Regional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China di Xinjiang Jin Zhizhen menyatakan bahwa Xinjiang telah menjadi basis produksi terbesar untuk komoditas kapas berkualitas di China sejak tahun 1990-an. Produksi tahunannya telah mencapai lebih dari 5 juta metrik ton selama lima tahun berturut-turut.

Terlepas dari klaim China, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa lainnya melaporkan adanya kerja paksa di Xinjiang. Melalui rancangan UU terbaru Uni Eropa (UE), nantinya negara-negara anggota wajib menyelidiki semua produk—baik yang diimpor atau dibuat di UE—terkait apakah pembuatannya melibatkan kerja paksa.

Kesepakatan penting mengenai masalah ini dicapai antara negosiator Parlemen Eropa dan pemerintah Belgia, yang bertindak atas nama seluruh negara anggota UE.

"Kita perlu menunjukkan kemauan politik dan legislatif, dan menyelesaikan berkas ini sebelum masa jabatan (legislatif) berakhir. Setidaknya 28 juta korban kerja paksa tidak bisa menunggu lebih lama lagi," kata anggota parlemen Belanda Samira Rafaela kepada kantor berita Politico dan dikutip The HK Post, Selasa (12/3/2024).

Rafaela, dari kelompok liberal Renew, bersama-sama memimpin pengerjaan dokumen tersebut di Parlemen Eropa.

Aturan baru ini akan memberdayakan otoritas bea cukai di negara-negara UE untuk menarik produk dari pasar jika produk tersebut diketahui dibuat melalui kerja paksa. Sebagian besar menargetkan China, aturan ini merespons terhadap semakin banyaknya bukti bahwa Beijing menggunakan kerja paksa dan kamp penahanan massal untuk mengendalikan kelompok etnis Uighur di Xinjiang.

Produk Kerja Paksa


Perkembangan ini menjadi semakin penting mengingat fakta bahwa kendaraan merek Volkswagen (VW) disita di AS karena pelanggaran Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA).

BASF, perusahaan Jerman lainnya, mempercepat penjualan Pabrik Petrokimia Xinjiang di tengah tuduhan bahwa ada staf yang membagikan berbagai data kepada pihak berwenang China mengenai komunitas Uighur.

Kekhawatiran serupa juga muncul pada 2020 terhadap pemasok Apple, Lens Technology, yang dituding telah menerapkan kerja paksa. Di tahun yang sama, Institut Kebijakan Strategis Australia dalam laporannya menuduh empat kasus terkait Apple dengan kerja paksa dari rantai pasokan yang berbasis di Xinjiang.

Laporan Kementerian Luar Negeri AS dan Komisaris Hak Asasi Manusia PBB menyoroti penindasan Uighur sebagai genosida dan potensi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Menurut Politico, sebanyak 1,5 juta warga Uighur diyakini telah ditahan di Xinjiang, tempat unit paramiliter—yang oleh para peneliti disebut sebagai badan colonial—mengawasi output ekonomi serta hukum dan ketertiban.

Sebuah laporan baru-baru ini oleh peneliti Adrian Zenz menunjukkan bahwa Xinjiang terus memaksa warga Uighur untuk melakukan kerja paksa, dua tahun setelah laporan PBB yang merinci praktik tersebut.

Para ahli mengatakan bahwa UE tertinggal dibandingkan AS yang telah memberlakukan larangan umum terhadap impor barang-barang kerja paksa dan telah menetapkan peraturan yang secara khusus menargetkan kerja paksa di kalangan Uighur.

Terkait negara-negara lain, Inggris dan Kanada dengan cepat menyesuaikan diri dengan sikap keras AS dalam perdagangan dengan Xinjiang, Brussels, dan sebagian besar negara anggota UE juga mengikuti langkah tersebut. Mereka melakukan itu alih-alih memprioritaskan perjanjian investasi komprehensif dengan China, yang negosiasinya telah selesai pada 2020. Pakta investasi tersebut belum berlaku.

Sementara itu, Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk telah meminta China menerapkan rekomendasi untuk mengubah UU yang melanggar hak-hak dasar, termasuk di wilayah Xinjiang dan Tibet. Human Rights Watch (HRW) dan organisasi masyarakat sipil lainnya telah menyuarakan protes mereka terhadap China mengenai masalah kerja paksa di Xinjiang.

Implementasi Aturan Baru


Badan-badan terkemuka di AS telah menyarankan bahwa usulan peraturan kerja paksa Uni Eropa dapat memberi insentif dan memfasilitasi pencegahan, mitigasi, dan remediasi yang kuat terhadap kerja paksa dalam rantai pasokan.

Sementara itu, pejabat tinggi Partai Komunis China (CCP) di Xinjiang mengatakan bahwa Islam "tidak dapat dihindari" untuk menjadi lebih “China” di wilayah barat laut negara tersebut yang mayoritas penduduknya Muslim, di mana Beijing dituduh telah melanggar hak asasi manusia.

"Semua orang tahu bahwa Islam di Xinjiang perlu disinisasi. Ini adalah tren yang tidak bisa dihindari," kata ketua partai regional Ma Xingrui.

Presiden China Xi Jinping selama ini telah menganjurkan "Sinisisasi" agama, termasuk Islam, Buddha, dan Kristen. Analisis lembaga pemikir Australia memperkirakan bahwa sejak tahun 2017, lebih dari dua pertiga masjid di Xinjiang mengalami kerusakan atau hancur total.

Namun, semua perhatian tertuju pada Komisi Eropa mengenai bentuk dari undang-undang praktik kerja paksa ini.

Pertanyaan lain adalah, apakah aturan terbaru UE dalam melarang barang-barang impor yang dibuat dengan menggunakan kerja paksa akan lebih lemah dibandingkan undang-undang AS yang ada saat ini? Dan kapan aturan terbaru ini bisa diterapkan? Apakah dalam waktu dekat, atau masih jauh di masa mendatang.
(mas)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1096 seconds (0.1#10.140)