Prevalensi HIV di Kalangan Pria Gay di Indonesia Meningkat Tajam

Senin, 02 Juli 2018 - 15:39 WIB
Prevalensi HIV di Kalangan Pria Gay di Indonesia Meningkat Tajam
Prevalensi HIV di Kalangan Pria Gay di Indonesia Meningkat Tajam
A A A
JAKARTA - Sebuah laporan dari Human Rights Watch (HRW) mengungkap prevalensi HIV di kalangan pria gay di Indonesia meningkat tajam. HRW menyebut marjinalisasi komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di negara ini telah memicu epidemi penyakit tersebut.

Laporan kelompok HAM itu menyatakan, prevalensi HIV di kalangan pria gay di Indonesia telah meningkat dari 5 persen sejak 2007, menjadi 25 persen pada tahun 2015. Peningkatan prevalensi itu terjadi justru pada saat pemerintah membuat terobosan untuk memerangi virus mematikan tersebut pada populasi yang lebih luas.

"Ini akan sangat merusak bagi Indonesia," kata Andreas Harsono peneliti dari HRW. "Ini mungkin membawa Indonesia 20-30 tahun kembali ke 1980-an ketika virus HIV/AIDS masih baru," ujarnya.

HRW, dalam laporannya, menyalahkan "kepanikan moral" baru-baru ini terhadap komunitas LGBT.

Pada tahun 2017, lebih dari 300 orang LGBT ditangkap selama serangan "tidak sah" oleh polisi dan kelompok militan Islamis. Menurut HRW, angka itu merupakan jumlah tertinggi yang pernah ada.

Beberapa dari mereka yang ditangkap diarak telanjang di depan media. Kondom digunakan sebagai bukti, yang menurut HRW akan semakin mengecilkan penggunaannya.

Di wilayah Aceh tahun lalu, dua pria secara terbuka dicambuk masing-masing 83 kali setelah tertangkap berhubungan seks.

Asosiasi profesional nasional untuk psikiater telah menyatakan bahwa menjadi gay atau transgender adalah "penyakit mental".

Sebuah jajak pendapat tahun 2016 menunjukkan 26 persen orang Indonesia tidak menyukai orang LGBT. Angka itu menjadikan mereka kelompok yang paling tidak disukai di negara ini, menyalip komunis dan orang Yahudi.

HRW juga menyoroti serangan verbal dari pemerintah dan tokoh agama yang secara teratur terhadap komunitas transgender di Indonesia.

"Diskriminasi adalah alasan orang menganggap kami sebagai penyakit. Mereka mengira kami adalah kutukan," kata Dimas Alphareza, 30, seorang petugas penjangkauan di komunitas LGBT.

Dia mengatakan telah menjadi sangat sulit untuk menjangkau orang-orang yang rentan di komunitasnya. "Mereka takut dipukuli," katanya.

"Misalnya, kami membuat janji melalui media sosial untuk bertemu, mengatur waktu dan tempat, tetapi ketika kami sampai di sana orang itu tidak muncul," ujarnya.

Alphareza menjalankan klinik pop-up, di mana orang bisa mendapatkan tes HIV tanpa pertanyaan. Menurutnya, telah terjadi peningkatan dramatis dalam jumlah infeksi baru HIV sejak tahun lalu.

"Dari 20 orang yang diuji, sembilan dari mereka ditemukan telah terinfeksi (dengan HIV)," katanya.

Bintang, nama samaran, menemukan diirinya terinfeksi HIV pada tahun 2015, yang kala itu usianya baru 20 tahun.

Menurutnya, dia dikirim ke pondok pesantren oleh orangtuanya karena dia dianggap terlalu "lunak dan feminin".

"Kami tidak pernah diajarkan apa pun tentang HIV, tidak seperti sekolah-sekolah negeri di mana mereka akan berbicara dengan para ahli dari universitas dan sejenisnya ... saya sangat jauh dari pendidikan seks dalam bentuk apa pun," katanya.

Pria lain dengan nama samaran Rangga, 32, telah hidup dengan HIV sejak 2013. Dia menggambarkan sikap yang mengkhawatirkan terhadap perilaku seks di dalam komunitas gay.

"Mereka terus mengatakan 'tidak terasa enak dengan kondom'," katanya. "Tetapi mereka tidak dilengkapi dengan pengetahuan tentang bahaya (jika) tidak memakainya dan tentu saja mereka akan terkena HIV," ujarnya.

Menurut laporan yang dikutip ABC pada Senin (2/7/2018), akhir bulan lalu, Australia mengumumkan dana tambahan AUD1,3 juta untuk penanggulangan AIDS di Indonesia, Kamboja, Laos dan Papua Nugini (PNG).
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3425 seconds (0.1#10.140)