Militer AS Cari Cara Kalahkan China di Indo-Pasifik
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) sedang merombak pengerahan militernya di kawasan Indo-Pasifik untuk memastikan mereka memiliki daya tembak dan pasukan yang cukup untuk melawan dan mengalahkan ancaman apa pun dari China .
Kepala Staf Angkatan Darat AS Jenderal James McConville mengatakan hal tersebut pada forum online yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington. Menurutnya, tinjauan ini menjadikan "tembakan presisi jarak jauh" sebagai prioritas utama dan sedang mencari opsi untuk mendasarkan sistem senjata semacam itu di Indo-Pasifik sebagai bagian dari strategi pencegahan Amerika .
"Perubahan akan memungkinkan kita untuk mengalahkan musuh potensial seperti China dan Rusia," katanya, yang menambahkan langkah itu juga akan mencakup pembentukan gugus tugas semua domain gabungan.
Komentar McConville muncul setelah komandan Korps Marinir AS Jenderal David Berger mengatakan pada Maret lalu dalam rencana "Force Design 2030"-nya. Dalam paparannya, dia ingin mengurangi peran marinir dalam perang darat dan menyerahkan sebagian besar tanggung jawab itu kepada pasukan reguler. (Baca: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan )
Sementara itu, Garda Nasional Angkatan Darat AS mengatakan akan memindahkan sebagian besar brigade di bawah komando delapan markas divisi untuk meningkatkan kekuatan tempur pasukan darat di wilayah tersebut. Rencana Garda Nasional itu juga dilaporkan surat kabar militer AS; Stars and Stripes, pada 1 Agustus lalu.
Song Zhongping, seorang ahli militer yang berbasis di Hong Kong, mengatakan perombakan itu adalah bagian dari strategi Indo-Pasifik Presiden AS Donald Trump untuk mengekang China.
"AS ingin memperkuat kemampuan serangannya dengan mengintegrasikan sistem daya tembaknya di darat, udara, laut, dan luar angkasa, dan menggabungkannya dengan pasukannya dalam sistem tempur operasi gabungan yang kuat," katanya.
"Tujuannya adalah untuk memblokir semua saluran di Laut China Timur dan Laut China Selatan dan bekerja dengan sekutu regionalnya untuk menghentikan armada PLA (Tentara Pembebasan Rakyat) dari melanggar 'rantai pulau pertama' yang didirikan oleh Washington (selama Perang Dingin)," paparnya, seperti dikutip dari South China Morning Post, Selasa (11/8/2020).
Dalam perjalanannya ke Tokyo bulan lalu, Berger membahas dengan mitranya dari Jepang tentang kemungkinan penempatan unit marinir AS di Okinawa.
Menurut Berger, unit marinir itu akan dipersenjatai dengan rudal anti-kapal dan pertahanan udara, dan akan bekerja sama dengan pasukan Jepang untuk mencegah militer China mudah mengakses Pasifik.
Menurut laporan Stars and Stripes, militer AS juga telah melakukan latihan yang melibatkan pengerahan sekitar selusin jet tempur siluman F-35B Lightning II Joint Strike Fighters di USS America, sebuah kapal serbu amfibi.
Pakar Angkatan Laut yang berbasis di Beijing, Li Jie, mengatakan eksperimen itu merupakan tanggapan terhadap perluasan kapasitas tempur Angkatan Laut dan Angkatan Udara PLA.
"AS khawatir armadanya akan diusir dari Pasifik barat," katanya. (Baca juga: China Balas Pompeo: Laut China Selatan Bukan Hawaii-nya AS )
PLA, kata Li, memiliki daya tembak yang cukup untuk menghadapi armada Amerika jika terjadi pertempuran lepas pantai.
"Sistem roket peluncuran ganda Tipe PCL191 China, yang memiliki jangkauan hingga 400 km (250 mil), dan peluncur roket lainnya adalah opsi berbiaya rendah paling efisien untuk menangani konflik head-to-head," katanya.
"PLA juga mengembangkan sistem radar gelombang permukaan frekuensi tinggi baru untuk mendeteksi jet tempur siluman seperti F-35, dan senjata perang elektronik canggih lainnya."
Song Zhongping mengatakan kesulitan terbesar yang mungkin dihadapi AS dengan strategi penahanannya adalah mempertahankan kerja sama dengan sekutunya.
"Tindakan balasan terbaik Beijing adalah mengganggu aliansi itu," katanya.
"Saat ini, hanya Australia yang mendengarkan AS. Sekutu lainnya, seperti Jepang, Singapura, Filipina, dan anggota ASEAN lainnya (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) belum memutuskan apa yang harus dilakukan karena mereka tidak mau untuk memihak Beijing dan Washington," imbuh dia.
Kepala Staf Angkatan Darat AS Jenderal James McConville mengatakan hal tersebut pada forum online yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington. Menurutnya, tinjauan ini menjadikan "tembakan presisi jarak jauh" sebagai prioritas utama dan sedang mencari opsi untuk mendasarkan sistem senjata semacam itu di Indo-Pasifik sebagai bagian dari strategi pencegahan Amerika .
"Perubahan akan memungkinkan kita untuk mengalahkan musuh potensial seperti China dan Rusia," katanya, yang menambahkan langkah itu juga akan mencakup pembentukan gugus tugas semua domain gabungan.
Komentar McConville muncul setelah komandan Korps Marinir AS Jenderal David Berger mengatakan pada Maret lalu dalam rencana "Force Design 2030"-nya. Dalam paparannya, dia ingin mengurangi peran marinir dalam perang darat dan menyerahkan sebagian besar tanggung jawab itu kepada pasukan reguler. (Baca: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan )
Sementara itu, Garda Nasional Angkatan Darat AS mengatakan akan memindahkan sebagian besar brigade di bawah komando delapan markas divisi untuk meningkatkan kekuatan tempur pasukan darat di wilayah tersebut. Rencana Garda Nasional itu juga dilaporkan surat kabar militer AS; Stars and Stripes, pada 1 Agustus lalu.
Song Zhongping, seorang ahli militer yang berbasis di Hong Kong, mengatakan perombakan itu adalah bagian dari strategi Indo-Pasifik Presiden AS Donald Trump untuk mengekang China.
"AS ingin memperkuat kemampuan serangannya dengan mengintegrasikan sistem daya tembaknya di darat, udara, laut, dan luar angkasa, dan menggabungkannya dengan pasukannya dalam sistem tempur operasi gabungan yang kuat," katanya.
"Tujuannya adalah untuk memblokir semua saluran di Laut China Timur dan Laut China Selatan dan bekerja dengan sekutu regionalnya untuk menghentikan armada PLA (Tentara Pembebasan Rakyat) dari melanggar 'rantai pulau pertama' yang didirikan oleh Washington (selama Perang Dingin)," paparnya, seperti dikutip dari South China Morning Post, Selasa (11/8/2020).
Dalam perjalanannya ke Tokyo bulan lalu, Berger membahas dengan mitranya dari Jepang tentang kemungkinan penempatan unit marinir AS di Okinawa.
Menurut Berger, unit marinir itu akan dipersenjatai dengan rudal anti-kapal dan pertahanan udara, dan akan bekerja sama dengan pasukan Jepang untuk mencegah militer China mudah mengakses Pasifik.
Menurut laporan Stars and Stripes, militer AS juga telah melakukan latihan yang melibatkan pengerahan sekitar selusin jet tempur siluman F-35B Lightning II Joint Strike Fighters di USS America, sebuah kapal serbu amfibi.
Pakar Angkatan Laut yang berbasis di Beijing, Li Jie, mengatakan eksperimen itu merupakan tanggapan terhadap perluasan kapasitas tempur Angkatan Laut dan Angkatan Udara PLA.
"AS khawatir armadanya akan diusir dari Pasifik barat," katanya. (Baca juga: China Balas Pompeo: Laut China Selatan Bukan Hawaii-nya AS )
PLA, kata Li, memiliki daya tembak yang cukup untuk menghadapi armada Amerika jika terjadi pertempuran lepas pantai.
"Sistem roket peluncuran ganda Tipe PCL191 China, yang memiliki jangkauan hingga 400 km (250 mil), dan peluncur roket lainnya adalah opsi berbiaya rendah paling efisien untuk menangani konflik head-to-head," katanya.
"PLA juga mengembangkan sistem radar gelombang permukaan frekuensi tinggi baru untuk mendeteksi jet tempur siluman seperti F-35, dan senjata perang elektronik canggih lainnya."
Song Zhongping mengatakan kesulitan terbesar yang mungkin dihadapi AS dengan strategi penahanannya adalah mempertahankan kerja sama dengan sekutunya.
"Tindakan balasan terbaik Beijing adalah mengganggu aliansi itu," katanya.
"Saat ini, hanya Australia yang mendengarkan AS. Sekutu lainnya, seperti Jepang, Singapura, Filipina, dan anggota ASEAN lainnya (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) belum memutuskan apa yang harus dilakukan karena mereka tidak mau untuk memihak Beijing dan Washington," imbuh dia.
(min)