Arab Saudi-Prancis Kembangkan Proyek Al-Ula
A
A
A
PARIS - Arab Saudi dan Prancis segera menyepakati pembangunan awal proyek pariwisata Al-Ula yang menampilkan sejarah Saudi. Kesepakatan itu bagian dari upaya Saudi mengembangkan industri baru untuk mengalihkan ketergantungan pada ekspor minyak. Kesepakatan itu akan ditandatangani pada Selasa (10/4) saat kunjungan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman ke Prancis.
Meski Pangeran Mohammed tidak akan menandatangani kontrak besar selama lawatan tiga hari, proyek Al-Ula bertujuan memberi peluang Prancis menggunakan kepakarannya di bidang pariwisata untuk membangun basis di proyek yang akan bernilai miliaran dolar untuk dikembangkan.
Al-Ula merupakan kawasan seukuran Belgia, terbentang sekitar 22.500 km persegi, sekitar 1.000 km barat ibu kota Riyadh. Kawasan itu dikenal untuk situs bersejarah seperti Mada’in Saleh, kota Nabatean berumur 2.000 tahun. Kota itu diukir di bebatuan di gurun utara. Di lokasi itu para arkeolog Prancis telah melakukan penggalian untuk penelitian selama lebih 15 tahun.
Wilayah itu juga mmeiliki kamp-kamp Roma, ukiran batu, situs warisan Islam dan sisa awal abad 20 jalan raya Hijaz Ottoman yang terbentang dari Damaskus ke Medinah. “Al-Ula berdiri sebagai kanvas udara terbuka dan ini tergantung pada kita untuk menggambar sesuatu menggunakan kepakaran Prancis,” papar Amr al-Madani, chief executive officer (CEO) Komisi Kerajaan untuk Al-Ula, pada para jurnalis di Paris, kemarin, dikutip kantor berita Reuters.
Kontrak antarpemerintah yang diperbarui kembali dalam 10 tahun itu meliputi pembentukan badan yang dikelola Prancis dan didanai Arab Saudi yang akan bekerja untuk penggalian arkeologi, pengembangan konsep museum dan rencana pembangunan sejumlah infrastruktur dan hotel.
Prancis telah memiliki kesepakatan lebih kecil dengan Abu Dhabi yang membuat Uni Emirat Arab (UEA) membayar museum Louvre sebesar 1 miliar euro untuk menggunakan brand mereka selama 30 tahun.
Madani menolak memberikan rincian keuangan dalam proyek tersebut meski demikian, berbagai tujuannya untuk menarik sekitar 1,5 juta hingga 2,5 juta turis per tahun. Rencana Saudi untuk menarik lebih banyak turis dari luar negeri telah dibahas selama beberapa tahun tapi dihalangi oleh pendapat yang konservatif dan birokrasi yang lama.
Saat ini, pemerintah Saudi tempaknya berupaya mendorong perubahan, terutama karena tekanan keuangan akibat turunnya harga minyak global. Saudi berharap dapat menghasilkan miliaran dolar untuk menutupi defisit anggaran negara akibat jatuhnya harga minyak.
Reformasi ekonomi itu bertujuan meningkatkan belanja pariwisata di Saudi, baik oleh warga lokal atau warga asing menjadi USD46,6 miliar pada 2020 dari USD27,9 miliar pada 2015. “Misi yang saya berikan ialah memastikan pengetahuan terbarik Prancis digunakan dalam proyek ini,” ujar Gerard Mestrallet, mantan CEO perusahaan energi Engie yang ditunjuk Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mendorong proyek itu.
Sementara itu, Pangeran Mohammed membatalkan rancana kunjungan ke kampus untuk startup teknologi di Paris. Kunjungan itu seharusnya dapat menegaskan hubungan teknologi antara Prancis dan Saudi yang semakin kuat.
Kunjungan Pangeran Mohammed ke Prancis itu dilakukan saat hubungan antara kedua negara semakin rumit, termasuk tentang cara mengatasi peran regional Iran. “Telah diputuskan untuk tetap mengerjakan sejumlah proyek entrepreneurship Prancis-Saudi sebelum kunjungan tingkat tinggi,” papar sumber pemerintah Prancis.
Pangeran Mohammed, 32, dan Presiden Macron telah menggambarkan diri mereka sebagai tokoh muda dengan pesan modernisasi yang dengan kuat ditangkap oleh para pemuda Saudi dan Prancis.
Pembatalan kunjungan Pangeran Mohammed ke Stasion F tampaknya membuat kecewa Macron, terutama setelah putra mahkota mengunjungi Silicon Valley di Amerika Serikat (AS) pekan lalu. Station F merupakan inkubator startup terbesar Eropa yang didirikan miliarder Xavier Neil.
Station F dipimpin oleh warga keturunan Iran-Amerika Roxanne Varza yang sebelumnya bekerja di TechCrunch France dan Microsoft Ventures. Pangeran bertemu menteri luar negeri dan menteri pertahanan Prancis serta menghadiri acara di Institute of the Arab World pada malam kemarin. (Syarifudin)
Meski Pangeran Mohammed tidak akan menandatangani kontrak besar selama lawatan tiga hari, proyek Al-Ula bertujuan memberi peluang Prancis menggunakan kepakarannya di bidang pariwisata untuk membangun basis di proyek yang akan bernilai miliaran dolar untuk dikembangkan.
Al-Ula merupakan kawasan seukuran Belgia, terbentang sekitar 22.500 km persegi, sekitar 1.000 km barat ibu kota Riyadh. Kawasan itu dikenal untuk situs bersejarah seperti Mada’in Saleh, kota Nabatean berumur 2.000 tahun. Kota itu diukir di bebatuan di gurun utara. Di lokasi itu para arkeolog Prancis telah melakukan penggalian untuk penelitian selama lebih 15 tahun.
Wilayah itu juga mmeiliki kamp-kamp Roma, ukiran batu, situs warisan Islam dan sisa awal abad 20 jalan raya Hijaz Ottoman yang terbentang dari Damaskus ke Medinah. “Al-Ula berdiri sebagai kanvas udara terbuka dan ini tergantung pada kita untuk menggambar sesuatu menggunakan kepakaran Prancis,” papar Amr al-Madani, chief executive officer (CEO) Komisi Kerajaan untuk Al-Ula, pada para jurnalis di Paris, kemarin, dikutip kantor berita Reuters.
Kontrak antarpemerintah yang diperbarui kembali dalam 10 tahun itu meliputi pembentukan badan yang dikelola Prancis dan didanai Arab Saudi yang akan bekerja untuk penggalian arkeologi, pengembangan konsep museum dan rencana pembangunan sejumlah infrastruktur dan hotel.
Prancis telah memiliki kesepakatan lebih kecil dengan Abu Dhabi yang membuat Uni Emirat Arab (UEA) membayar museum Louvre sebesar 1 miliar euro untuk menggunakan brand mereka selama 30 tahun.
Madani menolak memberikan rincian keuangan dalam proyek tersebut meski demikian, berbagai tujuannya untuk menarik sekitar 1,5 juta hingga 2,5 juta turis per tahun. Rencana Saudi untuk menarik lebih banyak turis dari luar negeri telah dibahas selama beberapa tahun tapi dihalangi oleh pendapat yang konservatif dan birokrasi yang lama.
Saat ini, pemerintah Saudi tempaknya berupaya mendorong perubahan, terutama karena tekanan keuangan akibat turunnya harga minyak global. Saudi berharap dapat menghasilkan miliaran dolar untuk menutupi defisit anggaran negara akibat jatuhnya harga minyak.
Reformasi ekonomi itu bertujuan meningkatkan belanja pariwisata di Saudi, baik oleh warga lokal atau warga asing menjadi USD46,6 miliar pada 2020 dari USD27,9 miliar pada 2015. “Misi yang saya berikan ialah memastikan pengetahuan terbarik Prancis digunakan dalam proyek ini,” ujar Gerard Mestrallet, mantan CEO perusahaan energi Engie yang ditunjuk Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mendorong proyek itu.
Sementara itu, Pangeran Mohammed membatalkan rancana kunjungan ke kampus untuk startup teknologi di Paris. Kunjungan itu seharusnya dapat menegaskan hubungan teknologi antara Prancis dan Saudi yang semakin kuat.
Kunjungan Pangeran Mohammed ke Prancis itu dilakukan saat hubungan antara kedua negara semakin rumit, termasuk tentang cara mengatasi peran regional Iran. “Telah diputuskan untuk tetap mengerjakan sejumlah proyek entrepreneurship Prancis-Saudi sebelum kunjungan tingkat tinggi,” papar sumber pemerintah Prancis.
Pangeran Mohammed, 32, dan Presiden Macron telah menggambarkan diri mereka sebagai tokoh muda dengan pesan modernisasi yang dengan kuat ditangkap oleh para pemuda Saudi dan Prancis.
Pembatalan kunjungan Pangeran Mohammed ke Stasion F tampaknya membuat kecewa Macron, terutama setelah putra mahkota mengunjungi Silicon Valley di Amerika Serikat (AS) pekan lalu. Station F merupakan inkubator startup terbesar Eropa yang didirikan miliarder Xavier Neil.
Station F dipimpin oleh warga keturunan Iran-Amerika Roxanne Varza yang sebelumnya bekerja di TechCrunch France dan Microsoft Ventures. Pangeran bertemu menteri luar negeri dan menteri pertahanan Prancis serta menghadiri acara di Institute of the Arab World pada malam kemarin. (Syarifudin)
(nfl)