6 Alasan Lebanon Jadi Tempat yang Terbaik bagi Pengungsi dan Pemimpin Hamas
loading...
A
A
A
Namun sebanyak 475.000 warga Palestina terdaftar di UNRWA di Lebanon.
Foto/Reuters
Kepadatan penduduk, kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan menjadi ciri khas kamp-kamp tersebut.
Kebanyakan warga Palestina dilarang mendapatkan kartu identitas yang diperlukan untuk mengakses sebagian besar pekerjaan atau layanan sosial. Sebaliknya, ketika Lebanon berupaya menjaga keseimbangan sektariannya yang rapuh, mereka harus bergantung pada UNRWA untuk menyediakan banyak kebutuhan hidup sehari-hari.
Foto/Reuters
Warga Palestina pertama kali tiba di Lebanon dalam jumlah besar pada tahun 1948 setelah berdirinya Israel.
Jumlah awal pengungsi ini diperkuat oleh kedatangan pengungsi setelah perang Arab-Israel tahun 1967, yang mengakibatkan Israel menduduki lebih banyak wilayah Palestina. Yang terbaru datang dari mereka yang melarikan diri dari pertempuran di Suriah.
Foto/Reuters
Pada akhir tahun 1960-an, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berperang melawan Israel di beberapa bidang. Pada prinsipnya, organisasi ini beroperasi di Yordania, tempat sekitar dua juta pengungsi terdaftar, dan di Lebanon, di mana kondisi yang buruk, infrastruktur yang tidak ada, dan akomodasi di bawah standar turut menyebarkan rasa ketidakadilan.
Foto/Reuters
Menyusul serangkaian bentrokan antara militer Lebanon dan milisi Palestina yang bersenjata lengkap pada tahun 1968 dan 1969, militer Lebanon menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Kairo.
Meskipun hal ini dijaga ketat, perjanjian tersebut memberikan otonomi kepada Palestina atas administrasi kamp-kamp serta hak untuk melanjutkan perjuangan bersenjata dari Lebanon.
Tak lama setelah perjanjian ditandatangani, PLO diusir dari Yordania, tempat mereka membantu melakukan pemberontakan melawan raja, ke kamp-kamp Lebanon di mana mereka menikmati kebebasan yang lebih besar untuk beroperasi.
Sepanjang tahun 1970-an, para pemimpin PLO dan faksi-faksinya yang berbasis di Lebanon berulang kali menjadi sasaran upaya pembunuhan Israel.
3. Padat, Miskin dan Pengangguran Bukan Jadi Penghalang
Foto/Reuters
Kepadatan penduduk, kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan menjadi ciri khas kamp-kamp tersebut.
Kebanyakan warga Palestina dilarang mendapatkan kartu identitas yang diperlukan untuk mengakses sebagian besar pekerjaan atau layanan sosial. Sebaliknya, ketika Lebanon berupaya menjaga keseimbangan sektariannya yang rapuh, mereka harus bergantung pada UNRWA untuk menyediakan banyak kebutuhan hidup sehari-hari.
4. Mulai Berlindung sejak 1948
Foto/Reuters
Warga Palestina pertama kali tiba di Lebanon dalam jumlah besar pada tahun 1948 setelah berdirinya Israel.
Jumlah awal pengungsi ini diperkuat oleh kedatangan pengungsi setelah perang Arab-Israel tahun 1967, yang mengakibatkan Israel menduduki lebih banyak wilayah Palestina. Yang terbaru datang dari mereka yang melarikan diri dari pertempuran di Suriah.
5. Sebagai Markas PLO
Foto/Reuters
Pada akhir tahun 1960-an, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berperang melawan Israel di beberapa bidang. Pada prinsipnya, organisasi ini beroperasi di Yordania, tempat sekitar dua juta pengungsi terdaftar, dan di Lebanon, di mana kondisi yang buruk, infrastruktur yang tidak ada, dan akomodasi di bawah standar turut menyebarkan rasa ketidakadilan.
6. Memiliki Kebebasan Keamanan
Foto/Reuters
Menyusul serangkaian bentrokan antara militer Lebanon dan milisi Palestina yang bersenjata lengkap pada tahun 1968 dan 1969, militer Lebanon menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Kairo.
Meskipun hal ini dijaga ketat, perjanjian tersebut memberikan otonomi kepada Palestina atas administrasi kamp-kamp serta hak untuk melanjutkan perjuangan bersenjata dari Lebanon.
Tak lama setelah perjanjian ditandatangani, PLO diusir dari Yordania, tempat mereka membantu melakukan pemberontakan melawan raja, ke kamp-kamp Lebanon di mana mereka menikmati kebebasan yang lebih besar untuk beroperasi.
Sepanjang tahun 1970-an, para pemimpin PLO dan faksi-faksinya yang berbasis di Lebanon berulang kali menjadi sasaran upaya pembunuhan Israel.