AS Kesal China Terus-menerus Dukung Putin dalam Perang Ukraina
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) menyampaikan kekesalannya kepada China, yang dianggap terus-menerus mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dalam perangnya di Ukraina.
Respons Washington muncul ketika Putin berkunjung ke China pada Kamis, yang disambut hangat para pemimpin rezim komunis.
“Jika China ingin menjalin hubungan baik dengan Eropa dan negara-negara lain, hal ini tidak bisa terus menjadi ancaman terbesar terhadap keamanan Eropa,” kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS kepada Newsweek tanpa disebutkan namanya, Jumat (17/5/2024).
Dia menekankan bahwa ini bukan hanya sikap Washington, namun juga Uni Eropa, NATO, dan G7.
Kunjungan Putin, yang merupakan perjalanan internasional resmi pertamanya sejak terpilih untuk masa jabatan kelima sebagai presiden Rusia, terjadi ketika invasi Moskow ke Ukraina memasuki tahun ketiga—dan ketika AS serta negara-negara Barat lainnya berusaha untuk lebih mengisolasi Moskow di tengah kemajuan perang pasukan Rusia.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS itu mengatakan Rusia akan bersusah payah melanjutkan perangnya melawan Ukraina tanpa dukungan China.
“Tidak ada negara yang boleh memberikan platform kepada Putin untuk mempromosikan perang agresi terhadap Ukraina,” katanya.
“Kita tidak bisa kembali menjalankan urusan seperti biasa atau menutup mata terhadap pelanggaran hukum internasional yang jelas-jelas dilakukan Rusia di Ukraina. Perlu ada akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang," paparnya.
Jonathan Ward, peneliti senior di lembaga think tank Hudson Institute yang berbasis di Washington, D.C., mengatakan kepada Newsweek bahwa kunjungan Putin mencerminkan hubungan yang semakin erat antara Rusia dan China.
Respons Washington muncul ketika Putin berkunjung ke China pada Kamis, yang disambut hangat para pemimpin rezim komunis.
“Jika China ingin menjalin hubungan baik dengan Eropa dan negara-negara lain, hal ini tidak bisa terus menjadi ancaman terbesar terhadap keamanan Eropa,” kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS kepada Newsweek tanpa disebutkan namanya, Jumat (17/5/2024).
Dia menekankan bahwa ini bukan hanya sikap Washington, namun juga Uni Eropa, NATO, dan G7.
Kunjungan Putin, yang merupakan perjalanan internasional resmi pertamanya sejak terpilih untuk masa jabatan kelima sebagai presiden Rusia, terjadi ketika invasi Moskow ke Ukraina memasuki tahun ketiga—dan ketika AS serta negara-negara Barat lainnya berusaha untuk lebih mengisolasi Moskow di tengah kemajuan perang pasukan Rusia.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS itu mengatakan Rusia akan bersusah payah melanjutkan perangnya melawan Ukraina tanpa dukungan China.
“Tidak ada negara yang boleh memberikan platform kepada Putin untuk mempromosikan perang agresi terhadap Ukraina,” katanya.
“Kita tidak bisa kembali menjalankan urusan seperti biasa atau menutup mata terhadap pelanggaran hukum internasional yang jelas-jelas dilakukan Rusia di Ukraina. Perlu ada akuntabilitas bagi mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang," paparnya.
Jonathan Ward, peneliti senior di lembaga think tank Hudson Institute yang berbasis di Washington, D.C., mengatakan kepada Newsweek bahwa kunjungan Putin mencerminkan hubungan yang semakin erat antara Rusia dan China.