Doa dan Pesan Sang Ibu Arouri setelah Wakil Kepala Hamas Tewas Dibom Israel
loading...
A
A
A
BEIRUT - Saleh al-Arouri, wakil kepala biro politik Hamas, dibunuh pada Selasa (2/1/2024) oleh drone Israel saat berada di kantor di pinggiran selatan Beirut Barat, Lebanon.
Segera setelah berita kematiannya menyebar, protes spontan pecah di beberapa kota di Tepi Barat dan di desa kelahirannya, Aroura, yang terletak dekat Ramallah.
Para jurnalis segera menghubungi keluarga al-Arouri dan berhasil berbicara dengan ibunya yang berusia 82 tahun, Aisha.
Meski dilanda kesedihan, wanita tegar tersebut mengatakan kepada dunia betapa bangganya dia atas keputusan putranya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pembebasan Palestina.
“Semoga Allah meridhoi dia. Setiap kali seorang pemimpin meninggal, muncullah pemimpin baru dan menjadi lebih baik. Allah Maha Pemurah,” ungkap Aisha.
“Saya tidak bertemu dengannya (Saleh) selama 20 tahun atau lebih. Mereka mengasingkannya. Mereka memenjarakannya selama 15 tahun, membebaskannya, dan kemudian menangkapnya lagi. Mereka terus mengejarnya. 18 tahun dia habiskan di penjara. Mereka mengasingkannya ke Suriah, dari Suriah ke Turki, dari Turki ke Qatar, dan dari Qatar ke Lebanon,” papar wanita itu.
Sang ibu menutup percakapan dengan pesan yang kuat, “Namun, pendudukan Israel gagal total, mereka bangkrut di hadapan kekuatan Perlawanan.”
Kata-kata tegas Aisha bergema sebagai pesan kekuatan kepada semua pendukung dan pejuang yang mengambil sikap berani mengorbankan hidup mereka demi tujuan yang lebih besar.
Terkurung di penjara fasis, pada awal tahun 1930-an, intelektual Italia Antonio Gramsci menulis, “Menurut pendapat saya, saya bersedia kehilangan nyawa saya, tidak hanya tinggal di penjara. Dan inilah mengapa saya tenang dan damai dengan diri saya sendiri.”
Namun, Gramsci menyesal telah menyakiti ibunya, seperti yang dia tulis dalam suratnya pada tahun 1931.
“Ibu tersayang: Aku ingin sekali memelukmu erat-erat untuk menunjukkan betapa aku mencintaimu dan untuk menghilangkan sebagian rasa sakit yang aku timbulkan padamu, tapi aku tidak bisa melakukan sebaliknya,” ungkap Gramsci.
“Itulah hidup, sangat sulit, dan terkadang anak-anak harus sangat menyakiti ibunya sendiri, demi menjaga kehormatan dan martabat mereka sebagai manusia,” ujar dia.
“Saat saya mendengarkan pesan kuat dari ibu Arouri, saya merasa bahwa ketakutan Gramsci akan menyakiti ibunya telah diatasi, dengan cara yang paling meyakinkan,” ungkap Romana Rubeo, penulis Italia dan editor Palestine Chronicle yang membandingkan Gramsci dengan Arouri.
Rubeo menjelaskan, “Seolah-olah Aisha adalah ibu Gramsci, yang memberitahunya untuk tidak khawatir akan menyakitinya, bahwa dia mengetahui dan menghormati misi hidupnya, dan bahwa dia sangat bangga padanya.”
“Semoga Allah meridhoi dia,” ungkap Aisha tentang putranya, Saleh al-Arouri, atau Antonio Gramsci.
Suaranya merupakan campuran dari kesedihan, cinta dan kehormatan yang tak ada habisnya.
Segera setelah berita kematiannya menyebar, protes spontan pecah di beberapa kota di Tepi Barat dan di desa kelahirannya, Aroura, yang terletak dekat Ramallah.
Pesan Sang Ibu
Para jurnalis segera menghubungi keluarga al-Arouri dan berhasil berbicara dengan ibunya yang berusia 82 tahun, Aisha.
Meski dilanda kesedihan, wanita tegar tersebut mengatakan kepada dunia betapa bangganya dia atas keputusan putranya yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pembebasan Palestina.
“Semoga Allah meridhoi dia. Setiap kali seorang pemimpin meninggal, muncullah pemimpin baru dan menjadi lebih baik. Allah Maha Pemurah,” ungkap Aisha.
“Saya tidak bertemu dengannya (Saleh) selama 20 tahun atau lebih. Mereka mengasingkannya. Mereka memenjarakannya selama 15 tahun, membebaskannya, dan kemudian menangkapnya lagi. Mereka terus mengejarnya. 18 tahun dia habiskan di penjara. Mereka mengasingkannya ke Suriah, dari Suriah ke Turki, dari Turki ke Qatar, dan dari Qatar ke Lebanon,” papar wanita itu.
Sang ibu menutup percakapan dengan pesan yang kuat, “Namun, pendudukan Israel gagal total, mereka bangkrut di hadapan kekuatan Perlawanan.”
Kata-kata tegas Aisha bergema sebagai pesan kekuatan kepada semua pendukung dan pejuang yang mengambil sikap berani mengorbankan hidup mereka demi tujuan yang lebih besar.
Penyesalan Gramsci
Terkurung di penjara fasis, pada awal tahun 1930-an, intelektual Italia Antonio Gramsci menulis, “Menurut pendapat saya, saya bersedia kehilangan nyawa saya, tidak hanya tinggal di penjara. Dan inilah mengapa saya tenang dan damai dengan diri saya sendiri.”
Namun, Gramsci menyesal telah menyakiti ibunya, seperti yang dia tulis dalam suratnya pada tahun 1931.
“Ibu tersayang: Aku ingin sekali memelukmu erat-erat untuk menunjukkan betapa aku mencintaimu dan untuk menghilangkan sebagian rasa sakit yang aku timbulkan padamu, tapi aku tidak bisa melakukan sebaliknya,” ungkap Gramsci.
“Itulah hidup, sangat sulit, dan terkadang anak-anak harus sangat menyakiti ibunya sendiri, demi menjaga kehormatan dan martabat mereka sebagai manusia,” ujar dia.
“Saat saya mendengarkan pesan kuat dari ibu Arouri, saya merasa bahwa ketakutan Gramsci akan menyakiti ibunya telah diatasi, dengan cara yang paling meyakinkan,” ungkap Romana Rubeo, penulis Italia dan editor Palestine Chronicle yang membandingkan Gramsci dengan Arouri.
Rubeo menjelaskan, “Seolah-olah Aisha adalah ibu Gramsci, yang memberitahunya untuk tidak khawatir akan menyakitinya, bahwa dia mengetahui dan menghormati misi hidupnya, dan bahwa dia sangat bangga padanya.”
“Semoga Allah meridhoi dia,” ungkap Aisha tentang putranya, Saleh al-Arouri, atau Antonio Gramsci.
Suaranya merupakan campuran dari kesedihan, cinta dan kehormatan yang tak ada habisnya.
(sya)